Perspektif

Jihad Mencegah Kekerasan Berbasis Gender Online

4 Mins read

Mari sejenak kita menunduk, mengheningkan cipta atas perempuan sebagai ibu. Atas perempuan sebagai istri. Atas perempuan sebagai rumah bagi cinta dan kasih sayang. Mari terus menunduk, mengheningkan cipta, atas perempuan yang menjadi korban kekerasan akhir-akhir ini.

Berita tentang perempuan sebagai objek kekerasan terus menguar di berbagai kanal media. Dari satu kasus ke kasus lain, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu instansi ke instansi lain, dari satu korban dan korban yang lain. Seolah tiada habisnya, bahwa perempuan adalah objek kekerasan baik verbal maupun non-verbal.

Telah banyak data sebagai bukti bahwa perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan. Dalam tulisan pendek ini, saya kutipkan laporan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sepanjang 2020, telah terjadi sebanyak 940 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Angka tersebut meningkat setiap tahun. Terbukti pada 2021, kasus kekerasan semakin gemuk dan mengkhawatirkan banyak pihak.

Pada 2021, berdasarkan laporan yang dirilis oleh Forum Pengada Layanan (FLP), Komnas Perempuan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), kekerasan terhadap perempuan berjumlah 27.335 orang.

Tahun berikutnya, tepatnya pada 2022 ini, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online melonjak menjadi 338.496 kasus. Lonjakan dari setiap tahun terkait kasus tersebut benar-benar menyisakan tanda tanya besar: mengapa kekerasan terhadap perempuan terus dan terus terjadi?

Dalam Tanya

Mengapa kekerasan berbasis gender masih sering terjadi? Sejauh ini, tidak ada jawaban untuk ratusan bahkan ribuan kasus kekerasan berbasis gender tersebut.

Selain kepastian bahwa ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki masih mengakar kuat “seolah” menjadi “budaya” patriarki. Sebab itulah, dalam realitas sosial kita, kesadaran untuk memandang perempuan sebagai manusia yang memiliki hak yang sama, kabur dan tidak jelas juntrungnya.

Baca Juga  PSIPP ITB AD Gelar Webinar tentang Urgensi RUU PKS

Padahal, jika butuh penegasan dalam hal menjaga dan merawat perempuan sejak dalam pikiran, saya kutipkan pandangan Nasaruddin Umar dalam bukunya “Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (1999)”.

Nasaruddin Umar menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak menegasikan adanya perbedaan anatomi biologis antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan perbedaan apa pun tidak dibenarkan bila dijadikan landasan untuk mengistimewakan salah satu jenis kelamin, baik laki-laki ataupun perempuan.

Sebaliknya, Al-Qur’an menurutnya sangat mendukung kesetaraan gender dengan menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan sebagai hamba, sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan sama-sama mafhum, bahwa laki-laki dan perempuan pada dasarnya diciptakan dari bahan yang sama, memiliki potensi yang sama, artinya tidak ada perbedaan hak di antara keduanya.

***

Lalu, haruskah disampaikan berulang-ulang, bahwa saat ini bukanlah masa dimana Epimetheus dan Pandora hidup. Ketika itu, dalam mitologi Yunani, Pandora yang dipesan agar tidak membuka kotak—konon, kotak tersebut berisi hal-hal negatif—karena tidak mengindahkan pesan suaminya: ia membuka kotak ajaib itu. Kotak yang menyebabkan segala kekacauan, penyakit, dan penderitaan yang menyelimuti dunia. Lalu perempuan berkonotasi negatif saat itu.

Zaman ini bukan pula zaman Romawi setelah mengadopsi Nasrani sebagai agama. Dimana kisah Siti Hawa digambarkan sebagai penggoda seorang Adam. Dalam kedua kisah tersebut, perempuan “seolah” kaum sebelah yang layak diperlakukan seenak jidat dan seenak dengkul belaka. Tidak demikian, ki sanak! Tidak!

Sekarang adalah masa di mana perempuan memiliki hak yang sama, derajat yang sama, dan ruang yang sama. Sebab itulah, seharusnya usaha Mary Wollstonecraft dengan bukunya Vindication of the Right Women (1792),” sebagai penanda gerakan perempuan pertama, menuai hasil perjuangannya saat ini: kesetaraan perempuan dalam ranah sosial, politik, dan ekonomi.

Baca Juga  FPI Dibubarkan, Apa Langkah Selanjutnya?

Bukan persekusi terhadap perempuan yang terus kita baca di kanal media akhir-akhir ini. Bukan. Maka sangat disayangkan kekerasan perempuan terus terjadi. Dan kekerasan terhadap perempuan kini berkembang dan lebih kompleks karena dukungan teknologi informasi dan media sosial, sebut saja seperti KBGO.

Awas Kekerasan Berbasis Gender Online

Apa gerangan yang disebut dengan KBGO?

Menurut buku (panduan) “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online” yang disusun oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network. KBGO adalah singkatan dari Kekerasan Berbasis Gender Online. Yakni tindak kekerasan atau pelecehan seksual yang merugikan salah satu gender, terutama perempuan melalui perantara teknologi internet.

Terminologi di atas merujuk pada definisi kekerasan berbasis gender (KBG) oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR). Sebuah kekerasan langsung pada seorang yang didasarkan atas seks atau gender.

Tidak kekerasan secara langsung atau pun tidak mengakibatkan banyak kerugian atas korban. Korban akan menderita secara fisik, mental, dan ancaman yang sejatinya sama dengan merampas dan bahkan merampok kemerdekaannya.

Jangkauan internet, luapan dan penyebaran informasi, dan penggunan media sosial yang tidak terbendung, ikut serta dalam menghadirkan pola-pola baru dalam kekerasan berbasis gender. Menurut “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online”, sejak 2017, setidaknya terdapat beberapa ragam atau bentuk kekerasan berbasis gender online.

Di antaranya adalah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto atau video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

***

Di sisi lain, dari semua bentuk kekerasan berbasis gender online di atas, kekerasan secara langsung juga tidak kalah massif dan mengenaskan. Seperti menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya, masih banyak terjadi dan perempuan yang menjadi korbannya atau sebaliknya.

Baca Juga  Guru adalah Navigator Pendidikan

Salah satu contoh kasus kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi seperti komentar seksis, penyebaran video atau foto tanpa izin pemiliknya. Sebut saja kasus pelecehan yang dialami mahasiswi magang di RSUD Raden Mataher Jambi. Atau pada September lalu, kasus perdagangan orang di Jakarta Barat dan kasus pelecehan seksual yang tarjadi di Medan Sumatra Utara. Di bulan yang sama, telah ditetapkan seorang guru sebagai tersangka kasus eksploitasi anak, di Kabupaten Rejang Lebang, Bengkulu

Tentu masih banyak kasus kekerasan yang terjadi dan tidak mungkin disebutkan satu persatu. Namun baru-baru ini, setelah melalui proses yang panjang, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) lahir. Keberadaanya seolah oase di gurun sahara yang tandus dan mencekik.

Sebuah regulasi yang berupaya untuk melindungi derajat dan martabat manusia terhadap jaminan keamanan dan ketentraman serta ketentraman di masyarakat (Sekretariat negara). Namun apakah UUD Nomor 12 Tahun 2022 tersebut menjadi solusi dalam hal menjaga dan merawat perempuan sejak dalam pikiran? Mari kita tunggu di tahun berikutnya, seberapa jauh angka kekerasan itu berkurang.

Artikel ini diterbitkan atas kerjasama antara IBTimes.ID dengan Pimpinan Pusat Aisyiyah.

Editor: Yahya FR

M Muafiqul Khalid
4 posts

About author
Mahasiswa S2 Islamic Studies di Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds