Tak bisa dipungkiri, sebagian masyarakat Indonesia saat ini masih banyak yang percaya kepada obat herbal, termasuk madu. Hal itu bisa dilihat dari masih banyaknya tukang jamu keliling atau berbagai produk obat herbal yang beredar di pasaran. Namun, kali ini kita akan membahas madu dalam Islam. Apa keistimewaannya?
Madu dalam Islam
Dilansir dari alodokter.com, obat-obatan herbal dibuat dari tumbuh-tumbuhan atau campuran dari ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk mengobati penyakit atau menjaga kesehatan. Obat herbal bisa dibuat dari daun, bunga, batang, akar, buah, bahkan bijinya. Kemudian bahan-bahan ini diproses dan dikemas dalam bentuk kapsul, tablet, minyak, salep, atau minuman dalam bentuk teh. Contoh tanaman yang kerap dikonsumsi sebagai obat herbal adalah srikaya.
Karena dibuat dari bahan-bahan alami, masyarakat pun berpikir bahwa obat herbal aman dan tidak ragu untuk mencobanya, terutama jika obat herbal itu sudah digunakan sejak lama secara turun-temurun. Salah satu obat herbal yang banyak diceritakan dalam Islam adalah madu. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 68-69:
“Dan Tuhanmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibuat manusia (peternakan lebah). Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.”.
Adapun suatu kisah terkait madu dalam perjalanan sejarah Islam. Dilansir oleh kanalaceh.com, suatu ketika, seorang sahabat datang menemui Rasulullah Saw. dan bercerita kalau perut saudaranya sakit. Mendengar cerita itu, Rasulullah Saw. berkata, ”Minumkanlah padanya madu”. Sahabat tersebut pergi dan kembali lagi sambil berkata, ”Madu hanya membuat perutnya lega dua atau tiga kali”.
Setiap kali menerima pengaduan sahabat itu, Rasulullah Saw. berkata, ”Minumkanlah padanya madu”. Sampai akhirnya pada kali ketiga Rasulullah Saw. bersabda, ”Allah pasti benar, yang berdusta adalah perut saudaramu. Pergilah dan minumkanlah padanya madu.” Kemudian sahabat itu pergi dan meminumkan madu kepada saudaranya dan sembuhlan penyakit perutnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Kenapa Rasulullah Meyakini Khasiat Madu?
Rasulullah Saw. begitu yakin madu akan mengatasi berbagai penyakit. Keyakinan Rasulullah Saw. bahwa madu mengandung obat bagi manusia karena telah difirmankan Allah Swt. dalam Al-Qur’an. Sampai-sampai Allah memfirmankan satu surat dalam kitab suci Al-Qur’an dengan nama an-Nahl (lebah), yang kemudian memproduksi madu.
Tujuannya agar manusia dapat mengetahui hikmah dan tanda-tanda kekuasaan Allah di balik penciptaan lebah. Selain itu, agar manusia juga mengetahui betapa lebah yang kecil dapat memproduksi madu yang didalamnya terkandung obat untuk berbagai macam penyakit.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, bahwa ada seseorang datang kepada Nabi, dan mengadu, “Wahai Rasulullah, saudaraku terkena diare. Rasulullah kemudian bersabda, “Minumkanlah madu kepadanya”. Orang itupun lantas meminumkan madu kepada saudaranya. Akan tetapi, ia kemudian datang lagi kepada Nabi dan mengadu untuk kedua kalinya, “Wahai Rasulullah, aku sudah meminumkan madu kepadanya, tetapi diarenya justru semakin parah”.
Beliau mengatakan, “Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya”. Orang tersebut pun kemudian meminumkan madu lagi kepada saudaranya itu. Ia pun kembali datang mengadu, “Wahai Rasulullah, minum madu justru semakin memperparah diarenya”. Rasulullah kemudian bersabda, “Maha benar Allah dan telah berdusta perut saudaramu. Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya”. Orang tersebut lantas pergi, dan meminumkan madu kepada saudaranya. dan tak lama kemudian, saudaranya itu pun sembuh.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata,” aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
إِنْ كَانَ ِفيْ شَيءٍ مِنْ أَدْوَيتِكُمْ خَيْرٌ ؛ فَفِيْ شَرْطَةِ مَحجَمٍ أَوْ شَرْبَةٍ مِنْ عَسَلٍ أَوْ لَذْعَةٍ بِنَارٍ وَمَا أُحِبُّ أَنَ أكتِوَي
“Jika dalam pengobatan kalian ada sedikit pengembangan. Maka yang demikian itu bisa didapatkan pada keratan kulit orang yang membekam , atau seteguk madu atau sengatan api” (HR Bukhari, no. 5704, Muslim no. 2205).
Editor: Nirwansyah