Tasawuf

Primbon Jayabaya: Islamisasi yang Merayap

9 Mins read

Pendahuluan

Primbon Jayabaya atau yang dikenal dengan sebutan Jangka Jayabaya adalah karya legendaris tentang prediksi perubahan orde sosial politik Jawa. Jangka, menurut Baoesastra Djawa karya Poerwadarminta, berarti pepestening lelakon (keniscayaan takdir). Sementara Primbon sendiri adalah genre karya Jawa yang berisi pernak-pernik kehidupan sehari-hari.

Jangka tersebut menginspirasi gerakan-gerakan sosial oleh spirit ramalan tentang harapan perubahan pada masa-masa krisis. Pemberontakan petani Banten 1888  hingga Revolusi Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari gagasan milinearisme yang tumbuh di kalangan masyararat Indonesia.

Jangka Jayabaya dinisbatkan kepada Prabu Aji Jayabaya, penguasa Kediri (Mamenang) yang bertahta pada 1135-1157 M. Penisbatan itu, menurut Kitab Primbon Qoraisyn Adammakna (Serat Jangka Jayabaya), tidak berarti pengarang primbon tersebut adalah Raja Jayabaya. Penisbatan itu merupakan cara agar jangka tersebut punya pijakan dan mudah diterima.

Primbon Jayabaya sendiri adalah yang bervariasi isinya. Ada berbagai teks yang secara garis besar berisi jangka, namun memiliki perbedaan-perbedaan narasi.

Perbandingan Teks

Menurut Primbon Qoraisyn, primbon Jayabaya tersebut berakar kepada Serat Nitsastra yang dicipta pada akhir masa Majapahit. Sementara itu, Serat Nitisastra berakar dari Kitab Mahabarata bagian Marandeya Samyasaparwa dan Tirtayatraparwa.

Dari primbon Jayabaya itulah lahir berbagai varian jangka, termasuk Ramalan Seh Subakir, Jangka Jayabaya Ratu Adil Herucakra hingga Jaka Lodhang karya Ranggawarsita.

Andjar Any menyebutkan beberapa variasi Jangka Jayabaya, yaitu Jangka Jayabaya Musarar,  Pranitiwakya, Pranitiwdya, dan Pancaniti.

Primbon Qoraisyn sendiri  memuat berbagai versi Primbon Jayabaya yang berasal dari manuskrip (tulisan tangan). Di awal didahului Jangka Triwikrama oleh penghimpun, kemudian Jangka Jayabaya, lalu Jangka Jayabaya Catursabda (yang dipandang pengarang sebagai lanjutan Jangka Triwikrama) yang terdiri atas empat bagian, Jangka Jayabaya Sabda Gaib, Jangka Jayabaya Sabda Pamasa, Jangka Jayabaya Salebare Raja Kuning dan Jangka Jayabaya Sabdo Palon.

Jangka Jayabaya sebenarnya tidak bisa disebut sebagai saduran Serat Nitisastra, yang merupakan karya etik dalam politik. Pertama, Primbon Jayabaya menisbatkan datangnya ramalan Jawa  itu pada Seh Ngali Samsudjen dari Rum (Turki). Hal itu menunjukkan adanya elemen Islam yang berbaur dengan elemen India atau mungkin juga China.

Pada awal abad ke-20 bahkan terdapat salinan varian Jangka Jayabaya di Batavia dengan judul Pralambang. Salinan berbahasa Melayu dikerjakan oleh Brandes dari versi naskah Jaksa Bekasi tahun 1890. Naskah tersebut mengacu pada tulisan Encik Sakdiyah dengan ide dari Encik Muairun. Naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta.

Teks Pralambang tersebut menguraikan empat Alam (zaman) yaitu Alam Wahyu (Masa Demak – Pajang); Alam Ruhiyat (Masa Mataram sampai Era Pakubuwana II); Alam Hidayah (dari era Pakubuwana II sampai Pakubuwana IV/ Hamengkubuwana II); dan Alam Alamat (era Pakubuwana IV sampai Pakubuwana VI/ Hamengkubuwana V).

Masa terakhir adalah krisis sosial yang diakhiri dengan munculnya Imam Mahdi (anak Raja Solo) bersama para santri dan Ratu Siluman yang mengalahkan Idajil (Raja Kafir) Hama’juj yang menjadi tuan para hamba Allah yang tergoda duniawi.

Dari Kediri (Purwoasri) lahir kitab Fafirru Ilallah tahun 1950-an yang ditulis oleh tokoh dengan nama pena Mundzir Nadzir. Kitab tersebut menceritakan tahapan kiamat kubra (besar)  dari sejak datangnya Dajjal sampai hancurnya alam semesta. Namun di bagian awal, pengarang memberikan gambaran tentang kiamat sughra (kecil) dengan menggunakan dasar Ramalan Seh Subakir beserta isyarat-isyarat tentang zaman.

***

Kedua, primbon sebenarnya karya yang berkaitan dengan serba serbi kehidupan sehari-hari. Karya Primbon Jawa adalah gabungan dari kultur pra Islam dengan kultur setelah Islam datang. Ada proses Islamisasi terhadap serba serbi kehidupan tersebut, sebagaimana Islamisasi dalam bidang keagamaan.

Ada berbagai cetakan Jangka atau Primbon Jayabaya. Penerbit Tan Khoen Swie menerbitkan dengan judul Primbon Djajabaja tahun 1958 (Cetakan V), Sekretariat Wong Kang Fu Batu Malang menerbitkannya dengan judul Primbon Djojobojo berikut Ramalan Ranggawarsita tahun 1947 (Cetakan III Tahun 1966) dan Wibatsu Harianto Sembogo dari Kraton Yogyakarta menghimpunnya dengan judul Kitab Primbon Qoraisyn Adammakna (Serat Jangka Jayabaya) dan diterbitkan oleh CV Buana Raya Solo tanpa tahun.

Adapun Ramalan Seh Subakir dimuat oleh Husnu Mufid dengan judul Pembabaran Syech Subakir di Tanah Jawa dan Ajarannya yang diterbitkan oleh Menara Madina Surabaya tahun 2013. Ia mengacu pada karya R. Tanoyo Djangka Djajabaja Sech Bakir dan terbitan Mat Sukri, yaitu Kitab Musarar Syekh Subakir.

Baca Juga  Tarian Rumi: Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah

Jangka Seh Subakir ini alurnya mirip Bab V Jangka Jayabaya terbitan Tan Koen Swie dengan tambahan dari bab II dan Bab IV. Namun percakapan Seh Subakir dengan Batara Maya (Semar) dan Togog diperpanjang.

Ada berbagai karya terjemahan dan penjelasan atas Primbon Jayabaya. Yang populer adalah uraian dan terjemah oleh Andjar Any yang berjudul Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo Palon yang diterbitkan oleh penerbit Aneka Ilmu Semarang tahun 1989. Ada pula uraian oeh Soesetro dan Zain al Arif dengan judul Mencari Ratu Adil menurut Ramalan Jayabaya yang diterbitkan oleh Narasi Yogyakarta.

Berikut ini adalah isi dari Primbon Joyoboyo terbitan Tan Khoen Swie Kediri. Terbitan Tan Khoen Swie lebih lengkap dibandingkan lainnya. Namun, tanda-tanda krisis yang ada pada Jangka Pranitiwakya yang dimuat Andjar Any, pada Jangka Seh Subakir dan naskah-naskah dalam Primbon Qoraisyn tidak ada pada versi terbitan Tan Khoen Swie.

Muatan Primbon Joyoboyo

Primbon Jayabaya berisi lima bab, yaitu Pranitiwakya, Jayabaya Padang, Prabu Jaya Amijaya, Lambanging Nagara Sawiji-Wiji (Lambang Masing-masing negara) dan Piwulangin Dewa (Ajaran Dewa). Lima bab itu disusun sebagai rangkaian urut, namun bab terakhir seperti mengulang bab pertama dengan adanya perbedaan narasi.

1. Bab Pertama, Pranitiwakya

Bab tersebut menguraikan Tanah Jawa sejak kosong tanpa penduduk sampai kiamat kubra berdasarkan Kitab Musarar. Musarar sendiri dalam bahasa Arab berarti rahasia atau dirahasiakan.

Alkisah, Raja Jayabaya dari Kediri, seorang pengejawantahan Wisnu yang kedua, kedatangan Pendeta dari Rum (Turki) yang bernama Maulana Ali Samsujen yang punya kemampuan mengetahui apa yang belum terjadi.

Prabu Jayabaya belajar kepada Sang Pendeta yang kemudian menjelaskan ramalan dalam Kitab Musarar tentang Pulau Jawa sejak sebelum dihuni manusia. Sultan Algabah dari Rum mendapatkan bisikan agar mengisi segala pulau yang masih kosong. Sultan mengutus Patih untuk memeriksa pulau-pulau. Patih melapor adanya pulau kosong di selatan India.

Patih mengusahakan 20 ribu keluarga untuk menetap di Pulau tersebut. Mereka membuka lahan di Gunung Kendeng.

Setelah empat tahun 20 ribu keluarga tadi habis akibat wabah, gangguan makhluk halus dan dimakan hewan buas hinga tinggal 20 keluarga saja. Mereka yang tersisa lari ke negaranya dan sebagian hanyut di Samudera.

Sutan Algabah lalu mengumpulkan ulama sakti untuk menumbali Pulau Jawa. Diutuslah seorang Raja Pendeta Ngusman Ngaji ke Jawa. Setelah dua tahun tumbal dari para ulama itu sudah dipasan di empat penjuru Pulau Jawa dan satu di tengahnya. Setelah 21 hari para makhluk halus mengungsi ke Samudera dan setelah tiga tahun Sultan memerintahkan pengisian kembali Pulau Jawa.

***

Sultan mengutus utusan untuk mengumpulkan 20 ribu keluarga dari India, Keling, Kandi, Siam dan sebagainya. Mereka kemudian menyebar ke segala penjuru Pulau Jawa, bercocok tanam dan beranak pinak hingga hari kiamat.

Setelah mengajarkan Kitab Musarar, Maulana Ali Samsujen memberitahu bahwa satu-satunya orang Jawa yang belajar jangka adalah Ajar Subrata di Gunung Padang.

Sehari kemudian Prabu Jayabaya menulis Jangka Jayabaya yang berisi tentang Pulau Jawa sejak diisi penghuni hingga kiamat. Ia membagi jangka Pulau Jawa ke dalam tiga zaman besar (kali), yang masing-masing dibagi lagi ke dalam zaman kecil (manggala/ kala).

Zaman pertama adalah Kali Swara (zaman luhur) dimana bumi masih banyak bebunyian dan dewa sering turun ke bumi. Zaman ini dibagi ke dalam zaman kukila, kala budha, kala brata, kala tirta, kala rebasana, kala swabawa dan kala purwa.

Zaman besar kedua adalah Kali Yoga atau zaman bertumbuh. Zaman itu ditandai terbelahnya pulau menjadi pulau-pulau kecil dan banyak tumbuhan salah kejadian serta banyak orang menitis. Zaman ini terbagi menjadi kala brata, kala dwara, kala dwapara, kala praniti, kala teteka, kala wisesa dan kala wisaya.

Zaman ketiga disebut zaman Kali Sengara atau alam tirta. Zaman tersebut banyak terjadi geger, hujan salah musim, bengawan berpindah, berkat bumi berkurang dan orang memegangi pengetahuannya sendiri-sendiri.  Zaman ini terbagi atas kala jangga, kala sekti, kala jaya, kala bendu, kala suka, kala sumbaga dan kala surasa.

Baca Juga  Tarekat untuk Kaum Milenial, Kenapa Tidak?

2. Bab Kedua: Jayabaya Padang

Setelah memberi penjelasan, Mauana Ali Samsujen kembali ke negeri Rum diiringkan oleh Prabu Jayabaya dan anaknya, Prabu Jaya Amijaya. Prabu Jayabaya mampir ke Padang bertemu dengan Ajar Subrata, mertu Prabu Amiijaya. Ajar Subrata menyambut Prabu Jayabaya lalu menyuruh putrinya mengeluarkan hidangan.

Hidangan keluar berupa tujuh hal, yaitu kunyit secengkeh, jadah setakir, geti setakir, kelapa sawit dengan pohonnya, bawang putih sebongkol, bunga melati setakir dan bunga seruni setakir. Melihat hidangan tersebut Prabu Jayabaya marah dan menusuk Ajar Subrata beserta putrinya dengan keris hingga tewas.

Prabu Jayabaya menjelaskan kepada Prabu Jaya Amijaya bahwa hidangan Ajar Subrata itu  mengungkap yang belum terjadi. Andai ditanggapi maka tidak akan ada kraton lagi. Kunir melambangkan zaman Anderwati (pada zaman Kalawasesa), jadah melambangkan Srikandi Dewaraja, geti melambangkan zaman Adiyadi (di zaman Kalawisaya), kelapa sawit melambangkan Kala Jangga, sebongkol bawang melambangkan Kala Sekti, kembang melati dan kembang seruni melambangkan zaman Kala Jaya dan Kalabendu.

Pada masa tersebut datang Ratu dari Srenggi (Barat) berkuasa di Jawa.  Para Adipati takluk. Banyak orang Jawa dibawa pergi ke negeri seberang dan kondisi rakyat susah. Raja dari Srenggi tadi kemudian dikalahkan pasukan Rum.

Setelah itu pada masa ketujuh akan muncul Sultan Herucakra, seorang Waliyullah yabg disebut juga Ratu Gamisan. Masa kedelapan pada zaman Kala Sembaga akan muncul Sultan Asmarakingkin di Kediri.

Masa kesembilan, zaman Kala Surata, prajurit Rum mengusahakan keturunan Heru Cakra bertahta di Timur Kali Opak. Itulah penjelasan Prabu Jayabaya kepada Prabu Jaya Amijaya.

3. Bab Ketiga: Prabu Jaya Amijaya

Prabu Jaya Amijaya dari Pagedongan kemudian meminta ayahnya, Prabu Jayabaya, untuk menceritakan tentang kiamat. Prabu Jayabaya lalu menceritakan tentang kiamat berdasarkan Kitab Musarar yang diajarkan Maulana Ali Samsujen.

Kiamat terbagi dua: sogra (napas menarik roh) dan kobra (angin menarik segala hal). Kejadian kiamat pertama datangnya Dakjilanat berupa anjing dan babi yang membuat wahyu hitam. Kedua munculnya kelabang yang menimbulkan warna merah sebagai gambaran darah.

Ketiga muncul ular naga yang disebut dabbatul ardl dengan menimbulkan cahaya kuning. Keempat muncul buta (raksasa) yang disebut Jakjuja-Makjuja yang membawa warna putih, gambaran anak kembar Adam yang salah warna.

Kelima muncul manusia laki perempuan yang disebut Mar dan Maruti atau Tarutawa-Maruti. Manusia itu melahirkan warna hijau. Keduanya menggambarkan anak Adam yang murtad bersama Sayid Lata Siti Wal Ujwa.

Mereka membuat rencana yang terkait kiblat empat dan yang kelima adalah pokoknya. Rencana mereka digagalkan oleh para wali gaib, yaitu Nabi Kilir, Nabi Ilyas, Nabi Isa, Sayid Ibnu Umayyah, Seh Wahas, Sayid Muh. Kapaniyah (Kapaniyah), Seh Senen dan Seh Malaya.

Kiamat itu datang dari diri kita dan bisa ditangkis dengan rasa sejati yang luhur. Tempatnya ada pada awas dan ingat (eling) dengan manunggal kawula gusti atau tidak ada rasa lain yang menyelai. Inilah pesan Prabu Jayabaya pada puteranya seraya memintanya untuk nasehat itu dalam karya jangka.

4. Lambang Masing-Masing Negara

Bab ini menjelaskan lambang masing-masing negara yang menunjukkan kondisi masing-masing. Negara-negara yang dimaksud mulai dari empat: Jenggala, Kediri, Kurawan dan Singasari. Lalu dilanjutkan Majapahit, Demak, Pajajaran, Pajang, dan Mataram.

Penjelasan tentang Mataram mulai dari Senapati hingga Susuhunan Pakubuwana X di Surakarta dan Sultan Mangkubuwana VII di Yogyakarta. Setelah itu mucul Sultan Heru Cakra II dan Sultan Heru Cakra III, di Kediri. Kemudian muncul Sultan Asmarakingkin I dan II yang diikuti Sultan Asmarakingkin III yang berpindah tahta di Madura. 

Terakhir bab tersebut menjelaskan singkat tiga penguasa Jawa selanjutnya di Bumi Kapanasan, Gagelang dan Tembelang Tembayat Sidayu.

5. Bab Kelima Ajaran Dewa

Bab ini sepertinya mengulang kembali bab pertama dengan versi berbeda. Meski seolah melanjutkan ajaran Prabu Jayabaya kepada anaknya, tetapi nama keduanya sama sekali tidak disinggung. Ajarannya disebut sebagai ajaran makhluk halus, yaitu Ki Tuwanggana, Eyang Semar dan Eyang Antaga.

Yang diberi ajaran bukan lagi disebut anak, tapi cucu. Yang memberi nasehat bukan lagi Jayabaya perwujudan Wisnu, tapi Batara Maya, saudara Batara Manik, yang menjadi ratu jin dan makhluk halus. Ajaran itu juga disebut berasal dari Sang Hyang Maha Wenang (Kuasa).

Baca Juga  Kuntowijoyo: Mengilmukan Islam, Menghidupkan Peradaban

Secara singkat bab kelima ini masih menyinggung pengiriman 20 ribu keluarga ke Jawa oleh Raja Algabah dari Rum yang punah tinggal 20 keluarga. Namun ada tambahan tentang kedatangan Aji Esaka dari Pulau Najran anak Raja Sarkil ke Jawa (Banyuwangi).

Juga cerita utusan, Seh Subakir, Sultan Rum untuk menumbali Pulau Jawa. Karena makhluk halus tidak kuat maka Batara Maya, si pencerita, menemui Seh Subakir yang memberi tumbal puncak Tidar.

Seh  Subakir lalu menjelaskan Kitab Musarar kepada Batara Maya dan Antaga yang berisi tentang pembagian zaman besar menjadi empat: zaman Kerta, zaman Dwapara, zaman Kali Yoga dan zama Sengara.

Akhirnya Seh Subakir menyuruh Batara Maya untuk berhenti momong dan berpindah ke Gunung Kendil serta mengubah nama menjadi Ki Rumani. Sementara itu, Antaga disuruh pindah ke hutan Lodaya berkumpul dengan para ratu jin dan mengubah nama menjadi Ki Amarjanus.

Islamisasi yang Merayap

Primbon Jayabaya secara umum mengikuti cara pandang waktu yang siklis (berputar), sebagaimana jamak dalam tradisi Hindu maupun Budha. Gagasan mengenai siklus zaman (kali) mengikuti zaman dewa ala Hindu tapi denhan rincian dan detail yang berbeda.

Gagasan tentang Erucakra atau Herucakra berasal dari tradisi Hindu bahwa pada siklus tertentu dunia akan mengalami krisis sehingga turunlah Wisnu untuk menyelamatkan dunia sebagai Avatara. Wisnu pernah turun dalam wujud Rama dan kemudian Krisna.

Sementara itu dalam tradisi Jawa, Prabu Jayabaya adalah titisan Wisnu yang kedua. Setelah itu Wisnu tinggal menitis tiga kali lagi.

Namun dalam Jangka atau Primbon Jayabaya pembagian kiamat mengikuti pembagian Islam, yaitu kiamat sughra (kecil) dan kiamat kubra (besar). Namun, karena gagasan waktu jangka menggunakan siklus, maka hanya kiamat sughra yang dijelaskan, yaitu krisis jiwa manusia dan masyarakat Jawa yang harus diperbaiki oleh Sultan Herucakra, sang penyelamat dari kekacauan. Dalam Islam sang penyelamat itu ada pada diri Imam Mahdi.

Bedanya, dalam Islam Imam Mahdi itu datang sebagai tanda kimat kubra atau akhir dunia, sedangkan Herucakra datang untuk merestorasi kondisi sosial, politik dan moral. Namun tidak jarang Herucakra dan Imam Mahdi dianggap sebagai sosok yang sama yang akan mengatasi krisis sosial.

Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, gagasan tentang Imam Mahdi sebagai Herucakra menjadi inspirasi perlawanan terhadap penguasa di tengah kesulitan hidup masyarakat. Perlawanan tersebut didorong oleh gagasan milinearisme atau Mahdiisme dan gagasan perang sabil dalam agama.

Bahkan sosok penguasa Belanda dalam Naskah Pralambang diidentikkan dengan Dajjal dan Hama’juj yang dikenal dalam keyakinan eskatologi Islam. Hal menunjukkan bahwa keyakinan Islam masuk untuk menggarisbawahi pemahaman tentang siklus sosial pra-Islam.

Namun tidak semua karya di Jawa tentang krisis itu merancukan Imam Mahdi dengan Herucakra. Dalam Fafirru Ilallah, Imam Mahdi bertugas untuk mengatasi krisis akibat ulah Dajjal. Dajjal sendiri dibunuh oleh Nabi Isa. Setelah itu dimulailah tahapan kiamat kubra.

***

Jadi, Primbon Jayabaya merupakan evolusi gagasan siklus zaman pada masa Hindu yang ditransformasikan ke dalam terma dan eskatologi Islam. Gagasan Islam menyeruak lebih kuat saat krisis sosial itu terkait dengan penguasa asing (Eropa).

Hal mendasar yang mengubah pandangan dunia Jangka Jayabaya adalah tentang sumber atas jangka itu sendiri. Mayoritas versi Jangka Jayabaya mengacu kepada Kitab Musarar yang diajarkan oleh tokoh agama dari Turki. Raja Jayabaya, yang merupakan titisan Wisnu, pun belajar rahasia jangka tentang Jawa dari Maulana Ali Samsujen dari Turki.

Kitab Musarar bahkan diacu oleh para makhluk halus seperti Batara Maya dan Antaga. Para titisan dewa tersebut tunduk pada Seh Subakir dalam versi Jangka Seh Subakir dan Bab V Primbon Jayabaya terbitan Tan Khoen Swie.

Hal itu menunjukkan pengakuan atas superioritas kebatinan da esktologi Islam. Berbagai versi Jangka Jayabaya ditulis pada masa Islam dengan penerimaan atas keyakinan dasar Islam, tetapi dengan rincian yang eklektis atau campuran dengan gagaan pra-Islam.

Keyakinan Islam diletakkan sebagai pijakan karena para dewa hingga titisan Wisnu pun belajar jangka dari ulama Islam. Itu bisa dilihat sebagai Islamisasi yang merayap ke alam kosmologi dan mitologi Jawa.

Editor: Rozy

Related posts
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…
Tasawuf

Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

2 Mins read
Salah satu kajian yang menarik dari sosok Hasan Al-Bashri adalah tentang “Zuhud”. Membahas zuhud adalah tentang bagaimana cara beberapa sufi hidup sederhana…
Tasawuf

Konsep Syukur Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili

5 Mins read
Abu al-Hasan Asy-Syadzili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *