Muslim mana yang tidak pernah mendengar namanya? Seorang tokoh muslim yang sangat berpengaruh di masa dulu, kini, bahkan nanti. Berkat sebuah masterpiece dalam bidang hadis yang aslinya berjudul al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Umur Rasulilah saw wa Sunanihi wa Ayyamihi, atau yang lebih dikenal dengan nama Shahih al-Bukhari, beliau dinilai sebagai penulis kitab hadis paling benar.
Tentu saja, karya yang begitu fenomenal itu tidak dihasilkan dengan proses yang mudah. Karya tersebut merupakan hasil dari rihlah dan khidmah ‘ilmiyyah beliau, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan biaya yang tak sedikit.
Rihlah ‘Ilmiyah Sang Imam
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah. Gelar al-Bukhari dinisbatkan pada tempat kelahirannya, yaitu Bukhari. Beliau dilahirkan pada 13 Syawwal 194 H dan meninggal pada bulan Syawal tahun 256 H (usia 62 tahun).
Imam al-Bukhari kecil pernah mengalami kebutaan. Pada suatu malam, ibunya bermimpi bertemu Nabi Ibrahim as. yang memberikan kabar bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan anaknya (Imam al-Bukhari) karena banyaknya doa yang telah dipanjatkan oleh sang ibu (al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma` al-Rijal, hal. 445)
Perjalanan Imam al-Bukhari dalam menuntut hadis dimulai pada usianya 16 tahun. Setelah menunaikan ibadah haji bersama kakak dan ibunya, beliau tetap tinggal di Makkah untuk belajar agama, khususnya hadis, kepada tokoh-tokoh yang ada di kota itu. Untuk menambah kualitas dan kuantitas hadis, beliau melakukan banyak perjalanan ke kota-kota yang di dalamnya terdapat ulama hadis: Khurasan, berbagai kota di Iraq, Hijaz, Syam, hingga Mesir.
Sehingga tak mengherankan jika beliau memiliki banyak guru dan murid ternama. Di antara gurunya adalah Makki bin Ibrahim al-Balkhi, Abdan bin Utsman al-Marwazi, Abu Ashim al-Syaibani, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Imam Ahmad bin Hanbal, dan banyak lainnya. Sedangkan muridnya yang terkenal adalah Abu Zar’ah, Abu Hatim, Ibnu Abi al-Dunya, al-Tirmidzi, Muslim bin al-Hajjaj (Imam Muslim).
Ketika Imam al-Bukhari Diuji Para Ahli Hadis
Kecerdasan Imam al-Bukhari bukan rahasia umum, sehingga telah diketahui oleh penduduk Baghdad sebelum beliau berkunjung ke sana. Para ahli hadis di kota itu telah berkumpul dan memutuskan untuk menguji kekuatan hafalannya. Sehingga, ketika beliau sampai di Baghdad, beliau langsung mendapatkan ujian.
Untuk menguji sang Imam, disediakan seratus hadis yang telah diacak, baik sanad maupun matannya. Hadis-hadis itu tidak hanya diacak secara internal, tetapi secara eksternal. Matan hadis “yang ini” dimasukkan pada sanad hadis “yang lain”. Seratus hadis yang telah diacak itu diserahkan kepada sepuluh penguji, sehingga masing-masing darinya memegang sepuluh hadis untuk diujikan kepada Imam al-Bukhari.
Penguji pertama membacakan hadis pertama hingga kesepuluh kepada Imam al-Bukhari secara lengkap, sanad dan matan. Lalu penguji berikutnya melakukan hal yang sama hingga selesai seratus hadis dibacakan. Setiap kali si penguji selesai membacakan satu hadis, Imam al-Bukhari berkata, “Aku tidak tahu (mengenal) hadis tersebut”.
Orang-orang awam yang menyaksikannya memberikan penilaian tersendiri dalam benak dan hati mereka. Mereka menilai Imam al-Bukhari sebagai orang yang lemah untuk hadis. Sedangkan para penguji berkata, “Wahai al-Bukhari, pahamkanlah (jelaskan kepada) hadirin!”
Beliau kemudian menghadap kepada penguji pertama dan berkata, “Hadismu yang pertama seharusnya begini, yang kedua harusnya begini.” Begitu seterusnya hingga sepuluh hadis. Setelah selesai memperbaiki sepuluh hadis pertama, beliau menghadap ke penguji kedua dan melakukan hal yang sama hingga penguji terakhir dan hadis terakhir.
Beberapa hadirin kemudian berkomentar, “yang menakjubkan darinya bukanlah pengetahuannya akan hadis yang benar. Tetapi bagaimana ia menyusun kembali hadis-hadis yang telah diujikan kepadanya dengan dengan tertib (sanad dan matannya) dari awal.” (Abu Syuhbah, A’laam al-Muhadditsiin, hal. 113).
Kehati-hatian Imam al-Bukhari dalam Menyusun Kitab Hadis
Imam al-Bukhari dikenal sebagai orang pertama yang menyusun kitab Shahih. Namun, bukan itu faktor yang menjadikan beliau dikenal sebagai penyusun kitab hadis paling ternama. Predikat itu merupakan hasil dari jerih payah, kesungguhan hati, serta kehati-hatian beliau yang sangat besar dalam memilih dan memilah hadis yang akan dimasukkan ke dalam kitab Shahihnya.
Berdasarkan penuturannya sendiri, Shahih al-Bukhari adalah hasil seleksi dari enam ratus ribu hadis yang dilakukan selama enam belas tahun. Dan setiap kali beliau ingin memasukkan satu hadis ke dalam karyanya, beliau mandi dan melaksanakan shalat dua rakaat, meminta petunjuk kepada Allah. “Tidaklah aku letakkan (masukkan) sebuah hadis dalam kitab Shahih ini, kecuali aku mandi terlebih dahulu kemudian melaksanakan shalat dua rakaat.”
Bahkan, banyak hadis sahih yang sengaja tidak beliau masukkan ke dalam karyanya tersebut. Bukan karena ragu, melainkan karena beliau tidak ingin menjadikan kitab Shahihnya terlalu tebal. “Dan kutinggalkan (tidak dimasukkan) banyak hadis sahih agar kitabku tidak menjadi panjang (tebal),” tutur Imam al-Bukhari.
Sikap kehati-hatian Imam al-Bukhari dalam menyusun kitab Shahih juga terlihat dari seberapa banyak beliau mengulang penyusunannya. Sikap ini bukan hanya dilakukan olehnya terhadap kitab Shahih, tetapi juga terhadap karya-karyanya yang lain. Beliau berkata, “Kususun semua kitabku sebanyak tiga kali.” (al-Zhahabi, Siyar A’laam al-Nubalaa, jil. 10, hal. 84).
Dengan kecerdasan dan kehati-hatiannya itu, maka tak mengherankan jika banyak pujian dilontarkan kepada Imam al-Bukhari dan menjadikan beliau sebagai seorang penyusun kitab hadis paling ternama. Selain itu, sikap dan cara beliau itu pun menjadikan karyanya disebut sebagai kitab paling shahih setelah al-Quran.
Editor: Ahmad