Pilihan physical distancing untuk berjaga jarak dan tetap berdiam diri di rumah, beribadah di rumah, bahkan bekerja dari rumah, adalah rekomendasi yang tepat di tengah meningkatnya wabah COVID-19 atau Corona virus.
Namun langkah ini pada praktiknya ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan di tingkat masyarakat luas, tidak terkecuali umat Islam. Hal ini disebabkan oleh “kecongkakan” beragama umat Islam itu sendiri.
Padahal kita tahu bahwa konsekuensi logis dari physical distancing adalah menghentikan segala bentuk aktivitas bertemu dan berkumpul, dan secara tegas Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumumkan bahwa COVID-19 sebagai kasus pandemi. Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa Nomor 12 Tahun 2020 bahwa selama pandemi COVID-19 untuk melakukan ritual ibadah di rumah saja, sebagai bentuk kontribusi memutus mata rantai penyebaran wabah virus Corona. Namun faktanya, hingga saat ini masih ada kelompok-kelompok umat Islam yang menutup mata akan ancaman wabah tersebut.
Mereka tetap menyelenggarakan ritual keagamaan yang sifatnya mengandung unsur keramaian. Dengan alasan klasik yang sering dipakai “jangan takut Corona, takutlah kepada Allah” “hidup dan mati itu di tangan Tuhan bukan Corona”. Saya sepakat dengan alasan yang mereka sampaikan, tetapi itu pada konteks-konteks tertentu.
Tidak kemudian menggeneralisir seluruh persoalan harus “dipasrahkan” tanpa ada usaha. Sebab Islam mengajarkan kita berusaha semampu kita kemudian diiringi dengan do’a, lalu akhir dari usaha dan do’a adalah pasrah.
Mengenai hal ini, saya kira umat Islam di Indonesia seharusnya mengambil pelajaran dari negara tetangga, Malaysia. Dilansir dari tirto.id bahwa Pada awal Maret lalu, sebanyak 16 ribu orang dari berbagai negara berkumpul melakukan do’a bersama di Masjid Sri Petaling Jamek.
Setelah kegiatan tersebut, 238 orang terkonfirmasi terinfeksi virus Corona, sebanyak 216 warga Malaysia, 15 orang dari China, 3 warga Indonesia, 1 orang warga Italia, 2 orang warga Jepang, dan 1 orang warga Amerika.
***
Bahkan Masjid tersebut dianggap sebagai titik awal penyebaran wabah COVID-19 di Malaysia yang akhirnya negara tersebut melakukan karantina wilayah. Dengan adanya kasus yang terjadi di Malaysia, seharusnya umat Islam di Indonesia “berpikir”, “sadar”, dan mengikuti kebijakan pemerintah untuk melakukan physical distancing serta menjalankan ritual peribadatan di rumah.
Tidak seharusnya bertindak seolah-olah apa yang anjurkan pemerintah dan fatwa yang dikeluarkan MUI hanyalah guyonan semata. Pernah suatu ketika saya bertemu dengan beberapa jamaah yang logikanya terbalik.
Bagaimana tidak, ketika saya menanyakan kenapa masih menyelenggarakan salat fardhu dan jumat di masjid, mereka mengatakan, “Belum ada jama’ah yang positif Corona, nanti kalau sudah ada satu yang positif Corona baru kita berhentikan salat jumat dan menggantikannya denga salat dzuhur di rumah”.
Ini merupakan paradigma yang keliru, harusnya yang dikedepankan adalah kemaslahatan umat dengan tindakan pencegahan, bukan sebaliknya.
Saya kira, ini adalah “kecongkakan” beragama yang nyata. Meskipun sudah beberapa kali di sampaikan oleh tokoh-tokoh agama yang tentu saja secara keilmuan tidak diragukan, tetapi masih saja ada yang tidak mengindahkan nasehat tersebut. “Kekakuan” beragama masih terus dipelihara, berhenti pada tatanan “tekstual”, dan mengabaikan “kontekstual”. Beragama tidak semata ikut-ikutan, tetapi beragama harus melibatkan “akal”.
Beragama Dengan “Akal”
Berdasarkan konsep holistik tentang akal inilah yang menuntut kita untuk menggunakan semua daya dan potensi mencari keselamatan, terlepas dari keharusan mematuhi paradigma, Al-Qur’an mengundang kita untuk merenung, memikirkan, dan mencari pengetahuan.
Penekanan pada pengetahuan kembali membuka mata. Sebagaimana telah kita lihat, pengetahuan berasal dari usaha untuk mentransendensikan atau melampaui keterbatasan prespektif yang sempit. Pencarian akan pengetahuan menjadi penting dari penalaran cermat terhadap dampak dan resiko. Selain itu, pengetahuan adalah tantangan untuk memahami sesuatu.
Termasuk dalam konteks beribadah di masa meningkatnya wabah COVID-19 ini. Perlu kita berpikir dan mencermati dengan benar untuk mengindahkan anjuran pemerintah dan fatwa MUI. Selain itu, harus kita pikirkan juga kemungkinan apa yang akan terjadi jika kita tidak menjalankan anjuran pemerintah dan fatwa MUI dalam rangka memutus mata rantai penyebaran wabah COVID-19.
Hal tersebut dilakukan dalam rangka sebagai upaya kemaslahatan bersama, bukan karena ada unsur lain. Maka dari itu, ber-agama dengan “akal” menjadi sebuah keharusan, akal bukanlah sesuatu yang harus disingkirkan untuk merengkuh dan memperkuat iman, melainkan akal sebagai saran menggapai iman, alat penemuan, mencari keselamatan, mendatangkan kemaslahatan, dan perangkat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Keselamatan dalam artian bukan hanya di akhirat, melainkan mencari keselamatan di dunia, termasuk selamat dari wabah COVID-19. Yang perlu kita ingat dan kita renungi adalah, Islam adalah jalan keselamatan, artinya beribadah atas dasar ego pribadi yang hanya memikirkan surga tanpa berpikir dampak dari penyebaran wabah COVID-19 kepada sesama hanya akan membuat kita kalah dalam medan pertempuran melawan Corona.