Organisasi yang satu ini memiliki aset tanah wakaf sekitar 20 juta meter persegi, 22.000 TK/PAUD, 2.766 SD/MI, 1.826 SMP/MTs, 1.407 SMA/SMK, 164 Perguruan Tinggi dengan jumlah dosen sebanyak 17.117 dan mahasiswa sebanyak 554.201, punya 364 rumah sakit/klinik, 384 Panti Asuhan, 356 Pondok Pesantren, dan 20.198 masjid. Lalu, bagaimana ‘kegilaan’ orang Muhammadiyah dalam bersedekah?
Apakah Pengurus Ranting Muhammadiyah Itu Kaya?
Saya sedang tidak membicarakan aset konglomerat macam Budi dan Michael Hartono, Eka Tjipta, Tahir, atau konglomerat Indonesia lainnya. Kita sedang membahas tentang salah satu organisasi massa (ormas) Islam dengan kekayaan aset yang besar hasil dari pengelolaan wakaf: Persyarikatan Muhammadiyah.
Banyak survei yang menyebut Muhammadiyah, secara jumlah anggota, selalu menjadi nomor dua setelah Nahdlatul Ulama. Secara kasat mata, jika kita berkeliling Indonesia, memang agak sulit bertemu orang Muhammadiyah. Kita lebih mudah menemukan aset-asetnya, mulai dari sekolah, universitas, rumah sakit, lembaga keuangan, lembaga zakat, dan lain-lain.
Berbagai usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh Muhammadiyah biasa disebut Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Bukan hanya nama, secara legalitas memang semua asetnya tercatat atas nama Muhammadiyah. Tidak ada yang tercatat atas nama pengurusnya.
Muhammadiyah dibangun dari ranting (tingkat desa/kelompok) sampai tingkat pusat (nasional), bukan sebaliknya. Inisiatif zakat, infak, sedekah, dan wakaf kebanyakan datang dari akar rumput. Segala macam hal yang dibangun oleh ranting diberikan ke Pimpinan Pusat agar asetnya tercatat atas nama Muhammadiyah. Apakah pengurus ranting itu sudah kaya sehingga ringan saja menyerahkan secara cuma-cuma apa yang mereka bangun?
Ternyata tidak juga. Latar belakang pengurus di ranting Muhammadiyah itu beragam. Memang ada yang kaya, tapi lebih banyak yang biasa saja. Ada yang berprofesi sebagai guru, petani, pedagang, karyawan swasta, PNS, dan sebagainya.
Kegilaan Orang Muhammadiyah dalam Bersedekah
Ini yang saya sebut kegilaan. Tentu dalam arti positif. Orang Muhammadiyah ringan sekali menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan orang banyak. Anda tentu familiar dengan kisah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Kita tidak akan membicarakan alur ceritanya. Namun, di novel itu dikisahkan bahwa Laskar Pelangi bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong. Di tahun 70-an, di pulau Belitung yang terpencil, sudah ada orang Muhammadiyah yang merelakan tanahnya untuk dibangun sekolah. Cerita-cerita seperti ini jamak ditemukan di berbagai tempat.
Saya akan kisahkan yang lebih dekat dengan hidup saya. Sekitar akhir tahun 60-an, KH Adang Komaruddin pulang ke Bogor pasca menimba ilmu di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Sekolah ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1918. Para alumninya menyebar ke berbagai daerah untuk melebarkan dakwah Muhammadiyah.
Pak Adang, begitu beliau akrab disapa, langsung diamanahi membuat sekolah oleh pimpinan Muhammadiyah setempat, setelah pulang dari Yogyakarta. Beliau dan kawan seangkatannya mendirikan Madrasah Mu’allimien Muhammadiyah Leuwiliang Bogor. Saat itu, kehidupan ekonominya biasa saja. Hanya punya warung kecil. Bahkan ada tetangga yang mencibir, warung pak Adang akan amburadul bahkan jika tertiup angin kecil.
Seperti orang Muhammadiyah pada umumnya, sekolah inipun menjadi milik Muhammadiyah. Bahkan saat ini di komplek yang sama sudah berdiri TK Aisyiyah, MI Muhammadiyah Leuwiliang (setingkat SD), dan juga STKIP Muhammadiyah Bogor. Semua diserahkan ke Muhammadiyah. Pak Adang hanya meletakkan pondasinya, tidak mendaku sebagai pemilik. Padahal saat dulu beliau bisa saja membuat yayasan untuk menaungi sekolah-sekolah yang dibangun, untuk memperkaya diri.
Namun rezekinya dari jalan lain. Warung pak Adang, yang katanya akan hancur meski tertiup angin kecil terus berkembang dan memiliki beberapa cabang. Namanya Sinar Surya. Pak Adang sejak dulu hanya mengabdi di Mu’allimien, sedangkan untuk mencari penghidupan beliau dapatkan dari warungnya.
Muhammadiyah Dipenuhi Orang-orang Dermawan
Muhammadiyah, meski jumlah anggotanya sedikit, namun dipenuhi oleh orang-orang macam ini. Orang-orang dermawan. Gila dalam bersedekah atau berwakaf. Ikhlas membangun gerakan. Orang-orangnya tak tampak di permukaan mungkin karena jarang ikut demo di jalan. Atau tokohnya jarang terlihat mendominasi, mungkin karena suaranya tidak pernah lantang berorasi. Namun manfaatnya nyata, bahkan di daerah minoritas muslim seperti di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Jika pemerintah ingin menggalakkan wakaf uang untuk membangun segala macam hal demi kepentingan masyarakat, ada baiknya mencontoh apa yang dilakukan Muhammadiyah. Praktik wakaf di organisasi yang berdiri tahun 1912 ini sudah berlangsung lama dan terbukti sukses. Soal wakaf adalah soal keperacayaan. Problemnya, apakah saat ini warga negara percaya pada yang mengelola negara?
Editor: Nabhan