Seiring dengan merebaknya gerakan-gerakan Islam ekstrem, gagasan khilafah yang sebelumnya sudah lama terkubur menjadi bangkit kembali. Gagasan khilafah kembali diperjuangkan oleh mereka yang mendambakan akan sebuah pemerintahan yang berdiri dan menggunakan sistem Islam versi mereka.
Para penganjur khilafah ini bebal walau sudah diberitahu bahwa dalam Islam tidak dikenal bentuk sistem pemerintahan apa pun. Mereka membantah ketika diterangkan bahwa Islam adalah agama yang universal sehingga tidak mengurusi hal-hal yang parsial dan terinci semacam itu. Semua sistem pemerintahan adalah sah dalam Islam. Selama mengamalkan prinsip-prinsip yang disebut Islam sebagai al-’adalah (keadilan) dan al-musawa (persamaan/kesetaraan).
Premis yang Keliru Soal Khilafah
Bagian yang paling menyebalkan dari keinginan mereka untuk mendirikan sistem khilafah ialah premis bahwa khalifah (pemimpin dalam sistem khilafah) adalah sosok yang tanpa cacat sebagaimana khilafah itu sendiri.
Ia adalah sosok yang kudus dan mungkin saja terlepas dari kesalahan. Dengan premis ini, kalangan pro khilafah memandang pemimpin pada sistem di luar khilafah sebagai sosok yang serba kurang.
Premis ini tentu sangat keliru. Karena Islam berdiri di atas premis bahwa hanya Nabi Muhammad satu-satunya manusia yang suci dan ma’shum. Dalam arti bahwa, hanya Nabi Muhammad lah yang terbebas dari berbagai macam kesalahan. Seluruh manusia selain beliau, adalah manusia biasa yang tidak mungkin terhindar dari khilaf dan salah.
Ketika berbicara tentang khalifah yang dirujuk, mereka (golongan-golongan propagandis khilafah) umumnya kembali pada tiga kerajaan besar dalam Islam: Dinasti Umayaah, Dinasti Abbasiyah, dan Khilafah Utsmani.
Pertanyaannya kemudian, apakah khalifah pada masa itu patut untuk ditiru? Apakah mereka adalah manusia-manusia suci yang terbebas dari salah dan dosa? Saya kira sejarah berbicara lain.
Kebobrokan Khalifah Malik bin Marwan
Mula-mula, marilah kita membuka lembaran sejarah pada masa dinasti Umayyah. Farag Fauda dalam bukunya “Kebenaran yang Hilang” membeberkan sejumlah kebobrokan khalifah saat itu. Pertama adalah Malik bin Marwan. Pernah suatu kali ia berpidato di Madinah pasca wafatnya Abdullah bin Zubair:
“Demi Allah, janganlah sekali-kali ada yang mengatakan kepadaku untuk bertakwa kepada Allah setelah pidatoku ini jika tidak ingin kutebas tengkuknya.” (H. 125).
Coba kita perhatikan dengan baik-baik kalimat Marwan. Ia bukan saja melarang orang untuk melancarkan kritik terhadapnya. Lebih ekstrem lagi, ia malah mengancam agar tidak boleh ada yang berani mengingatkannya kepada Allah. Apa yang hendak kita contoh dan teladani dari jenis khalifah seperti ini?
Dan itu bukan satu-satunya cerita tentang kebobrokan Malik bin Marwan. Di lain cerita juga dijelaskan bahwa pernah suatu waktu Malik diminta untuk memutuskan suatu perkara dengan diberikan sebongkah mushaf Al-Qur’an kepadanya. Apa yang dikatakan Abdul Malik saat diberikan Al-Qur’an? Ia berkata: “Ini adalah persentuhanku terakhir denganmu.”.
Kita tentu terperangah saat mengetahui kisah ini. Tapi itulah faktanya. Malik bin Marwan yang sebelumnya dikenal sebagai seorang pakar fikih, tapi ketika berkuasa, malah menunjukkan wajah yang berlainan dari yang sebelumnya. Saat memimpin, Malik malah merasa sudah harus menutup Al-Qur’an dan dengan terang-terangan mengatakan selamat tinggal terhadap Al-Qur’an.
Kebobrokan Khalifah Yazid bin Muawiyah
Selain dari Malik bin Marwan, di sana juga terdapat kisah yang menyedihkan dan menyayat perasaan dari Yazid bin Muawiyah. Kisah yang paling masyhur dari kebiadaban Yazid adalah kisah tentang pembantaiannya terhadap cucu Rasulullah Saw., Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Namun, kita tidak akan membahas itu. Kita akan membahas sejarah lain yang menunjukan bagaimana kelakukan Yazid saat menyerbu kota Madinah ketika penduduknya menarik baiat terhadapnya.
Ketika Yazid menyerbu Madinah, penduduk Madinah hanya sedikit yang siap dan sanggup untuk berperang. Akhirnya mereka takluk. Melihat kondisi penduduk Madinah yang telah takluk, bukannya merasa iba, Yazid malah mengumumkan anarkisme di dalam kota selama tiga hari.
Konon pada peristiwa ini ada sekitar 4.500 jiwa yang terbunuh. Sekitar seribu orang perawan diperkosa. Dan malangnya, semua itu terjadi atas titah Yazid. “Bujuklah mereka untuk menyerah selama tiga hari. Jika tidak menyerah juga, perangi mereka. Bila mereka takluk, segala sesuatu adalah halal bagi kalian selama tiga hari.
Rebutlah harta, ternak, senjata dan pangan mereka untuk dinikmati para tentara. Jika lewat masa tiga hari, butakanlah mata mereka.”, begitu perintah Yazid.
Masa Khilafah Bukanlah Masa Teladan
Rentetan-rentetan kisah kebobrokan khalifah itu sungguh mewartakan pada kita bahwa masa khilafah bukanlah masa yang terbaik dan masa yang selalu penuh kisah-kisah teladan. Karena sejarah menunjukkan sebaliknya.
Era khilafah diwarnai dengan tindakan-tindakan yang jauh dari nalar Islam. Fakta yang terjadi di masa khilafah tidaklah seperti yang digaung-gaungkan dan digembar-gemborkan oleh propagandis khilafah.
Itu baru di zaman dinati Umayyah. Belum lagi di zaman di dinasti Abbasiyah. Di sana kita akan melihat lebih banyak lagi kebobrokan dan kebengisan khalifah-khalifah. Al-Saffah, pendiri dinasti Abbasiyah misalnya.
Kebobrokan Khalifah Al-Saffah
Suatu hari di atas mimbar ia pernah berikrar, “Allah telah mengembalikan hak kami untuk memimpin, dan Ia akan menutup kepemimpinan ini dengan kami sebagaimana bermula. Waspadalah, karena saya adalah penjagal yang siap menghalalkan darah siapa saja dan pembalas dendam yang siap membinasakan siapa pun juga.”
Al-Saffah menyebut dirinya sebagai “si penjagal” yang siap menumpaskan darah siapa saja. Ibnu Atsir juga mengungkapkan: “Kuburan Muawiyah bin Abi Sufyan dibongkar, tetapi usaha mereka sia-sia karena tidak ditemukan apa-apa. Lalu kuburan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan dibongkar juga. Mereka menemukan sepotong tulang yang sudah berubah menjadi mirip arang. Lalu dibongkarlah kuburan Abdul Malik bin Marwan dan mereka hanya menemukan tengkoraknya.
Dari satu kuburan ke kuburan lain, mereka tidak menemukan banyak hal kecuali potongan-potongan tubuh. Terkecuali jenazah Hisyam bin Abdul Malik; mayatnya ditemukan hampir utuh, kecuali ujung hidungnya yang somplak. Mayat itu lalu didera, disalib, dibakar, lalu hilang ditelan angin. Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.” (Kebenaran yang Hilang, h. 160)
Itu hanya sekelumit dari cerita tentang bagaimana bobrok dan rusaknya khilafah-khilafah pasca Nabi. Kita tentu berharap dengan mengetahui fakta-fakta itu, umat Islam tidak lagi mudah termakan isu khilafah yang “diobral” oleh para penganjur khilafah. Karena hakikatnya harapan-harapan yang mereka bangun adalah iluasi. Sangat bertentangan dengan fakta tergambar pada lembaran-lembaran sejarah Islam.
Editor: Yahya FR