Perspektif

Karl Marx: Kapitalisme, Sosialisme, dan Utopian

3 Mins read

Akhir-akhir ini, isu tentang bangkitnya komunisme di Indonesia mulai menghangat kembali. Meskipun banyak yang menabrakkannya pada isu politik, namun yang jelas, pada artikel ini saya tidak hendak membahas perihal politik. Tapi saya hendak memaparkan terkait pemikiran Karl Marx, si Bapak Komunisme.

Isu-isu politis itu sebagian menjatuhkan justifikasinya kepada pemerintahan Jokowi, akan tetapi belum ada data pasti terkait kebenaran justifikasi itu. Pada sisi lain, konon katanya ini adalah strategi politik untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi.

Artikel ini sendiri berdasarkan pemahaman penulis yang menjadikan buku karangan Franz Magnis Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme sebagai rujukan utama.

Ketika kita membaca atau menulis sebuah pemikiran, bukan berarti kita melakukan taklid buta tanpa filterisasi pada bacaan itu. Secara akademis, keterbukaan terhadap segala hal yang ditabukan adalah perlu.

Karena dengan membaca atau menulis itulah, pemahaman terhadap suatu pemikiran bisa sampai pada kita. Sehingga justifikasi terhadap suatu pemikiran itu bisa dilakukan secara sportif berdasarkan data-data, dan bukan ikut-ikutan ataupun doktrinal, apalagi taklid buta belaka.

Karl Marx dan Kapitalisme

Karl Marx mempunyai obsesi untuk membuktikan secara “ilmiah” bahwa sosialisme adalah perkembangan zaman yang tak terbantahkan. Penyebabnya tidak lain adalah dinamika kapitalisme itu sendiri.

Tetapi, meskipun kapitalisme adalah musuh terbesarnya, Marx tidak serta merta memandang kapialisme sebagai negatif saja, melainkan ada sisi positifnya juga. Sisi positif kapitalisme dalam sudut pandang Marx adalah kapitalisme berhasil merobohkan feodalisme.

Yaitu zaman yang penuh dengan eksploitasi melalui selubung-selubung yang “disucikan” dari kelas-kelas feodal (seperti raja, pendeta, dan bangsawan) terhadap kelas-kelas bawah. Hal itu mereka lakukan dengan meletakkan laba sebagai nilai tertinggi.

Baca Juga  Khilafah HTI, Khulafaur Rosyidin dan NKRI Bersyariah

Jadi, laba (uang) adalah segalanya bagi kapitalisme. Bahkan, kapitalisme memproduksi suatu barang bukanlah berdasarkan nilai pakai (memenuhi kebutuhan manusia), melainkan berdasarkan nilai tukar (menghasilkan uang).

Intinya, uanglah tujuan utama dari sistem ekonomi kapitalis. Oleh sebab itu, persaingan antara satu sama lain dalam perebutan uang, menjadi tak terelakkan. Begitulah yang terjadi pada hukum keras kapitalis.

Hukum keras persaingan itulah yang pada akhirnya mengubah dunia menjadi dua kelas saja, borjuis dan proletar. Pemilik modal (borjuis), dengan modalnya dapat membeli alat produksi, lalu secara bebas memproduksi apapun dalam waktu 24 jam. Semakin besar modalnya, semakin mudahlah si borjuis menambah kekayaannnya.

Sedangkan yang punya modal sedikit, akan kalah oleh pemilik modal banyak, sehingga pada akhirnya tidak lagi memiliki modal, dan jatuh menjadi kaum proletar.

Adapun yang tidak memiliki modal (proletar), demi kelangsungan hidupnya, istri dan anak-anaknya, terrpaksalah menjadi pekerja bagi pemilik modal, walaupun dibayar murah. Karena jika tidak bekerja, dampaknya akan lebih parah lagi.

Keniscayaan Sosialisme

Setelah kehadiran kapitalisme yang menyisakan dua kelas saja, perkembangan selanjutnya dalam pandangan Karl Marx adalah dunia tanpa kelas. Menurut Marx, hal ini adalah sebuah keniscayaan.

Karena, antara borjuis dengan borjuis lainnya akan selalu terjadi persaingan dengan ambisi menjatuhkan yang lainnya. Sehingga kelompok borjuis akan semakin sedikit jumlahnya, sementara kaum proletar akan selalu bertambah karena bangkrutnya borjuis yang kalah saing.

Borjuis-borjuis yang kalah saing itu, tentunya tidak akan tinggal diam saat posisinya di bawah, mereka mesti melawan. Dan perlawanan itu dimulai dengan membentuk organisasi kaum proletar atas dasar “sama rata sama rasa”.

Perlawanan proletariat akan semakin keras karena mereka semakin tercekik. Sebab barang-barang yang diproduksi borjuis semakin banyak dan semakin mahal, sedangkan masyarakat yang akan membeli adalah kaum proletar itu sendiri.

Baca Juga  Kenapa Kita Cenderung Keras kepada Papua?

Dikarenakan kaum proletar tidak punya uang untuk membeli, sementara kebutuhan mereka semakin meningkat, pun jumlah mereka. Maka sebuah penjarahan, atau sebuah revolusi menjadi tak terelakkan.

Penjarahan tersebut memporak-porandakan kaum borjuis, sehingga alat produksi sekaligus produknya diambil alih oleh proletariat. Akan tetapi, untuk menangkal serangan balik dari kamu borjuis, maka perlulah didirikan sebuah kekuasaan, yaitu “kediktatoran proletariat”.

Kekuasaan ini berfungsi untuk menindas kaum borjuis sampai habis, sehingga pada akhirnya masyarakat tanpa kelas itu tercipta. Kepemilikan pribadi juga tidak ada, semuanya menjadi milik bersama, lagi-lagi “sama rata sama rasa”

Kritik Gagasan Marx yang Utopis

Franz Magnis Suseno, dalam buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme memberi 4 catatan kritis terhadap revolusi sosialisme.

Pertama, penekanan upah oleh borjuis. Apakah benar akan seperti itu terus? Bukankah penaikan upah oleh kaum borjuis dimungkinkan memotivasi para buruh agar lebih giat dan efisien dalam bekerja? Sehingga para buruh dapat nyaman dalam bekerja dan tidak mungkin memberontak.

Kedua, masalah penghapusan pembagian kerja. Apakah mungkin manusia hidup tanpa pembagian kerja? Dan siapa yang akan mengerjakan pekerjaan yang tidak enak secara sukarela? Hal ini tidak dijawab oleh Marx.

Ketiga, apakah mungkin lama-kelamaan negara menjadi layu dan mati? Bukankah mesti harus selalu ada lembaga yang mengatur urusan-urusan bersama masyarakat supaya tidak terjadi tabrakan? Apakah mungkin masyarakat modern tanpa negara?

Rupanya pikiran Marx perihal ini cukup sempit, karena ia memandang terjadinya konflik hanya disebabkan oleh pertentangan kelas. Padahal manusia juga emosional, yang barangkkali bisa saja pertengkaran terjadi karena rasa irinya kepada teman yang lebih disukai banyak perempuan.

Keempat, bagaimana halnya dengan masyarakat tanpa kelas? Bukankah mesti ada yang merencanakan pekerjaan dan membagi pekerjaan? Pada kenyataannya, dalam masyarakat sosialis di negara komunis maupun bukan komunis, penghapusan pasar selalu diganti dengan pembagian pekerjaan dan hasil kerja dari atas oleh negara.

Baca Juga  Corona: Membunuhmu!

Jadi tampak jelas, bahwa ajaran Marx tentang masyarakat sosialis adalah bagian yang paling utopis dan problematis dari seluruh teori Marx. Ajaran itu memang berhasil menyalakan semangat massa buruh.

Tetapi sebagai utopi buruk, harapan akan masyarakat komunis tanpa kelas itu malah dapat mencegah perbaikan-perbaikan nyata di dalam sistem berkelas yang ada.

Bahkan, teori tentang masyarakat tanpa kelas bersifat ideologis. Faktanya, pada abad ke-20, atas namanya jutaan korban telah kehilangan harta bahkan kehilangan nyawa akibat dari penindasan komunis.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds