Tajdida

Mau Sampai Kapan Islam Tertidur dan Bermimpi Soal Kejayaan Islam?

5 Mins read

Mungkinkah Kejayaan Islam Bisa Diraih Kembali?

Kejayaan Islam Keadaan manusia, dan apa yang mereka pikirkan, sudah pasti tidak semuanya sama. Beragam, bermacam-macam. Itulah kondisi alami dunia. Begitu pula yang terjadi pada kita, umat Islam. Tak semua dari kita adalah Muslim yang taat. Tak semua adalah Muslim moderat. Beberapa adalah Muslim nominal, yaitu hanya di KTP saja. Yang lain adalah Muslim konservatif, alias yang menggebu-gebu pada ajaran normatif agamanya.

Para ilmuwan sosial seperti Alvin Toffler (1980) dan Francis Fukuyama (1992) melihat dunia diombang-ambing oleh berbagai gelombang. Gelombang itu perumpaan saja dari sebuah peradaban dan kebudayaan yang dominan. Kebudayaan itu tak cukup hanya cara bergaya, tapi juga sampai cara berpikir. Hari ini, gelombang besar kita adalah modernisme. Masih modernisme. Cara berpikirnya adalah rasional, ekonominya kapitalis dan pasar bebas, sikap hidupnya liberal, dan politiknya adalah demokrasi.

Dunia Islam hari ini (lebih tepatnya dua abad terakhir) termasuk yang terkena dampak gelombang besar itu. Fukuyama malah bilang bahwa ini sudah masuk the end of history. Kira-kira, Fukuyama bertanya begini: Apa lagi yang bisa muncul setelah ini? Kalau Fukuyama bertanya pada beberapa Muslim Indonesia; maka jawabnya adalah: Dunia tidak akan berakhir sebelum munculnya kembali kejayaan Islam. Apa pun definisi kejayaan Islam versi mereka, bagi saya, itu semua mimpi belaka. Mereka bermimpi; sementara dirinya tenggelam dalam gelombang raksasa.

Mimpi atas Kejayaan Islam Membuat Mereka Tak Bisa Menerima Kenyataan

Modernisme muncul tidak dengan sekali ucapan mantra dari seorang penyihir Eropa. Prosesnya panjang, ujiannya pun tak mudah. Modernisme diuji oleh perubahan yang dibawanya sendiri. Ia berhasil melahirkan humanisme dan revolusi saintifik. Tak lama berselang, lahir pula kolonialisme dan dua perang dunia. Tapi, justru ujian itu tak mengalahkannya. Modernisme tidak menyerah. Pasca dua perang besar, lahirlah hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan Asia dan Afrika. Itu juga berkat modernisme tentunya.

Kalau Anda akrab dengan narasi historisnya Yuval Noah Harari (2014), Anda akan lihat modernisme itu berjalan cepat sekali, mungkin seperti shinkansen paling cepat di muka bumi. Baru sekitar 500 tahun saja revolusi saintifik terjadi. Tapi, jika manusia dari 100 tahun silam bisa datang dengan mesin waktu ke hari ini, mereka mungkin akan pingsan. Kata Harari, bisa jadi mereka akan terkejut, bertanya, apakah ini surga. Atau justru tersiksa, dan bertanya, apakah ini neraka.

Baca Juga  Al-Baqillani: Pengikut Asy’ariyah yang Berbeda Pandangan dengan Pendirinya

Dalam kenyataan sejarah dan kondisi sosial seperti itu, banyak dari orang Muslim yang cenderung kekanak-kanakan, meski usianya sudah tua, dan meski pendidikannya melebihi sarjana. Mereka ini menilai bahwa tak ada sejarah dan peradaban yang baik, selain sejarah dan peradaban Islam. Anda sendiri bisa menjadi peneliti dalam hal ini. Lihat kiri dan kanan Anda, berapa banyak teman Anda yang Muslim yang sangat yakin bahwa cuma periode Nabi, sahabat, dan tabi’in-lah yang baik. Terserah dari mana keyakinan itu berasal; hadits, atau pun ayat.

***

Sebenarnya kita patut kasihan pada mereka. Matanya tak kunjung terbuka. Mereka belum juga bangun dari mimpi, apologia, dan utopia yang mereka angan-angankan. Saya tidak mengatakan bahwa masa lalu itu buruk. Tapi, jangan juga dikira bahwa semua yang di masa lalu itu baik, bahkan meski ada hadits yang memuji-muji masa lalu tersebut. Entah apa yang salah, umat ini kehilangan daya kritisnya untuk menilai sejarah dan fenomena. Seperti Sayyid Quthb, mereka menolak apa pun yang asing dari Islam.

Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Minds (2021) menilai bahwa teologi antirasionalisme bertanggung jawab atas tidak mampunya dunia Islam bergabung dalam modernisme. Betul sekali, kaum konservatif Islam punya dunianya sendiri. Mereka tidak bergabung dalam realitas sebenarnya. Mereka hidup dalam mimpi. Teologi antirasionalisme seperti Asy’ariyah dijadikan tameng ideologis untuk memberikan mereka ketenangan psikologis, bahwa cukup dengan menerima kitab suci dan hadits Nabi, mereka sudah menjadi golongan yang selamat.

Implikasi Sosial Politik dari Mimpi Kejayaan Islam

Muslim konservatif tidak terdiri dari kaum awam saja. Mereka punya pemimpin ideologis di era modern ini. Mulai dari Muhammad ibn Abdul Wahhab, Hasan al-Banna, Nabhani, Maududi, Sayyid Quthb, hingga Khomeini, dan ulama-ulama penerusnya. Mereka cukup cerdas. Bahkan sangat cerdas. Mereka punya pengetahuan dan penguasaan akan tradisi Islam.

Tapi, ideologinya jelas tidak cukup produktif dan konstruktif di era modern kita. Itu saja sudah cukup untuk membuat kita (seharusnya) tidak mudah percaya pada mereka. Tapi, sekali lagi, beberapa (namun banyak) Muslim yang konservatif, jangankan menerima modernisme, dibandingkan memilih akal dan sains pun, mereka lebih memilih memihak ulamanya. Mereka meyakini keselamatan hanya ada dalam sektenya; alasan mengapa mereka membawa ideologi sektarianisme.

Kaum konservatif Islam juga membawa ideologi puritanisme. Mereka ingin kembali pada ajaran Islam yang murni (pure, asal kata puritanisme). Kaum konservatif ini, minimal bisa dibagi dua; yang politis, dan apolitis. Kelompok seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir jelas adalah golongan politis. Salafi (atau Wahabi) dan Jamaah Tabligh adalah yang apolitis (Ed Husein, 2007). Kategori ini bersifat cair tentu saja; ciri khas dari kategori sosiologis. Meski begitu, ia berguna dalam membantu kita membuat peta pemikiran.

Baca Juga  Haedar Nashir: Kebencian Merebak di Media Sosial tanpa Panduan Moral

Seorang intelektual cum teknokrat asal Irak, Ali Allawi (2009) dengan lantang menyampaikan pada seluruh dunia bahwa kaum Islam politik (dunia akademik menyebutnya Islamist) adalah sama munafiknya dengan politikus yang lain. Bahkan lebih parah lagi, sebab mereka mengaku-ngaku mewakili Islam yang suci. Allawi menyaksikan sendiri bagaimana korupnya kaum Islamist, amoralnya mereka, dan kebodohan mereka dalam menjadikan Islam sebagai slogan, padahal agenda pemerintahannya sendiri rusak tidak karuan.

***

Suara yang sama diutarakan intelektual dan penulis rajin asal Turki, Ahmet Kuru (2019). Kata dia, berdasarkan riset perbandingan antarnegara, kaum Muslim konservatif yang naik menjadi penguasa, tak kurang otoriter dari pendahulu sekulernya. Belum lagi, kaum Islamist seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir; mereka kaya akan slogan-slogan Islam, tapi miskin wawasan. Akibatnya, mereka tidak mampu dan tidak lihai menjalankan amanah kekuasaan pascakudeta atas rezim Mubarak.

Dalam cakap-cakap dengan saya lewat Facebook Messenger bulan lalu, Kuru selalu mencontohkan Erdogan. Dia adalah contoh pemimpin otoriter di dunia modern saat ini. Semua lawan politik yang ia tidak suka, bernasib dipersekusi, dipenjara, atau dicap teroris, seperti yang dialami Fethullan Gulen. Kita bisa menambahkan Mursi, mantan presiden Mesir, asal Ikhwanul Muslimin, sebagai presiden yang tak mampu (kasarnya, tak becus) mengurus sebuah negara dengan kekayaan kultural dan sejarah seperti Mesir.

Penulis produktif asal Turki lainnya, Mustafa Akyol, yang sudah disebut di atas, sering menyebut tiga negara berikut ini sebagai contoh negara Muslim yang anti terhadap nilai-nilai modernisme, terutama kebebasan: Turki, Saudi, dan Iran. Di negara-negara ini, konservatisme adalah norma utama. Partai Islam konservatif sudah lebih dari satu dekade menguasai Turki. Saudi membentuk polisi syariat untuk melindungi ortodoksi. Dewan ulama (Velayat-e Faqeh) adalah pemimpin superior demokrasi-semu di Iran. Ketiga negara ini memiliki masalah kebebasan.

Di Indonesia, kita tahu, banyak sekali orang Muslim yang mengidolakan negara-negara tersebut, sebagai model ideal negara yang Islami. Tentu saja, karena bagi mereka, menjadi Muslim berarti menjalankan hukum dan syariat Islam. Akal mereka tidak sampai untuk bisa melihat bahwa menjadi Muslim harusnya menjadi yang terdepan dalam rasionalisme, humanisme, dan kebebasan; nilai-nilai utama kemodernan. Sayang sekali. Padahal, pemicu utama munculnya gerakan modernisme di Barat adalah warisan pemikiran para humanis Muslim (Lyons, 2013).

Baca Juga  Adi Hidayat: Perbedaan dalam Agama adalah Hal Biasa

Penutup: Bukan Apologia, tapi Mengubah Paradigma

Jonathan Lyons dan David Levering Lewis dalam bukunya masing-masing; The House of Wisdom (2013), dan Islam and the Making of Europe (2013), tentu saja tidak berapologia ketika mengatakan bahwa modernisme Eropa dipicu oleh filsuf dan humanis Islam. Ini semata-mata laporan sejarah, itu saja. Pandangan Al-Quran bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” dan “Allah memuliakan semua anak Adam” juga sampai ke telinga para pemuda-pemudi Eropa yang memicu Renaisans, seperti Mirandola (Madjid, 1992).

Era modern muncul menggantikan Abad Pertengahan (medieval age) ditandai dengan pengakuan atas kemuliaan manusia, kebebasan beragama, kemampuan berpikir manusia, kemandirian akal untuk menentukan mana yang baik dan buruk, serta pengakuan atas kesetaraan semua orang (Hardiman, 2019). Sisi rasional dan humanis dari Islam Abad Pertengahan turut memicu baik Renaisans maupun Revolusi Saintifik (Akyol, 2021).

Membaca penjelasan macam ini membawa intuisi kita pada penilaian apologetik, bahwa seolah Islam secara inheren tidak bermasalah dengan modernisme. Tidak, saya sedang tidak berapologia. Harus diakui bahwa hari ini banyak kaum Muslim yang anti pada nilai-nilai modernisme. Sikap itu pun didasarkan pada, apalagi, kalau bukan ajaran Islam. Namun, harus juga dinyatakan bahwa pandangan mereka itu bukan satu-satunya representasi Islam sebagai sebuah pemikiran dan peradaban.

***

Itulah mengapa tadi saya bilang bahwa umat Islam sebenarnya (atau, seharusnya) tidak asing dengan modernisme. Kita tidak asing dengan kebebasan berpikir, kesetaraan gender, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Mereka, menurut Robert Bellah (1970), ada dalam rahim peradaban kita. Modernisme dalam Islam, secara empiris, bisa berangkat dari inspirasi peradabannya sendiri. Bukankah modernisme Eropa juga mengambil inspirasinya dari filsuf Muslim rasional dan humanis?

Di sinilah akhir tulisan saya. Alih-alih terus terjebak dalam kemandekan berpikir yang dipicu oleh teologi voluntaristik yang menomor-duakan akal, dan mengutamakan pemahaman literal atas kitab suci, perkataan Nabi, dan tradisi para pewarisnya; apakah kita berani untuk mengambil pilihan mengubah paradigma untuk mendahulukan universalitas dan objektivitas akal manusia? Apakah kita bisa yakin dan optimis dalam memandang kekuatan akal; atau justru menuduhnya dengan bermacam tuduhan? Apakah Anda mau bangun, atau terus-menerus tidur dan bermimpi?

Editor: Rozy

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds