Feature

Keajaiban di Balik Kalimat Shalawat

4 Mins read

Keajaiban Shalawat – Waktu itu PSBB atau Lockdown versi Indonesia sedang berlangsung. Saya terkaget-kaget sendiri, takjub bukan main, lantas tak berhenti mengucapkan kalimat tasbih; “Subhanallah, subhanallah, subhanallah…”

Kekagetan saya terjadi, lantaran berhasil menerobos tembok kokoh check point penyekatan jalan. Tembok ini berfungsi menyegat dan menyuruh putar balik berbagai kendaraan yang mencoba merangsek masuk ke kota Malang, tanpa disertai dengan surat bebas Covid-19 dan surat jalan resmi.

Ndilalah kersane Allah (atas segala kuasa-Nya), saya merasa melewati pintu tol tanpa halangan sama sekali. Seperti tidak ada orang sama sekali, apalagi gerombolan polisi yang berbadan tegap seperti tiang bendera.

Ini semua terjadi bukan tanpa sebab. Di sepanjang jalan dari Banyuwangi, Jember, Lumajang, sampai Probolinggo, saya merasa khawatir luar biasa. “Jangan-jangan, saya juga termasuk dari mereka yang disuruh putar balik. Wah, kalau itu terjadi, saya jelas tidak bisa bertemu dengan anak isteri. Terlebih, bayi saya baru saja lahir. Pasti repot sekali isteri saya itu,” gumam saya dalam hati.

Entah bagaimana, saya ingat peristiwa beberapa tahun silam, selama saya masih bertugas belajar di Canberra, Australia. Secara otomatis, saya langsung membaca surat Al-Fatihah tiga kali dan shalawat tanpa henti, sampai kekhawatiran saya hilang sama sekali. Jelas, orang-orang Muhammadiyah agaknya tidak pernah mengamalkan dzikir jenis ini. Mungkin dzikir dianggap bagian dari ritual khusus (ibadah mahdhah), sehingga formulasi dan ketentuannya tidak boleh dikarang sendiri. Saya pun sama persis seperti orang Muhammadiyah kebanyakan itu. Hanya saja, kali ini terjadi di luar kesadaran saya. Spontan dan otomatis.

Di Canberra dulu, sekitar tahun 2018, karena tugas-tugas kuliah bebannya begitu berat, akhirnya banyak mahasiswa yang rajin begadang. Tidak jarang istirahat baru bisa dilakukan selepas menunaikan shalat subuh. Kalau sudah begitu, bangunnya agak sulit untuk tepat waktu. Kalau ada kuliah pagi, biasanya mulai pukul 08:00, maka seringkali kita bangun setengah jam sebelumnya.

Baca Juga  Terrorism Has No Religion

Kadang, tanpa mandi, hanya sekedar cuci muka dan sikat gigi (beruntung jika di kala itu juga sempat menyisir rambut dan menyemprotkan parfum di baju), saya langsung menstarter dan menginjak gas mobil dalam-dalam. Dari Belconnen menuju Acton, jalan yang dilalui lurus, gampang dan simpel. Tapi yang jadi masalah adalah lampu merahnya: banyak!

Kebiasaan orang Indonesia, kalau sudah melihat lampu kuning di jarak yang tidak terlalu jauh, maka yang mesti dilakukan adalah menambah kecepatan kendaraan. Mestinya kan lampu kuning membuat kita berhati-hati. Sehingga kalau kita berhati-hati, kemudian lampu berubah merah, maka kita tidak menerobosnya. Alasan yang masuk akal tentang tata-aturan ini adalah, kita menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain yang lewat dari jalur lainnya.

Tapi, bagaimana kalau kosong? Aturan tidak perlu kondisi istimewa untuk ditegakkan. Merah tetap berhenti dan hijau adalah tanda bahwa kita boleh jalan kembali. Hukum itu sifatnya tidak ada tawar-menawar agar tertib, adil dan sesuai tujuan yang dikehendaki pembuat hukum.

Meskipun begitu, saya sering menerobos lampu merah, lantaran terlambat ngerem. Atau, seringkali malah keliru menginjak gas ketimbang menginjak rem ketika lampu kuning menyala. Maklum, kebiasaan buruk dari tanah air telah mendarah-daging. Saya tetap kukuh pada alasan yang mendasar: khawatir terlambat duduk di kelas saat perkuliahan sudah dimulai.

Setelah menerobos lampu merah “dengan selamat”, barulah saya menyesal bukan main. Bukan lantaran telah melakukan kesalahan, tapi karena ancaman denda yang dikenakan bagi pelanggar lalu lintas jenis ini, mencapai hampir lima juta rupiah. Kalau saya lima kali melanggar dalam sebulan, berarti habis sudah uang beasiswa yang saya terima dari Kementerian Luar Negeri Australia.

Baca Juga  Menangani COVID-19 di Australia: Pentingnya Belajar dari Kesalahan

Lagi-lagi dalam situasi yang serba terdesak ini, saya memanjatkan doa. Saya membaca Al-Fatihah sebanyak-banyaknya, lalu diikuti dengan shalawat Nabi; Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad. Doa ini sekedar untuk menenangkan diri. Karena itu, ini bukan mantra. Sebenarnya, ini hanya sekedar bacaan yang biasa saya lantunkan ketika sedang senggang. Ya, hitung-hitung, ketimbang mikir macem-macem atau berkata yang kurang baik, kan lebih elok kalau membaca kalimah thayyibah.

Pada setiap Jum’at, selepas shalat di Canberra Mosque di daerah kompleks kedutaan besar negara-negara di Yarralumla, biasanya kami berkumpul di rumah untuk sekedar makan-makan, minum kopi dan mengobrol. Kebetulan juga pada hari itu, tidak ada kelas pada siang atau sore hari.

Pada majelis Jumatan tersebut, kami biasanya berempat. Saya kebetulan tinggal di rumah seorang Romo Katolik (Jesuit) di daerah Hannaford St bersama Ilyas, kawan dari Jakarta. Kawan lainnya adalah Cak Robit, seorang pegawai kedutaan (KBRI) dan satu lagi, Damanhuri, seorang putera kyai terkenal dari Sumenep, Madura, yang kebetulan mengerjakan riset doktoralnya di salah satu kampus terbaik di negeri kanguru. Sambil menikmati Kopi Toraja, saya bercerita tentang kejadian yang saya alami (menerobos lampu merah dengan selamat, bebas denda).

Damanhuri yang akrab dengan cerita-cerita wali Nusantara, merasa takjub dengan apa yang saya alami. Sampai-sampai, ia bertanya kepada saya dengan logat Madura-nya yang kental, “Amalan apa yang dibaca Cak, sehingga bisa dengan sangat mudah terlepas dari masalah yang sebenarnya sangat merepotkan itu?” Saya jawab, “Saya membaca Al-Fatihah tiga kali, lalu menggenapinya dengan melantunkan shalawat atas Nabi Muhammad Saw.” Dengan sorot mata yang menatap tajam, dengan tanpa henti ia lantas bertasbih, “Subhanallah, subhanallah, subhanallah…” “Itulah memang, kalau Allah berkehendak, ‘Kun, maka, fayakun!’” Lanjutnya dengan penuh keyakinan.

Baca Juga  Tagar #IndonesiaTerserah Bukan Tanda Indonesia Menyerah

Beberapa hari kemudian, kebetulan mulai memasuki pekan ujian (the week of exam). Gus Daman ini rupanya secara sengaja, melakukan apa yang telah saya lakukan. Sekali lagi, secara sengaja. Ajaibnya, ia juga lolos dari segala denda, atau bahkan sorotan kamera lalu lintas yang berdiri di mana-mana. Pada Jum’at berikutnya, ia menceritakan kepada kita semua atas apa yang ia alami berulang-kali.

“Jadi, Gus, tidak hanya sekali melakukan hal itu?” Tanya Ilyas, kawan akrab saya itu. “Ya, sudah lima kali, sama seperti Cak Hasnan,” jawabnya. “Kalau Mas Ilyas tidak percaya, tanya ini dua kawan saya sebagai saksi, yang kebetulan ada di dalam mobil yang saya kemudikan,” lanjutnya, disertai dengan gestur tubuh yang penuh percaya diri.

Saya ingin sekali tertawa, lantaran waktu itu, saya hanya bercanda bahwa Al-Fatihah dan shalawat mengandung kekuatan magis yang dahsyat. Tapi untuk menjaga perasaan kawan saya dan juga menghormati keyakinannya, saya benar-benar menahan diri.

Yang saya tahu, intisari Al-Fatihah adalah doa memohon petunjuk agar ditunjukkan jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Sementara shalawat Nabi, adalah ikrar untuk senantiasa nderek segala Sunnah-nya. Menurut hemat saya, dalam hidup ini, agar kita senantiasa meniti jalan yang lurus, kita mesti meneladani sikap hidup Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang mulia.

Sebagai seorang Muslim sekaligus warga Muhammadiyah, kita memang perlu berpikir kritis dan rasional. Tapi kalau kejadiannya sudah begini, kalau Allah memang berkehendak sesuai dengan keinginan-Nya, kita tidak bisa menginterupsi. Kalau sudah, Kun, maka, fayakun, kita mau apa?

Ya Allah, sungguh Maha Suci Engkau dengan segala apa yang Engkau kehendaki.

Editor: Soleh

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds