Tara Basro adalah anti-tesis terhadap wajah blasteran yang kebanyakan mendominasi dunia hiburan Indonesia. Dengan kulit yang tidak putih, wajah kebanyakan, dan tinggi yang rata-rata perempuan Indonesia, Basro adalah pesona yang selalu jadi panggung belakang dunia peran dan hiburan Indonesia. Dalam satu kesempatan ia bercerita bahwasanya berkali-kali mengikuti casting untuk mengambil peran dalam sebuah film. Alih-alih diterima, berkali-kali itu pula ia ditolak.
Wajah dan performa bentuk tubuhnya dianggap tidak ideal bagi para sutradara yang menginginkan wajah cantik, kulit putih, tinggi sekaligus blasteran. Tentu saja, ia harus terlihat kurus. Harus diakui, mentalitas kolonial di bawah ketiak industri kapitalisme hiburan, perempuan harus didefinisikan sesuai dengan standar-standar barat semacam itu.
Riwayat Panjang Tara Basro
Di tengah standar ideal seorang perempuan pemain peran tersebut, Joko Anwar sebagai sutradara yang relatif idealis memiliki cara pandang yang berbeda mengenai Basro. Tampaknya, Basro dianggap bisa mewakili film-film Indonesia yang dibayangkan olehnya; realistis, memiliki sudut pandang yang berbeda, dan memiliki cerita dan karakter yang kuat.
Karena itu, film-film yang disutradarai atau ceritanya ditulis oleh Joko Anwar selalu menempatkan Basro sebagai tokoh perempuan penting. Misalnya, Pengabdi Setan (2017), Gundala (2019), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan Ratu Ilmu Hitam (2019). Dalam film-film tersebut, peran-peran yang dimainkan oleh Basro tidak pernah memainkan narasi kecantikan diri ataupun kemolekan tubuhnya. Sebaliknya, melalui adegan sekaligus peranan yang dimainkan, ia menjadi orang biasa tetapi memiliki figur yang kuat. Dengan cara ini, Joko Anwar tidak hanya menampilkan aura dan pesona Tara Basro. Melainkan membuat para penonton, setidaknya saya, menjadi kagum dengannya.
Di luar film, Basro belajar untuk menjadi perempuan yang jujur terhadap dirinya tanpa perlu mematutkan diri harus terlihat cantik, langsing, dan perut rata hasil dari tempaan diet, sebagaimana juga tuntutan artis untuk terlihat menarik di publik. Namun, kejujuran Basro untuk menerima tubuhnya tanpa adanya intervensi dari pandangan orang lain, ditanggapi secara berbeda oleh Humas Kominfo. Bahwasanya foto yang memiliki makna mendalam itu dianggap memiliki unsur pornografi, memungkinkan ia akan terkena undang-undang ITE.
Sebaliknya, Humas Kominfo itu tidak melihat pesan dibalik itu. Melainkan secara tekstual foto itu digambarkan sebagai bentuk dan memiliki unsur-unsur pornografi, yang memungkinkan dirinya akan terkena UU ITE. Tidak salah ia memiliki intepretasi tersebut. Namun, melihat foto itu dilepaskan dari konteks yang dibicarakan oleh Basro ini merupakan tindakan gegabah di tengah intervensi apa yang disebut cantik. Baik oleh stereotip laki-laki maupun tuntutan kapitalis internasional industri.
Perlawanan Tara Basro
Sebagai laki-laki yang memiliki bias maskulinitas dan patriarki, saya melihat bahwasanya foto Basro itu merupakan bentuk perlawanan terhadap pendefinisian tubuh mengenai perempuan yang selama ini mutlak direpresentasikan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Kejujuran yang ditekankan oleh Basro terkait dengan bentuk tubuhnya dengan lipatan lemak merupakan transparansi. Tentang bagaimana ia menerima dirinya di luar definisi moralitas hukum, agama, dan atas nama industri hiburan.
Tentu saja, ia melakukan ini tidak semata-mata untuk dirinya, melainkan juga proses pembelajaran publik yang dibiarkan postingannya terbuka secara umum. Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Tara Basro ini merupakan bentuk body positivity agar menginsipirasi banyak orang untuk menerima tubuhnya di tengah body shaming di media sosial. Â Hal ini diungkapkan sendiri olehnya di Instagram yang kemudian diunggah kembali di Twitter.
“Dari dulu yang gue dengar dari orang adalah hal jelek tentang tubuh mereka. Akhirnya, gue bisa melakukan hal yang sama… Mengkritik dan menjelek-jelekkan. Andaikan kita bisa melihat hal yang baik dan positif. Bersyukur tentang apa yang kita miliki dan make the best out of it daripada fokus terhadap apa yang tidak kita miliki. Setelah perjalanan yang panjang, gue bisa bilang kalau gue cinta tubuh gue. Dan gue bangga akan itu. Let your self bloom,” ujar Basro.
Sebaliknya, jika semata-mata foto itu dianggap bisa melanggar UU ITE karena ada unsur pornografinya, lalu buat apa otak laki-laki dibikin oleh Tuhan, kalau melihat hal seperti itu dianggap selalu mengundang syahwat? Jangkar moralitas yang digunakan dengan gegabah oleh pejabat publik atas nama kepatutan publik dan agama sebenarnya menegaskan pandangan bahwasanya ruang publik itu tidak sepenuhnya netral.
***
Ada intervensi aparatus negara dengan logika timpang dalam melihat perempuan, yang membuat tubuhnya dianggap sebagai bencana sekaligus fitnah. Sebaliknya, maskulinitas dan heroisme laki-laki tidak pernah dicurigai sebagai tindakan yang mengancam melalui interpretasi regulasi yang diterapkan.
Di sisi lain, kehadiran foto Tara Basro ini juga menjadi perbincangan diskursus segar mengenai otonomitas tubuh perempuan yang selama ini terlalu didominasi oleh kelompok feminis.
Sementara itu, meskipun terlihat sederhana Tara Basro sedang memulainya dari persoalan yang sangat kecil. Tentang diri yang berusaha memahami tubuhnya di tengah kepungan pendefinisian beragam faktor yang membuatnya takluk, kemudian mengikutinya, sambil terus menyalahi dan mengumpat diri sendiri…