Perspektif

Kasus Al-Zaytun & Panji Gumilang (1): Sikapi Perbedaan dengan Nalar, bukan Nafsu

4 Mins read

Nama Pondok Pesantren Al-Zaytun begitu bergumuruh di Indonesia. setelah beredarnya foto dan video beberapa praktik keagamaan yang dianggap sesat. Isu ini bisa-bisanya sejajar dengan isu Capres dan Cawapres menuju tahun pemilu 2024. Tetapi, kasus Al-Zaytun juga bisa jadi terkait dengan Pemilu 2024. Karena biasanya menuju tahun politik, polemik keagamaan atau politik identitas sering menjadi bagian dari strategi politik bagi kelompok tertentu. Tujuannya apa? untuk mengeksploitasi bentuk dan praktik keagamaan kelompok yang dianggap musuh, lebih-lebih strategi ini sering merugikan kelompok minoritas.

Kasus Al-Zaytun dan Panji Gumilang yang Viral

Praktik keagamaan Al-Zaytun seperti jemaah perempuan berada di shaf terdepan, di belakang imam shalat, Panji Gumilang (Pemimpin Al-Zaytun) menyanyikan lagu shalom Aleichem, hingga lantunan adzan yang dianggap tidak lazim. Selain itu, ada tuduhan lain terhadap Al-Zaytun dan Panji Gumilang, yakni terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII). Hal ini kemudian dianggap telah menyimpang dan keluar dari Islam. Praktik ini kemudian membuat massa aksi yang berasal dari Forum Solidaritas Dharma Ayu mendatangi Al-Zaytun dan melakukan demonstrasi agar Al-Zaytun dibubarkan dan ditutup.

Pelbagai macam tuduhan terhadap Panji ini, bukan hanya sekedar menjadi diskursus saja atau berhenti di depan pagar Al-Zaytun dalam bentuk aksi demonstrasi. Namun berujung pada pelaporan kepada pihak kepolisian. Pada 23 Juni 2023 Forum Advokat Pembela Pancasila (FAPP) melaporkan Panji Gumilang ke Bareskrim Polri dengan tuduhan penodaan agama. Laporan ke pihak kepolisian juga dilakukan oleh pendiria Ken Setiawan, pendiri NII Crisis Center, pada 27 Juni 2023. FAPP dan Ken melaporkan Panji dengan tuduhan telah menistakan agama, sehingga melanggar Pasal 1156 A KUHP tentang penistan agama. MUI Jawa Barat juga turut bereaksi dengan membuat rekomendasi kepada pemerintah agar Al-Zaytun segera ditutup. Karena telah melakukan penodaan agama.

Penodaan agama di Indonesia adalah bagian dari politik keagamaan yang sangat seksi untuk diulas. Ia memiliki ruang pembicaraan sendiri. Bahkan dari segi kebijakan, terdapat hukum yang mengafirmasinya sebagai bagian dari persoalan pidana. Secara sosiologis, aturan penodaan agama memakan korban atas kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Kelompok Islam mainstream yang konservatif dan fanatik yang paling banyak yang merasa tersinggung dan ternodai. Seperti kasus Ahok, yang harus berujung pada penjara.

Baca Juga  Memotret Sisi Menarik dari Islam Desa dan Islam Kota

Penodaan Agama di Masa Nabi Saw

Penodaan agama dalam Islam, telah menjadi fakta historis saat Nabi Muhammad masih hidup. Namun Al-Qur’an sendiri membalasnya dengan argumen-argumen yang logis. Saat Nabi Muhammad mendakwahkan Islam, beliau banyak menghadapi situasi yang kurang bersahabat termasuk fitnah dan penolakan. Dalam Al-Qur’an disebutkan antara lain: “Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur’an, sesungguhnya Muhammad engkau benar-benar gila. Mengapa engkau tidak mendatangkan Malaikat kepada kami, jika engkau termasuk orang yang benar (Q.S Al-Hijr 6-7). Dalam kasus lain, Al-Qur’an juga mengutip bagaimana ejekan terhadap Al-Qur’an dan Nabi Muhammad: “Ini hanyalah sihir kuno, omongan manusia belaka.” (Q.S. Al-Muddatsir 24-25). Lantas bagaimana Al-Qur’an sendiri meresponnya?

Al-Qur’an membalas dengan balasan yang menunjukan kelemahan dari para pengkritiknya: “Kemudian buatlah satu surah seperti itu dan ajaklah siapapun yang Anda bisa selain Tuhan jika anda mengatakan kebenaran”. (Q.S. Yunus; 38) Bagi Akyol, Al-Qur’an menghadapi lawannya dengan argumen yang masuk akal. (Akyol, 2021) Argumen yang diberikan Al-Qur’an adalah argumen yang logis bukan reaktif. Dari segi konsekuensi yang diterima bagi pengejek dan pengkritik, Al-Qur’an hanya mengancam dengan azab di akhirat. Tidak menetapkan hukum di dunia, seperti penerapan negara-negara yang berlabel Islam. Indonesia anehnya bukan negara dengan ideologi Islam, tetapi menerapkan hukum ini. Sungguh jauh dari spirit kebebasan yang ada dalam Al-Qur’an.

Terdapat beberapa kejadian dimana Nabi Muhammad tidak menghukum para penistanya, sejauh mereka melakukan pengejekan sebatas kata-kata. Suatu waktu terdapat seorang yang memainkan kata-kata saat menyapa Nabi. Alih-alih mengatakan “al-salamu allaika” yang berarti salam sejahtera bagimu. Ia malah mengatakan “al-samu’ allaika” yang artinya kematian bagimu (Akyol: 2021, 303).

Baca Juga  Hari-hari Tanpa Shalat Berjamaah

Para sahabat geram mendengar ini dan akan melakukan sesuatu untuk menghukumnya, termasuk tawaran untuk membunuhnya. Nabi justru meminta kepada para sahabat untuk membalasnya dengan berkata wa’ alaikum. Terdapat juga versi lain di mana Nabi mengajak untuk menghadapinya dengan sikap lembut dan tenang, karena bagi Nabi sikap ini disukai oleh Allah. (Akyol: 2021, 303) Memang terdapat catatan sejarah, pernah ada hukuman vonis mati terhadap penyair yang merupakan musuh Nabi.

***

Mari kita buka kasus penyair Ka’ab Ibn Al-Ashraf. Al-Ashraf yang menghasut kaum Quraisy setelah perang Badar dimenangkan oleh Muslim Madina. Ia menangisi kematian tokoh-tokoh kaum Quraisy yang kalah saat melawan Muslim Madinah. Al-Ashraf juga menyebarkan syair-syair anti-Muslim untuk menghidupkan perasaan marah dan sedih agar kaum Quraisy melakukan balas dendam.

Bahkan Al-Ashraf bersekongkol dengan kawan-kawannya agar untuk melakukan pembunuhan terhadap Nabi. Apa yang telah dilakukan Al-Ashraf sudah berlebihan dari sekedar penistaan. Ia menggabungkan diksi-diksi ofensif dengan permusuhan aktif kepada Nabi (Akyol: 2021, 302) Al-Ashraf telah menggabungkan ujaran kebencian dan penistaan dengan agresi secara fisik. Bukan hanya sekedar syair yang berisi penistaan kepada Nabi, tetapi sudah bermuatan dendam untuk mewujudkan pembunuhan dan perang lebih besar. Tetapi hukuman mati yang diterima oleh penyair ini, tidak bisa diwariskan pada zaman ini. Karena konteksnya berbeda, saat itu dalam kondisi perang, membahayakan dan benar-benar mengancam nyawa Nabi.

Ada juga insiden lain, dimana Nabi mencegah Umar yang ingin membunuh seseorang yang mengejek Al-Qur’an. Finhas, salah seorang warga Madinah, ia berkata: “Tuhan-nya Muhammad Fakir”. Umar yang temperamen segera menghunus pedangnya, namun Nabi mencegahnya.  (Akyol: 2021, 304). Umar langsung berikrar kepada Nabi, bahwa ia tidak akan menunjukan wajah marah sekalipun. Cara Nabi dalam membalas sikap Finhas dan kasus pengejekan Al-Qur’an di atas menunjukan bahwa Nabi melawannya dengan tenang, bijak, dan welas asih.

Baca Juga  Bulan Suci di Tengah Pandemi

Dahulukan Penalaran dan Kesopanan

Nabi justru menjadi sasaran untuk diejek, dikritik bahkan lebih dari itu. Beda dengan konteks sekarang. Praktik keislaman yang berbeda dengan Islam arus utama dianggap telah menodai dan menistakan agama. Seperti kasus Panji Gumilang. Penodaan agama yang dituduhkan kepada Panji oleh beberapa kelompok  adalah bentuk respons yang keluar dari jalur historis atas apa yang telah dilakukan oleh Nabi.

Mereka merespon suatu perbedaan dengan sikap yang berlebihan dengan melakukan tekanan lewat cara-cara demonstrasi hingga melaporkan sebagai kasus pidana, sering kali juga melakukan penyegelan dan penyerangan. Muslim yang reaktif seperti ini tidak tahu bagaimana menghadapi perbedaan dengan penalaran dan kesopanan. Mereka tidak menempatkan segala bentuk kepercayaan dan keyakinan sebagai bagian dari kebebasan agama dari setiap individu di dalam masyarakat. Mereka tidak mengemukakan budaya tabayyun, tetapi mendahulukan nafsu yang berujung prasangka dan penuduhan.

Apa yang dilakukan Panji Gumilang dan Al-Zaytun adalah bagian dari pluralitas tafsir keislaman. Islam tidak monolitik, tapi di Indonesia, sering dibuat rekayasa ketersinggungan, agar kelompok yang berbeda seperti Panji Gumilang, dianggap lawan yang harus diserang. Kita harus menunggu apakah Panji Gumilang akan dihukum atas penodaan agama atau tidak. Jika dihukum oleh aparat dengan hukuman penodaan agama, sungguh negara ini benar-benar kalah atas tekanan kelompok mayoritas.

Daftar Pustaka

Mustafa Akyol, Reopening Muslim Minds: Kembali ke Nalar, Kebebasan dan Toleransi, Bandung; Mizan, 2021.  

Editor: Soleh

6 posts

About author
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulut
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

2 Comments

  • Avatar
  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds