Kekuasaan yang Mendominasi
Semenjak konsep Trias Politika banyak dianut di berbagai negara, kekuasaan negara mulai dipisahkan antara satu fungsi ke fungsi yang lain dengan pembagian mainstream berupa kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini memiliki maksud dan tujuan tertentu, yaitu upaya untuk membatasi kekuasaan atau menghilangkan dominasi kekuasaan pada satu genggaman.
Sudah jadi pengetahuan bersama, bahwa kekuasaan yang terpusat kerapkali berusaha untuk mendominasi semua sektor. Kekuasaan yang dibagi-bagi memungkinkan sistem kontrol antar kekuasaan. Selain itu, guna untuk menyeimbangkan kekuasaan apabila keluar dari jalurnya.
Di antara kekuasaan yang telah tersebut di atas, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang paling banyak dirujuk oleh masyarakat dalam hal persengketaan. Hal ini tidak terlepas dari fungsinya untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh dua kelembagaan. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung beserta lembaga peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi.
Dalam penjelasan di berbagai literatur, disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah court of justice atau pengadilan keadilan. Hal ini tidak terlepas dari perkara yang ditangani yang berkaitan dengan sengketa antara para pihak. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi adalah court of law atau pengadilan hukum (aturan) yang memutus konstitusionalitas sebuah undang-undang.
Jejak Kekuasaan Kehakiman dalam Hadis Muadz Bin Jabal
Terdapat beberapa matan hadis yang berbeda terkait persoalan ini. Hadis ini begitu melegenda ketika Muadz bin Jabal hendak dikirim Rasulullah SAW ke Yaman. Pada saat itu, Rasul berbincang seraya bertanya terkait persoalan yang diajukan ke Muadz untuk diselsaikan.
“Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadamu (untuk mendapat putusan)? “
“Saya akan memutuskan dengan kitab Allah.” Jawab Muadz.
“Apabila engkau tidak mendapatkan (jawaban) di kitab Allah.” Tanya kembali Rasulullah.
“Maka aku akan merujuk kepada sunah Rasulullah.” Jawab Muadz.
“Apabila engkau tidak mendapatkan (jawaban) di sunah Rasulullah.” Rasulullah kembali bertanya kepada Muadz.
“Saya akan berijtihad dengan pendapat saya.” Jawab Muadz. “Dan saya tidak akan membiarkan perkara tersebut tanpa putusan.
Dari percakapan Rasulullah tersebut, terdapat beberapa jejak nilai dalam kekuasaan kehakiman yang berkorelasi dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Pertama, Asas Putusan Berdasarkan Alasan yang Jelas dan Rinci
Hal ini tercermin dari percakapan Rasul yang menanyakan dasar putusan sedangkan Muadz menjabarkan dasar hukum yang akan dirujuk ketika memutus sebuah perkara.
Hal ini menandakan bahwa sebuah putusan terhadap sebuah perkara haruslah didasari dengan dasar hukum yang jelas.
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, hal ini tertuang dalam Pasal 50 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman):
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”
Kedua, Ius Curia Novit
Hakim dianggap paling tau hukumnya. Dari asas ini, hakim diharuskan untuk senantiasa memberikan setiap putusan yang dihadapkan kepadanya, bahkan terhadap sebuah perkara yang belum terdapat aturannya.
Hal ini tercermin dari jawaban Muadz terhadap pertanyaan Rasul. Rasul bertanya, ketika tidak ada dalam Kitab Allah dan sunah Rasul, bagaimana diselesaikan. Muadz menjawab, “Maka aku akan berijtihad dengan pendapatku”. Dari uraian ini tergambar bahwa hakim haruslah menguasai hukum. Selain itu, apabila tidak tidak ada hukumnya, maka diharuskan untuk menggali dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Ketiga, Hakim Tidak Boleh Menolak Perkara Karena Ketiadaan Hukum
Muadz menyebutkan dalam matan hadis tersebut dengan kalimat “walaa aluu”, yang bermakna “dan saya tidak akan membiarkan perkara tersebut tanpa putusan”. Setiap perkara yang diajukan haruslah mendapatkan putusan. Karena hal ini sesuai dengan asas ius curia novit, bahwa hakim dianggap paling tau hukumnya.
Di Indonesia, hakim dilarang untuk menolak sebuah perkara dengan alasan ketidakadaan hukumnya. Hakim justru harus berusaha mencari hukumnya seraya berusaha untuk menyelesaikannya. Hal ini tercermin dari Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dari uraian di atas, nilai-nilai dalam Islam sangat berkorelasi dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh kekuasaan kehakiman di Indonesia. Nilai ini harusnya harus terpatri dan tidak hanya berakhir menjadi manisan bibir semata. Tentunya banyak dari Masyarakat berharap bahwa kekuasaan kehakiman dijalan berdasarkan nilai-nilai luhur yang dipedomani.
Editor: Yahya FR