Akhlak

Dahulukan Akhlak dari Akidah!

3 Mins read

Hobi Menyesatkan Kelompok Lain

Salah satu yang menjadi kecenderungan kita saat ini adalah terlalu mengurusi persoalan keimanan dan akidah orang lain. Kita dengan berani mampu menentukan apakah seseorang itu telah kafir dan sesat atau belum.

Salah satu orang yang berani itu adalah Yazid bin Abdul Qodir Jawas. Melalui bukunya yang lumayan banyak tersebar, “Mulia dengan Manhaj Sunnah”, ia menyebutkan sejumlah aliran-aliran atau firqah-firqah yang dianggapnya sesat.

Di antara firqah-firqah yang dianggapnya sesat itu antara lain: pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah, penggiat filsafat dan tasawuf, kelompok Ikhwanul Muslimin, dan Jama’ah Tabligh. Kita tentu akrab dengan kelompok-kelompok yang disebutkan oleh Yazid tersebut. Kelompok-kelompok yang disebutkan oleh Yazid tersebut merupakan kelompok mainstream dalam umat Islam.

Pengelompokkan oleh Yazid tentang kelompok-kelompok sesat itu menunjukan dan menyadarkan kita akan dua hal: Pertama, dengan menyebut beberapa “kelompok sesat” tersebut, Yazid dengan sendirinya ingin mengafirmasi dan ingin menunjukkan pada publik bahwa hanya kelompoknyalah yang berada pada jalan yang lurus lagi benar. Adapun yang lain, seluruhnya salah. Kedua, dengan adanya penggiat tasawuf dan filsafat masuk dalam daftar kelompok sesat, menunjukan bahwa Yazid adalah orang tertutup dan tidak terbuka pada perbedaan.

Padahal, baik filsafat atau tasawuf, memiliki tempat dalam Islam. Sejarah umat Islam telah melahirkan banyak sekali filsuf dan sufi yang berpengaruh dan diakui keilmuannya dalam Islam. Dalam filsafat, kita mengenal filsuf-filsuf besar seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Pada dunia tasawuf, kita mengenal tokoh-tokoh sufi besar seperti Hasan Al-Basri, Fudail bin Iyadh, Al-Ghazali, Junaid Al-Baghdadi, dan seterusnya.

Buru-Buru Menyesatkan Akidah Orang

Apa yang ditunjukkan oleh Yazid memang menjadi kecenderungan banyak umat Islam saat ini. Sikap yang tertutup dan mudah menganggap seseorang itu sesat kerap kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari, baik di dunia nyata ataupun maya.

Baca Juga  Doa Berlindung dari Tiga Keburukan: Akhlak, Amal dan Hawa Nafsu

Ketika kita melihat orang-orang yang melontarkan pemikiran baru yang belum pernah kita dengar, kita buru-buru mengecamnya sebagai orang yang hatinya terdapat penyakit ataupun sesat.

Ketika Quraish Shihab menyampaikan bahwa ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa jilbab tidak wajib, beliau langsung dihardik dan dicerca banyak orang yang tidak paham. Mereka tergesa-gesa mengatakan bahwa Quraish Shihab adalah ulama sesat dan menyesatkan. Oleh karena itu ia harus dijauhi dan ditinggalkan.

Begitupun dengan ketika ia menyatakan bahwa Sunni-Syi’ah dapat bergandengan tangan. Ia langsung dituduh sebagai ulama Syi’ah. Padahal apa yang disampaikan oleh beliau, sudah banyak diulas oleh ulama Sunni terdahulu.

Inti dari Agama adalah Akhlak Bukan Akidah

Mereka yang terlalu mengurusi akidah dan keimanan orang lain sesungguhnya adalah orang yang lupa bahwa inti dari ajaran agama Islam adalah akhlak, bukan akidah. Meminjam bahasa Cak Nun, keimanan dan akidah itu persoalan adalah dapur. Yang tahu persis apakah seseorang itu beriman atau tidak beriman adalah diri kita sendiri. Bukan orang lain. Orang lain tidak dapat menentukan apakah seseorang telah sesat dan kafir. Satu-satunya yang berhak menentukan itu semua adalah Allah.

Dari mana kita mengetahui bahwa inti daripada ajaran agama itu adalah akhlak? Yakni dari hadis Nabi Muhammad yang menyebutkan, “Inni bu’istu li utammima makarimal akhlak (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”. Inilah yang utama daripada ajaran agama. Bukan akidah. Karena akidah menyangkut hubungan seorang muslim dengan Tuhannya. Orang tidak akan melihat itu. Yang orang-orang ingin lihat adalah akhlak kita. Karena dari situlah mereka mengukur keimanan kita. Jadi, sekalipun orang mendaku bahwa dirinya beriman, tetapi dalam keseharian akhlaknya justru jauh dari akhlak Islam dan jauh dari akhlak yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, maka keimanannya patut untuk diragukan.

Baca Juga  Membela Nabi, ala Perang Khandaq atau Umpatan Yahudi?

Membiasakan Diri Menghadapi Perbedaan

Dalam Islam, kita diajarkan bagaimana akhlak dalam menyikapi perbedaan. Sehingga kita justru menjadi orang yang terbuka dan mampu menerima perbedaan. Itulah yang diterapkan oleh ulama sejak berabad-abad lamanya.

Sehingga, umat Islam tetap harmonis dan damai. Akhlak itu diajarkan dalam khazanah ushul fikih klasik kita. Para ulama sering membahasnya ketika mendapati hasil ijitihad dan pemikiran yang berbeda.

Hal yang menjadi fokus ulama ushul fikih dari perbedaan pemikiran dan ijtihad di atas adalah apakah semua pendapat itu benar atau hanya satu saja di antara mereka yang benar. Pandangan yang pertama disebagai At-Tashwibah (menganggap semua benar). Pengikutnya disebut Al-Mushawwibun. Para ulama yang berpegang pada hal ini adalah AL-Ghazali, Al-Baqillani, sebagian ulama mazhab Hanafi, para ulama aliran kalam dari Asy’ariyah dan Muktazilah.

Adapun pandangan yang kedua adalah At-Takhthi’ah (menganggap kecuali satu, semuanya salah). Pengikutnya disebut sebagai Al-Mukhaththi’un. Termasuk di antara ulama pada garis ini adalah Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, mayoritas ulama Ahlus Sunnah, dan Syi’ah. Menurut kelompok ini, semua hukum sudah ditentukan oleh Allah. Siapa yang menemukan hukum itu pasti benar dan siapa yang tidak mendapatnya pasti salah (Jalaluddin Rakhmat: 2007).

Menjauhi Sikap Tertutup

Dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pemikiran, kita harus menjauhi sikap tertutup sebagaimana yang ditunjukkan orang pada Quraish Shihab. Cara kita menyikapi perbedaan pemikiran harusnya menggunakan pola pikir atau cara pandang Al-Mushawwibun di atas.

Yakni menganggap bahwa kebenaran itu ada dalam banyak wajah. Tidak monolitik (satu arah). Sebab,  sikap inilah yang menjadi pegangan umat Islam sehingga mampu mewujudkan era keemasan pada zaman pemerintahan Harun Ar-Rasyid.

Kala itu, ulama dan cendekiawan memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan menyebarkan hasil pemikiran mereka. Makanya kemudian, terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dan maju. Tidak seperti sekarang ini. Di mana kehadiran pandangan-pandangan yang berbeda dianggap sebagai “musuh”.

Baca Juga  Karakter Tawadhu: Rendah Hati di Hadapan Sang Maha Tinggi

Akhirnya terjadilah stagnasi pemikiran dalam umat Islam. Harusnya sikap al-mushawwibun itu perlu untuk kita hidupkan kembali. Agar umat Islam tidak lagi sibuk mengurusi akidah dan keimanan orang lain, dan supaya umat Islam bisa secara kreatif beradaptasi dan berhasil menghadapi perkembangan zaman yang terus melaju.  

Editor: Yahya FR

Avatar
18 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *