Akhir-akhir ini marak dalam media sosisal atribut-atribut kegamaan yang menjadi suatu simbol kesalihan. Mulai dari artis berhijrah hingga merk produk dan tokoh politik yang memunculkan identitas agama. Hal ini merupakan perayaan simbol-simbol agama sekaligus branding untuk menarik orang-orang kepada sang tokoh dan akhirnya terbuai dalam budaya massa.
Dalam melihat fenomena seperti ini, saya meminjam istilah yang biasa digunakan dalam bidang politik yaitu “populisme”. Budaya populisme menurut McGuigan dalam bukunya Cultural Populism adalah simbol-simbol pengalaman dan kebiasaan orang-orang biasa (awam) lebih utama dijadikan kajian secara analitis maupun politik. Suatu produk dipersuasikan dengan tujuan agar orang-orang awam dapat menerimanya. “orang-orang awam” adalah kata kunci penting dalam produk populisme.
Pelaku pelecehan mahasiswa berprestasi yang sudah terlanjur digelari “ustad” oleh beberapa pihak menjadi salah satu produk benalu dalam budaya populisme. Lelaki yang melakukan personifikasi kesolehan sedemikan rupa di media sosial, ternyata adalah sosok predator pemangsa perempuan di belakang layar.
Apa yang ditampakkan di media sosial berupa sosok penghafal Al-Qur’an, kata-kata manis bermuatan doa dan motivasi, penerima beasiswa, hanyalah hiasan-hiasan manis yang menutupi perilaku kekerasan seksual yang dilakukan kepada korban yang kadung percaya atas topeng “kesholihan” dan “berprestasi”.
Sayangnya, pelaku ini juga pernah diundang menjadi suatu pembicara di suatu masjid dan forum. Bahkan beberapa tokoh juga membesarkan namanya karena segudang prestasi dan hiasan-hiasan ibadah yang ditampilkan.
Belajar dari kasus ini, para pegiat dakwah perlu menjaring pembicaranya agar “kepopuleran” dan personifikasi kesholihan bukan semata menjadi parameter layak dianggap pembicara namun mesti memiliki otoritas keilmuan yang jelas. Islam tidak mengajarkan ta’asub kepada ketokohan, yang paling penting untuk dinilai adalah gagasan dan cara pandangnya.
***
Setiap orang mestinya berpikir adil dan menyaring kembali apa yang memang patut untuk diikuti dan juga bisa membedakan antara “Muslim Selebriti” dan “Pakar” atau “Ilmuwan” yang sesungguhnya. Sayangnya ketokohan yang dibesarkan, sudah memakan korban berupa fangirling di mana perempuan menyukai sang tokoh dan si tokoh memanfaatkan kepercayaannya itu untuk melakukan kekerasan seksual.
Sampai berita ini diangkat, ada sebagian pihak (bukan teman/kerabat dekat pelaku) tidak percaya dengan berita tersebut. Yang artinya ada beberapa umat Islam yang hanya mempercayai simbol-simbol kesalihan lalu gumun (kaget) ketika sosok sholih tersebut berubah menjadi pelaku kejahatan seksual.
Dakwah populis tanpa otoritas keilmuan yang benar malah menghasilkan orang-orang yang tak pantas untuk diikuti. akhirnya pun muncul orang dengan akhlak buruk yang memanfaatkan kepopuleran untuk melaksanakan niat buruknya.
IM bukanlah satu-satunya produk populisme. Kritik terhadap budaya populis mesti terus digulirkan agar tak menciptakan otoritas-otoritas palsu yang lain. Dulu kita juga kenal profil Dedy Susanto yang mengaku doktor psikologi (yg bukan alumnus psikologi) melakukan pelecahan seksual kepada kliennya.
Atau juga Dwi Hartanto yang terlanjur populer mendaku dirinya “Ilmuwan Indonesia” lewat sederet prestasi palsu. Seperti dulu Livi Zheng, sutradara dengan glorifikasi prestasi palsu dihakimi oleh Joko Anwar, para pakar mesti diberi mimbar tanpa perlu mengutamakan selera pasar. Budaya populis harus dilawan dengan budaya literasi dan intelektual. Terutama tokoh yang membawa nama agama.
Kita mestinya patut curiga dengan orang yang membawa atribut-atribut keagamaan, bukan malah diberi panggung, dieluk-elukan, dan ditepuk tangani. Belajar dari kasus ini perlu kiranya suatu kehati-hatian untuk tidak begitu saja mempercayai suatu tokoh yang digelari “ustad” tanpa mengenali benar apakah dia otoritas asli atau hanya selebriti.