Feature

Beda Lebaran, Cerita Aktivis Muhammadiyah Jadi Menantu Kiai NU

4 Mins read

Bagaimana rasanya menjadi menantu seorang Kiai NU? Apa saya ikut kunut, tahlilan, dan ziarah makam? Apa yang saya lakukan ketika mudik di rumah keluarga Istri jika hasil sidang Isbat memutuskan puasa dan lebaran berbeda dengan hasil hisab Muhammadiyah? Banyak orang mungkin mengira saya sebagai menantu dari seorang Kiai NU akan melewati situasi-situasi semacam ini penuh dilema.

Aktivis Muhammadiyah

Saya lahir dari keluarga Muhammadiyah tulen. Bapak saya pernah menjadi Ketua Wilayah Muhammadiyah (PWM). Ibu saya pernah menjadi Ketua Wilayah Aisyiyah (PWA). Kakak saya dan saya sendiri paripurna sebagai aktifis IPM hingga tingkat pusat. Sejak kecil saya sudah bersekolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mulai dari TK ABA sampai SMA Muhammadiyah. La ghoira fi ananiy Muhammadiyin.

Tapi, sebagai seorang Muhammadiyah, saya juga tumbuh besar dalam situasi yang sudah majemuk di Kota Manado, Sulawesi Utara. Di sana, populasi muslim bukan mayoritas. Kemudian terbagi lagi ke dalam afiliasi organisasi keislaman yang beragam, mulai dari salafiyah (NU, baik pesantren atau kultural), Muhammadiyah, al-Khairat, dan lain sebagainya. Sebagian besar muslim di Manado memilih untuk cair saja dalam pandangan keagamaan. Maka, takmir masjid yang sebetulnya memegang “kuasa” lebih kuat dalam menentukan corak keislaman jamaah di sekitarnya.

Masjid di kampung saya di Kota Manado sudah jelas ikut kordinasi kantor Kementerian Agama Wilayah. Jadi, jika ada perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal misalnya, masjid sudah pasti ikut penetapan pemerintah. Hingga kira-kira saya SMP, jumlah “orang Muhammadiyah” di kampung kami sangat terbatas. Ada seorang sesepuh kampung pensiunan Telkom yang walau bukan Muhammadiyah, memilih ikut salat sesuai perhitungan hisab Muhammadiyah. Sesepuh ini sudah seperti keluarga sendiri karena ia berasal dari Maluku Utara, se-kampung dengan bapak saya.

Untuk salat Idul Fitri yang beda dengan penetapan versi rukyat 3 derajat, saya dan keluarga pergi ke kampung sebelah yang memang “kampung Muhammadiyah” di Ternate Tanjung atau ke Masjid Muhammadiyah yang ada di Sumompo. Bapak saya memang tidak tertarik untuk me-Muhammadiyah-kan masjid di kampung kami. Bapak memilih biar masyarakat tumbuh secara mandiri saja dalam memilih preferensi keagamaannya. Barangkali, bagi bapak saya, orang-orang pada salat saja sudah merupakan rahmat. Muhammadiyah atau bukan, itu kembali ke spirit keagamaan saja. Walaupun sekarang, bisa dibilang, jumlah orang Muhammadiyah di tempat kami kian dominan.

Baca Juga  Kyai Ahmad Dahlan dalam Pemberdayaan Perempuan

Menjadi Menantu Kiai NU

Keputusan untuk meminang anak seorang Kiai NU di Sukabumi bukan hal yang sulit dan problematis. Saya tidak berpikir bahwa saya akan menjalani hidup dengan penuh ketegangan, sebagaimana mungkin dibayangkan banyak orang. Ketika saya mengungkapkan niat hendak meminang anak seorang Kiai NU kepada Ibu dan Bapak, mereka berdua hanya bertanya apa saya sudah yakin akan berkeluarga dan sudah seberapa jauh saya mengenal latar belakang, watak, karakter calon istri dan keluarganya. Tidak ada sanggahan terkait latar belakang ke-NU-an keluarga calon istri.

Ketika sudah menikah, saya juga dapat cerita dari istri. Dia bilang, Bapaknya juga tidak mempersoalkan latar belakang saya sebagai orang Muhammadiyah. Malah, ketika saya silaturahmi pertama kali untuk menyatakan niat hendak meminang anaknya, Bapak Mertua saya langsung mengatakan bahwa langsung menikah saja. Untuk acara ramah-tamah dengan masyarakat seperti resepsi bisa menyusul saja. Mungkin karena masih semangat anak muda, saya tidak merasa gentar. Tapi, saya segera ingat, bahwa momen se-saktral itu, mestilah orangtua dan keluarga besar kami perlu datang ikut mensyukuri secara langsung di Sukabumi.

Salat subuh pun tiba. Setelah rukuk di rakaat kedua, di kalangan salafiyah ada yang namanya kunut subuh, yaitu berdoa sesudah I’tidal dan sebelum sujud. Nah, bagi orang Muhammadiyah kunut yang secara khusus dilakukan pada saat salat subuh berlandaskan pada hadits yang lemah (dha’if). Yaitu hadits dari Imam Ahmad yang mengatakan Nabi Muhammad melakukan kunut, dan hadits dari Imam Ahmad juga yang mengatakan Nabi melakukan kunut setelah rukuk. Menurut Muhammadiyah, Nabi hanya selama satu bulan saja mempraktikkan kunut setelah rukuk, dan itu pun adalah kunut nazilah, yang dilakukan ketika ditimpa musibah. Itu pun tidak hanya dilakukan pada saat subuh saja.

Baca Juga  Mencari Mahatma Gandhi dalam Konflik Palestina vs Israel

Secara tarjih, saya tentu berpegang pada pendapat bahwa kunut subuh tidak perlu diamalkan secara khusus. Tapi, karena yang memimpin salat adalah Bapak Mertua saya, sebagai walidain saja, maka saya ikut melakukan kunut. Keputusan semacam ini tentu tidak mungkin saya lakukan kalau saya mengandalkan perspektif tarjih saja. Maka, ada perspektif antropologis, sosiologis, dan psikologis mengapa saya melakukannya. Saya menganggap dengan pengecualian meng-amal-kan kunut subuh pada saat Bapak Mertua menjadi imam salat subuh, saya berupaya memahami konteks kehidupan beragama masyarakat di sini.

Beda Lebaran?

Alasan yang serupa pun saya pegang ketika hasil rukyat pemerintah terkait 1 Syawal berbeda dengan hasil hisab Muhammadiyah. Ini terjadi pada Idul Fitri 1444 H. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawal jatuh pada tanggal 22 April 2023, sedangkan hasil hisab Muhammadiyah yang sudah diketahui sejak jauh-jauh hari jatuh pada tanggal 21 April 2023. Karena saya, istri dan anak sedang mudik ke Sukabumi, maka sudah pasti saya ikut pelaksanaan salat Idul Fitri di sini yang berpegang pada versi rukyat.

Sekali lagi, kalau berpegang pada tarjih, saya tidak mungkin ikut versi rukyat. Karena bagi saya argumentasi hisab hakiki wujudul hilal lebih masuk akal. Meski seorang pakar astronomi berulang kali menyerang secara tendensius konsep hakiki wujudul hilal Muhammadiyah dan membenturkannya dengan imkanur rukyat 3 derajat. Bagi saya, dalam perspektif filsafat sains, argumen peneliti itu terlalu berpegang pada prinsip konsesional dalam sains. Suatu pandangan yang lapuk dan mencerminkan pseudo-empirism.

Namun, karena saya sedang dalam konteks mudik di kampung Istri, dan juga sangat tidak mungkin mencari masjid Muhammadiyah, maka ikut salat Idul Fitri pada tanggal 22 April. Saya punya banyak argumen untuk hal ini.

Pertama, dalam ibadah, kita tidak dianjurkan untuk mempersulit diri sendiri. Beda cerita kalau ada alternatif yang memungkinkan dan dapat diupayakan. Misalnya, saya tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan masjid yang menyelenggarakan salat Idul Fitri tanggal 21.

Baca Juga  Yang Tidak Berubah dari Perubahan Hagia Sophia

Kedua, yang ditetapkan sama-sama tanggal 1 Syawal. Yang beda adalah kapan tanggal 1 Syawal itu dalam kalender Masehi. Dan ini sangat terkait dengan ijtihad masing-masing metode, baik hisab maupun rukyat. Masing-masing berpijak pada landasan keagamaan. Ada hadits dan ada penguatan dalam kitab suci al-Qur’an. Ada yang berpegang pada tradisi dan ada yang pada re-kontekstualisasi.

Ketiga, Idul Fitri dalam beberapa konteks sudah bukan merupakan aktivitas keagamaan. Tapi sudah melekat dan menjadi “kalender” sosial untuk aktivitas kebudayaan, tradisi, dan perekonomian. Oleh karena itu, melebur adalah pilihan yang dapat dimaklumi dalam kondisi saya yang jelas sendirian. Istri saya pun melakukan hal yang sama kalau kami sedang tidak mudik dan memilih lebaran di Yogyakarta. Istri saya ikut salat Idul Fitri dan jumlah salat Rakaat Tarawih sebagaimana masjid Muhammadiyah melaksanakan.

Takzim atau Konvergensi?

Bagi orang-orang dari generasi saya, hidup dalam kemajemukan bukan lagi terjadi di luar diri dan jauh. Melainkan melekat dan dekat. Hubungan saya dengan Bapak Mertua yang NU tidak sekadar takzim dari seorang anak kepada orangtua. Tapi sudah merupakan perjumpaan yang terjadi dalam saling-silang budaya dan sosial yang sudah tidak terhindarkan. Saya kira, apa yang saya alami sangat-lah lazim di masa sekarang. Dan saya kira, riak perdebatan dari akun-akun tertentu yang secara tendensius menyerang penetapan 1 Syawal Muhammadiyah di Twitter hanya mewakili sentimen masa lalu dan polarisasi politik semata. Yang jika dibiarkan atau diawetkan akan jadi masalah yang tak kelar-kelar.

Bagi generasi sekarang, selain mendorong supaya agama terus menjadi inspirasi untuk kemajuan kehidupan, adalah juga menginspirasi pemulihan kehidupan bermasyarakat. Keputusan-keputusan saya sebagai seorang Muhammadiyah dan menantu seorang Kiai NU berpijak dari kesadaran semacam ini. Dan saya harus melakukannya sebagai seorang Muhammadiyin.

Editor: Soleh

Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *