Perspektif

Perang Air dan Komitmen Lingkungan Hidup Muhammadiyah

3 Mins read

“Perang Air” adalah istilah yang merujuk pada kompetisi memperebutkan air, energi paling penting yang sesungguhnya jauh lebih berharga daripada, contohlah, minyak atau emas. Air adalah penjamin kehidupan seluruh organisme di bumi. Bagi manusia, air adalah jaminan untuk melangsungkan kebudayaan, baik pertanian hingga industri.

Manusia tidak pernah sekadar menggarap tanah dan menumbuhkan padi, atau memproduksi sepatu dan baju. Kerja-kerja kebudayaan, ditopang oleh air. Memasak, bersih-bersih, mengolah semen, dan lain sebagainya. Di beberapa kebudayaan, air adalah bagian terpenting dari aktivitas mistik-spiritual. Sebuah pabrik bisa membutuhkan ribuan ton air sehari. Sementara jumlah air terbatas.

Karena itulah terjadi kompetisi air. Hanya saja, dalam Perang Air, kompetisi berlangsung tidak adil dan cenderung melibatkan kekerasan. Kompetisi ini juga disebut sebagai perang, bukan konflik. Karena kemunculannya yang konstan dan merata di berbagai daerah, dengan peserta perang yang jelas, yakni kuasa modal melawan rakyat.

Kuasa Modal Vs Rakyat

Terbatasnya jumlah air dan posisi fundamentalnya bagi suatu kebudayaan, membuat Ismail Serageldin, sejak akhir abad ke-20, memprediksikan bahwa perang-perang di masa depan akan dipicu oleh air, bukan minyak. Perang Air bukan sekadar masalah kekurangan air bersih. Ada masalah yang jauh lebih mendasar.

Mari mengambil contoh. Di Kota Batu, Dusun Cangar Desa Bulukerto, telah berlangsung selama bertahun-tahun perlawanan warga terhadap rencana pembangunan hotel oleh PT. Panggon Sarkasa di dekat sumber air Umbul Gemulo. Yang telah ratusan tahun menghidupkan manusia dan kebudayaan sekitar. Hotel tidak hanya mengancam kelestarian sumber air, ia juga mengancam kedaulatan warga atas air.

Di meja hijau, perlawanan tiba hingga di tingkat kasasi. PT. Panggon Sarkasa diketahui telah melakukan rekayasa data, dengan melampirkan rencana lokasi pembangunan hotel berada di radius jauh dari sumber air.

Baca Juga  Indonesia itu Humanisme Religius atau Humanisme Sekuler?

Meski demikian, di tingkat kasasi, peradilan menolak gugatan kedua belah pihak. Hal ini menjadikan sengketa menjadi netral, yang artinya, pembangunan hotel tetap dibenarkan bila ada IMB.

Perselingkuhan antara Korporasi dan Pemerintah

Sampai di sana, adalah naif untuk mengira bahwa korporasi tidak memiliki hubungan gelap dengan penguasa. Indikasinya, pertama, perlawanan warga konstan mendapatkan tekanan struktural dan kultural.

Warga mengaku kerap diteror baik oleh polisi (dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal). Juga oleh preman-preman yang diketahui sebagai ‘peliharaan’ walikota. Kedua, walikota itu kini telah ditangkap KPK karena berbagai kasus suap.

Contoh lain Perang Air adalah pertumbuhan hotel di Jogjakarta yang menyebabkan keringnya sumur warga―dan krisis air itu tidak ada preseden sejarahnya. Hotel menyuplai air bersih dari pengeboran sumur dalam (deepwell) dan ditopang kekurangannya oleh PDAM.

Warga yang kering sumurnya berhari-hari, harus membeli air dari berbagai tempat. Bahkan,  untuk mandi, mereka harus ke pasar dan membayar toilet umum.

Artinya, kebutuhan korporasi dan kebutuhan rakyat terhadap air di dalam tanah telah bertubrukan. Pertubrukan ini tidak berhenti menjadi sekadar kompetisi karena ketimpangan sarana. Korporasi, sebagai penguasa modal, mampu menyerap air lebih banyak dan menggunakannya untuk pertumbuhan ekonomi berskala cepat dan raksasa. Sedangkan sumur dan ekonomi rakyat tidak bekerja dengan cara yang sama.

Nusantara telah lama mengenal sumur sebagai budaya distribusi air secara adil. Tidak menutup kemungkinan sumur menjadi sumber konflik, namun sumur memastikan cadangan air tanah tersimpan baik, tanpa ‘dominasi gila-gilaan segelintir orang.

Di daerah yang kurang modern, sekalipun sumur dimiliki satu keluarga, budaya korsa menjadikan sumur milik bersama, bisa diakses siapa saja. Sumur adalah wajah kedaulatan dan “kekitaan”.

Baca Juga  IMM Sebagai Basis Pergerakan Intelektual

Bila privatisasi menjadi tren utama, sumur ditinggalkan dan manusia memenuhi kebutuhan akan air dengan membeli dari korporasi penguasa sumber air, sumber yang dulu dikuasai rakyat. Air menjadi komoditas. Vandana Shiva memberi perhatian besar akan hal ini: ia membandingkan Jal Maindirs, kuil air cuma-cuma dalam kebudayaan India, dengan air kemasan pabrik. Menurutnya, air itu suci dan tidak seharusnya dikomoditaskan.

Dakwah Muhammadiyah: Memenangkan Perang Air

Pertanyaan menariknya: dimana kah Muhammadiyah dalam Perang Air? Sependek pengalaman membersamai warga dalam Perang Air, sering saya dengar absennya Muhammadiyah. Kontribusi orang Muhammadiyah tidak sama dengan “keterlibatan insititusi Muhammadiyah”. Bukan pula maqam Muhammadiyah untuk sekadar menyalurkan dana. Seharusnya Muhammadiyah tegas berdiri bersisisan dengan rakyat dan memenangkan Perang Air.

Apakah gerakan Muhammadiyah telah dipatok hanya berkutat seputar feeding, healing, dan schooling? sehingga perjuangan ekologis menjadi bukan prioritas? Ataukah mainstream pikiran di kalangan anggota Muhammadiyah masih gagal memahami mengapa privatisasi disebut sebagai kemungkaran? Sehingga gagal pula anggota-anggota Muhammadiyah menyatakan privatisasi sebagai lawan perang? Saya tidak berani mengambil kesimpulan.

Tapi saya percaya, orang Muhammadiyah terlalu tegak moralnya untuk tidak menafsirkan Islam sesuai dengan kemauan kuasa modal (dan setelah penafsiran itu mereka mendadak punya mobil dan rumah baru. Seperti yang terjadi pada sejumlah elit agama di berbagai kasus Perang Air). Namun berdiam diri di hadapan Perang Air, perang pada privatisasi, bisa sama berbahayanya bagi masa depan lingkungan hidup.

Muhammadiyah sudah menjelang muktamar yang kesekian. Usia Muhammadiyah sudah seabad lebih. Abad ini adalah abad ekologis; dengan pemahaman yang kritis, dunia bergerak mewujudkan keadilan ekologis demi mencegah kiamat lingkungan.

Karena itulah, pada tanggal 10 Januari ini, saya merayakan Hari Lingkungan Hidup dengan berdoa agar Muhammadiyah meneruskan fikih airnya menjadi komitmen kuat dan keterlibatan aktif dalam Perang Air. Perang menyelamatkan kehidupan.

Baca Juga  Bagaimana Seharusnya Sikap Seorang Muslim dalam Pemilu?

.

Editor: Yahya Fathur R
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *