Perspektif

The Devil is in The Detail dalam Wacana ‘New Normal’

5 Mins read

Imam Prasodjo menceritakan pengalamannya ketika ia berkesempatan melakukan kerja sosial di salah satu daerah tertinggal di Purwakarta. Proyeknya adalah mempersiapkan ibu hamil dan menyusui dengan berbagai bekal pengetahuan mengenai kehamilan, menyusui, dan merawat anak-anak. Di balik kisah ini terdapat nilai-nilai the devil is in the detail, lalu dapat dihubungkan dengan wacana new normal yang sedang digaungkan pemerintah.

The Devil is In Detail

Imam bercerita tentang bagaimana ia dan tiga orang bidan secara rutin mengumpulkan para ibu hamil dan menyusui untuk diedukasi dan diskusi. Setelah beberapa kali pertemuan tiba-tiba terungkap masalah puting luka yang ternyata banyak dialami oleh ibu-ibu menyusui.

Dan setelah dilakukan assesment, hasilnya sungguh tidak mereka pikirkan sebelumnya. Puting luka itu ternyata disebabkan karena hampir semua ibu-ibu di desa tersebut jarang mengganti bra. Jangan lagi bicara bra dengan hook depan atau belakang lebih gampang mana dilepasnya.

Banyak bra yang dipakai lalu dijemur lalu dipakai lagi. Dicuci mungkin 3 hari sekali sehingga bra tersebut menjadi sarang kuman dan jamur yang kemudian menginfeksi puting para ibu dan menimbulkan luka yang menyakitkan.

Jadi project berikutnya yang mereka kerjakan adalah BEHANISASI. Membagikan beberapa bra menyusui bagi para ibu hamil dan menyusui serta mengedukasi tentang pentingnya kebersihan bra untuk menjaga puting tetap sehat. Hasilnya ibu-ibu lebih bahagia memberikan ASI bagi anak-anaknya, angka pemberian ASI oleh ibu menyusui pun meningkat.

Itu adalah salah satu gambaran dari the devil is in the detail. Untuk mendukung program pemberian ASI eksklusif ternyata pemangku kebijakan harus tau betul masalah utamanya itu ada di mana sehingga intervensi yang diambil bisa tepat sasaran dan efektif.

Efektivitas Kebijakan Pemerintah

Saya sendiri masih ingat pasca melahirkan Abiya, waktu itu saya melahirkan di klinik bidan desa. Beberapa hari setelah saya melahirkan, asisten bu bidan yang bidan juga tapi masih magang, mengunjungi rumah saya, menanyakan bagaimana keadaan saya, bagaimana ASI saya lancar atau tidak, adakah puting saya luka.

Baca Juga  Living Value Education sebagai Penangkal Bullying

Ia juga mengajarkan pada saya bagaimana cara massage payudara untuk melancarkan aliran ASI, posisi menyusui yang benar dan berbagai detail lainnya. Plus keadaan-keadaan yang perlu saya waspada dan harus segera menghubungi bidan atau dokter apabila hal-hal seperti itu terjadi.

Pikir saya waktu itu, wah kok keren sekali sampai detil begini layanannya. Posyandu ya memang ada. Tapi jelas beda sekali efeknya diedukasi di depan umum dengan berbicara dari hati ke hati di kamar kita yang bahkan memungkinkan kita mempraktekkan massage payudara dan posisi menyusu di depan bidan sehingga kalau salah bisa langsung dibetulkan. Yang saya tidak tahu, apakah itu sudah tupoksi dari atas, atau layanan tambahan dari klinik bu bidan itu sendiri.

Lagi. Petugas jentik yang keliling ke rumah-rumah ngecek bak air warga. Saya tidak tau kok kayaknya taun ini ngga ada yang keliling. Atau entah sudah berapa taun ngga keliling. Di tempat saya dulu petugasnya begitu menemukan banyak jentik di bak air warga langsung aja membuka penutupnya membuang airnya.

Takutnya kalo cuma dipesenin suruh nguras engga dikuras sama warga. Selain itu warga juga diajari cara yang efektif menggunakan bubuk abate. Edukasi dengan tindak langsung seperti ini dilakukan dari rumah ke rumah dan kontinyu untuk menekan angka kejadian demam berdarah.

The devil is in the detail. Efektivitas kebijakan pemerintah selalu diuji di level terbawahnya. Bagaimana rencana itu dibuat sedetil mungkin hingga tahap implementasi. Ada masalah, lalu muncul berbagai pilihan kebijakan lengkap dengan skenario terburuk dan skenario antisipasinya. Rencana yang baik memasukkan skenario-skenario itu sedetail mungkin.

New Normal

Sekarang mari memasukkan semua bahasan itu dalam kondisi yang sekarang kita hadapi. Berdamai dengan Covid-19 dengan our new normal. Berdamai yang seperti apa? New normal seperti apa?

Saya jelas tidak tertarik memilih posisi melimpahkan beban new normal itu hanya dan hanya pada rakyat saja apalagi dengan asumsi pemerintah pasti sudah melakukan yang terbaik dasar rakyatnya aja dablek (ngeyelan .red). Lha rakyat dablek sendiri itu pun harusnya sudah masuk pertimbangan waktu menyusun skenario sehingga muncul antisipasinya apa.

Baca Juga  Talenta Muda dalam Gelombang Politik Kebangsaan

Kita butuh seluruh perikehidupan bangsa ini mendukung new normal kalau itu memang kita butuhkan dalam menjalani hidup ke depan. Jelas imbauan saja tidak cukup untuk mengubah gaya hidup masyarakat. Seluruh aspek harus dikondisikan untuk menjalankan misi menuju definisi new normal itu.

Makanya definisikan dulu dengan jelas new normalnya itu mau kayak apa. Masker, social distancing, makan sayur, mengkonsumsi empon-empon harus menjadi gaya hidup masyarakat misalnya. Ya kalau hanya imbauan-imbauan saja, mana punya tenaga mengubah dalam waktu cepat.

Kita butuh seluruh sektor dikondisikan untuk memaksa masyarakat melakukan hal itu. Sedetail-detailnya. Seluruh sarana publik mewajibkan pemakaian masker, sekolah-sekolah terus menerus menggaungkan pentingnya masker lengkap dengan skema punishment kayak anak yang ga nggarap PR misalnya.

Seluruh, ya seluruh, hingga kebiasaan-kebiasaan itu pada akhirnya diterima masyarakat sebagai common sense. Tidak boleh ada kata-kata “ya lama-lama jeleh (bosan .red) juga petugase mbak”. Lho kok jeleh kalau sudah tupoksi ya ndak boleh jeleh. Wong anda dibayar untuk melakukan itu.

Resources Besar, Tanggungjawab Juga Besar

Jangan lupa sektor swasta perlu dibuatkan skema insentif–disinsentif untuk mengkampanyekan, menerapkan, “memaksakan” gaya hidup baru di lingkungannya.

Skema sanksi sangat dimungkinkan, perihal bagaimana caranya, ada banyak ahli sosial dan hukum bisa dikerahkan untuk membuat skema sanksi yang baik dan efektif. Jangan kayak skema sanksi rokok di ruang publik yang dendanya 500 juta. Ya jelas aja gak jalan, gak efektif. Ha ora masuk akal (tidak masuk akal .red).

Ini kita baru bicara tentang bagaimana mengubah gaya hidup masyarakat. Belum lagi kebijakan-kebijakan di bidang ipolekhankam yang pasti butuh banyak penyesuaian karena tatanan nasional dan internasional semua berubah. Misalnya bagaimana respon aturan ketika semua orang pakai masker sehingga sistem identifikasi wajah pastinya tidak lagi sama. Bagaimana tata aturan baru di bidang pariwisata, jasa transpportasi, dll.

Baca Juga  Kepemimpinan Rasulullah: Teladan untuk Pemimpin Masa Kini

Bagaimana kacaunya suasana Bandara Soetta ketika pertama kali dibuka kemarin adalah salah satu bentuk skenario tanpa antisipasi. Apa hanya pihak angkasa pura saja yang boleh disalahkan atau masyarakat saja yang salah? Ya tidak.

Dinas terkait memiliki fungsi kontrol untuk cek dan ricek bagaimana persiapan angkasa pura karena itu termasuk hal yang menyangkut hajat hidup keselamatan orang banyak.

Jadi gitu loh. Pemerintah punya resources yang sangat besar. Masa iya cuma bisanya mengimbau-imbau saja. Kalau imbauannya nggak didengarkan yang disalahkan rakyat.

Tak dipungkiri kepatuhan rakyat menjalankan instruksi pemerintah memang sangat dibutuhkan. Tapi sebelum nyalahin rakyat, cek dulu lagi apakah pihak yang memiliki resource jauh lebih besar sudah melakukan semua yang diperlukan untuk membuat lingkungan yang kondusif.

Buruknya Perencanaan dan Kekacauan

Di kelas rencana tata ruang, dikenal teknik rekayasa ruang. Bagaimana membuat orang tanpa merasa terpaksa mematuhi fungsi-fungsi ruang. Itu ada ilmunya. Saya rasa di bidang hukum apalagi sosial pasti ada juga rekayasa seperti ini. Itu makanya memang setannya perencanaan itu ada di detailnya.

Banyak sekali hal yang semestinya sudah kita punya jauh hari sebelum pandemi. Rasanya nggak masuk akal negara sudah berdiri puluhan tahun kok tiap mau bagi BLT kacau. Kalau sudah terbiasa mengelola data dengan baik kasus bansos salah sasaran nggak akan separah ini terjadi ketika pandemi.

Mensos teriak-teriak tolong jangan dibesar-besarkan, katanya. Loh katanya kita sedang krisis, uang sesen pun harusnya jadi sangat hati-hati alokasinya. BPK bilang ada potensi kerugian negara hingga mencapai angka triliun dalam proses pembagian bansos. Orang yang sudah mati setahun yang lalu masih tercatat. Bahkan istrinya camat saja terdaftar jadi penerima bansos.

Terus ada yang bilang “mbok ngga usah ribut, tinggal yang merasa tidak berhak menerima kasihkan saja ke yang berhak”. Saya itu merasa terlalu lelah mau menjelaskan mengapa kalimat itu begitu ^$@^%Q%^@@&^%#&^@&^^^@^#&^@#@&#^@#@*&. Duh sungguh sulit didefinisikan sampe akhirnya yang keluar hanya sumpah serapah!

Editor: Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *