Oleh: Zainal Arifin
Berdasarkan atas klasifikasi ayat-ayat Allah yang terbagi menjadi ayat qauliyah, kauniyah, dan insaniyah, maka ilmu pengetahuan dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: pertama, ilmu-ilmu yang bersumberkan pada wahyu atau ayat Qauliyah, berupa Al-Quran yang difirmankan Allah dan Al-Hadits yang disabdakan Rasulullah). Dari sumber inilah muncul ilmu-ilmu agama, seperti Al-Quran, Al-Hadits, Fikih, Akidah dan Akhlak, dan lain sebagainya.
Kedua, ilmu-ilmu yang bersumberkan pada ayat-ayat kauniyah (sebab-akibat/ kausalitas/sunnatullah) yang terhampar di alam semesta. Dari sumber inilah muncul ilmu-ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia, dan lain sebagainya.
Ketiga, ilmu-ilmu yang bersumberkan pada ayat-ayat insaniyah (nafsiyah/ humaniora). Ilmu-ilmu ini mengkaji tentang hakikat kemanusiaan manusia, sehingga dari sumber ini muncullah ilmu-ilmu yang berkaitan tentang manusia seperti antropologi, sosiologi, psikologi, dan komunikasi.
***
Menurut M Bahri Ghazali (dalam Baharuddin, dkk, 2011: 85), ilmu adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, yang hakikatnya berasal dari Allah dan diperoleh manusia melalui usahanya sendiri berdasarkan kekuatan rekayasanya (basyariyah), ataupun anugerah yang langsung diberikan oleh Allah (mukasyafah).
Ilmu Basyariyah atau ilmu yang diperoleh dengan cara dipelajari, biasanya juga disebut dengan ilmu Kasbi. Sedangkan ilmu yang langsung diberikan oleh Allah SWT tanpa harus melalui upaya belajar disebut dengan Mukasyafah atau ilmu Ladunni. Tradisi ilmu Ladunni ini dikenal dalam kisah Nabi Musa AS yang sedang belajar dengan Nabi Khidzir AS (cerita lengkap dalam QS al-Kahfi [18]: 60-82). Allah berfirman dalam QS al-Kahfi [18]: 65: Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.
Dalam kisah tersebut, Nabi Khidzir AS menggunakan ilmu Ladunni atau ilmu yang diberikan langsung dari sisi Allah SWT (ayat 65) sedangkan Nabi Musa AS menggunakan ilmu Kasbi berupa ilmu Syari’ah yang dipelajari selama ini, bahwa merusak kapal milik nelayan dan membunuh anak tanpa sebab menurut ilmu Syari’ah merupakan perbuatan dosa. Tapi, karena Nabi Khidzir berbuat tersebut bukan karena kemauannya, tapi merupakan kehendak Allah SWT. Firman Allah SWT dalam QS. al-Kahfi [18]: 65: …Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.
Dalam penerapan ilmu Ladunni perlu bimbingan Allah SWT secara langsung, dan tidak semua orang dapat memperolehnya. Ilmu ini merupakan pemberian Allah karena ketakwaan dan istiqamah dalam menjalankan ibadah, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 282 (Muhammad Ali Ash-Shabuni,al-Tibyan fi ‘ulum al-Qur’an, 2003: 171-173): …Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Pembagian ilmu Kasbi dan Ladunni menurut M Quraish Shihab disebabkan dalam pandangan Al-Quran terdapat dua objek ilmu meliputi materi dan non materi, fenomena dan nonfenomena. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Haqqah [69]: 38-39 dan QS. An-Nahl [16]: 8 (M Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, 2013: 573): Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, (38) dan demi apa yang tidak kamu lihat. (39) (QS. Al-Haqqah [69]: 38-39). …Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui. (QS. An-Nahl [16]: 8).
Ada baiknya kita merenungkan kritik M Quraish Shihab terhadap semboyan bahwa “ilmu untuk ilmu”. Semboyan ini tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi Rabbik, dengan kata lain harus bernilai Rabbani’.
Jadi, jika kita kembali pada klasifikasi ilmu dari tiga ayat-ayat Tuhan di atas, maka muara dari semua ilmu adalah bernilai Rabbani (semata-mata untuk mengenal Allah). Jika kita ingin berpandangan integratif, bukan dikhotomi terhadap ilmu pengetahuan, maka definisi ulama adalah orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu masing-masing, bukan hanya ahli agama. Maka, ada ulama Sains (ahli sains), ada ulama huminiora (ahli ilmu-ilmu humaniora). Setiap ulama harus saling bekerjasama untuk peradaban umat manusia.
* Dosen Prodi MPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]
Selengkapnya klik di sini
Editor: Arif