Riset

Kuntowijoyo: Mengilmukan Islam, Menghidupkan Peradaban

3 Mins read

Di abad ke-21 ini, kita dapat mengamati umat Islam berada dalam kejumudan modern. Agama dipahami secara dangkal sebagai ajaran individual yang tidak berperan bagi pemecahan masalah kemanusiaan. Akibatnya, umat tertinggal dalam berbagai aspek, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun teknologi. Salah satu solusi yang sempat bergema adalah gerakan Islamisasi sains. Gerakan ini berusaha mengisolasi nilai-nilai sekuler Barat, dari ilmu untuk kemudian mengisi ilmu dengan spirit wahyu.

Banyak intelektual muslim merasakan kegelisahan yang sama dan berbondong-bondong mengawal upaya Islamisasi. Sehingga, gerakan itu sempat mendapat momentum sekitar tahun 1980 hingga 2000-an, namun kemudian perlahan surut karena permasalahan substansial di dalamnya.

Islamisasi Sains

Bagi banyak pengamat, Islamisasi sains hadir dengan karakter yang agresif-eliminatif. Berbasis pada pemahaman pandangan alam yang memposisikan firman di atas bukti empiris, Islamisasi sains menggelar dekonstruksi kepada semua teori-teori modern. Masalahnya, nyaris semua penemuan ilmiah dapat dianggap berseberangan dan ditolak seketika hanya karena perbedaan dengan salah satu tafsir.

Sains Islami menolak terbuka untuk memeriksa kemungkinan kebenaran dari sains lain, semata karena keteguhan bahwa ilmu sejati hanya ‘menghampiri jiwa yang suci’. Jiwa yang ‘anti-agama’ tidak akan paham dengan sains Islami, dan hanya jiwa yang beriman melalui intuisi murni lah yang dapat menerima kebenaran dari sains Islami. Meskipun secara epistemologi sains Islami dapat hadir sebagai pembeda, namun ia sulit untuk berdialog dengan kebenaran di luar dirinya. Dampaknya, sains Islami tampil menjadi sains eksklusif yang terkungkung dalam dunianya sendiri.

Dalam Islamisasi sains pula, Ilmu seakan menjadi subordinat agama, yang mana selain ilmu itu kehilangan validitas keilmuan, ia menjadi bisu dan buta atas kehidupan umat dan masyarakat banyak. Ilmu tidak mampu menjawab penindasan yang diciptakan kapitalisme, namun sekaligus menyisihkan sosialisme ke tepian.

Baca Juga  Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Masalah itu kemudian menjadi salah satu fokus dalam tulisan-tulisan Kuntowijoyo, salah seorang sastrawan sekaligus aktivis Islam kontemporer. Ketimbang Islamisasi sains, Prof. Kuntowijoyo menawarkan gerakan “Pengilmuan Islam” sebagai alternatif. Pengilmuan Islam adalah gerakan yang mengobjektifikasi nilai transenden agama untuk menciptakan transformasi sosial.

Kuntowijoyo mengkritik gerakan Islamisasi sains yang seakan melupakan tujuan utama dari agama yang mana untuk menegakkan suatu nilai etis di muka bumi. Agama seharusnya mampu menjelma menjadi moral force yang inheren dalam ilmu, bukan sekadar menjadi justifikasi bagi kebenaran ilmiah yang justru gagal ia lakukan.

Pengilmuan Islam

Untuk mengatasi kesenjangan itu, Kuntowijoyo menawarkan reorientasi, dari Islamisasi ilmu menjadi pengilmuan Islam. Dalam hal pengilmuan Islam, Kuntowijoyo mengajak kita untuk berangkat dari teks menuju konteks. Di mana teks berupaya mengejawantah ke dalam kehidupan, berdialog dengan permasalahan sosial, dan memberi serum kesembuhan atas penyakit sosial yang diderita. Ilmu yang dapat menjalankan fungsi itu disebut Kuntowijoyo sebagai Ilmu Sosial Profetik. Sebab, Ilmu itu hadir selayaknya rasul-rasul Tuhan yang hidup berdampingan di tengah-tengah umat dalam upaya menciptakan suatu transformasi sosial.

Ilmu yang profetik juga merujuk pada teladan Rasulullah, sang manusia terbaik ketika isra’ mi’raj. Alih-alih ia menetap di langit ke tujuh dalam dimensi yang abadi dan transendental, Nabi Muhammad turun ke dunia yang fana dan menjalankan tugas transformasi yang diamanatkan. Dengan demikian, ilmu profetik adalah ilmu yang kakinya berpijak di langit, namun tangannya bekerja di bumi.

Orientasi Keilmuan Profetik

Kuntowijoyo sendiri menafsirkan intisari spirit profetik berdasarkan surat Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Dalam ayat itu, ada beberapa yang penting untuk dipahami.

Baca Juga  Kuntowijoyo, Bapak Strukturalisme Transendental

Pertama, ilmu profetik adalah ilmu yang terbaik, jika menjalankan misi-misi profetik. Artinya, ilmu yang profetik adalah ilmu yang aktif menjalankan misi kenabian. Menjadikan ilmu profetik sebagai ilmu terbaik, bukan given hanya karena ilmu itu telah berlandaskan wahyu Tuhan.

Kedua, misi pertama ilmu profetik adalah menyelenggarakan pembebasan di muka bumi. Ilmu profetik adalah yang mengupayakan pemerdekaan manusia dari jeratan penindasan ekonomi, sosial, dan politik. Ilmu profetik terlibat dalam menciptakan tatanan sosial yang adil dan berpihak pada pemerdekaan individu. Perbudakan modern, misalnya, harus dipangkas hingga ke akar. Sebab, secara fitrah, hanya Allah sebagai Sang Pencipta yang dapat diibadati oleh manusia. Tidak boleh ada makhluk yang menjelma menjadi Tuhan-Tuhan baru. Tidak dari golongan manusia dan tidak pula alam, yang semuanya secara hakikat sama, yakni sesama makhluk jua.

Ketiga atau syarat berikutnya adalah humanisasi atau yang kerap juga disebut emansipasi. Syarat ini bermakna bahwa ilmu profetik harus menempatkan manusia ke dalam posisinya yang sesungguhnya. Syarat ini dengan mudah biasanya dimaknai sebagai upaya ‘memanusiakan manusia’. Upaya di mana kita memberi ruang bagi manusia agar dapat berpikir, menggunakan akalnya, dan turut berpartisipasi untuk mengubah dunianya. Di sinilah, ilmu profetik harus menjadi katalis yang mendinamisasi akal, bukan malah mematikan nalar.

Keempat atau syarat terakhir adalah transendensi. Ilmu profetik mampu menghubungkan kembali manusia dengan Tuhannya. Mencapai titik di mana segala hal duniawi terlampaui. Titik di mana berkembang suatu kesadaran ilahiah. Kesadaran yang menyebabkan manusia mengerti secara hakikat bahwa dia adalah abdi Tuhan di muka bumi. Sehingga, berbuat semena-mena kepada manusia lain dan alam adalah dosa besar karena menyalahi perintah Tuhannya.

Baca Juga  Menyemai Islam Humanis Bukan Islam Fanatis

Sains Islami Sebagai Obat Penawar

Melalui empat orientasi keilmuan profetik itu, sains Islami dapat menjelma menjadi obat penawar bagi kerusakan yang dialami umat manusia sekaligus pendobrak bagi keterbelakangan umat. Sebab, sains Islami yang profetik akan mampu mengatasi paradoks antara wahyu dengan realitas yang statis namun dinamis, sekaligus yang tunggal namun plural.

Terakhir, dengan teguh mewujudkan misi profetik itu, sains Islami akan hidup, dan menghidupi suatu peradaban unggul di masa depan. Peradaban di mana Islam benar-benar hadir mengejawantah dan menjadi kompas penunjuk ke mana dunia akan mengarah.

Editor: Lely N

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *