Perspektif

Kelangkaan Masker dan Mekanisme Pasar dalam Islam

2 Mins read

Oleh: M. Zulfikar Yusuf*

Di dalam hukum pasar, konsep keseimbangan harga akan akan terjadi pada titik equlibrium. Pada titik ini tarjadi perpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran. Kurva permintaan menggambarkan kuantitas barang yang diminta oleh konsumen pada tingkat harga tertentu.

Begitupun dengan kurva penawaran, menggambarkan kuantitas barang yang ditawarkan oleh produsen pada tingkat harga tertentu. Pada titik equlibrium itulah konsumen dan produsen bersepakat dengan jumlah kuantitasyang dibeli dengan harga yang harus dibayar.

Mekanisme Harga

Inilah yang kemudian menjadi konsep mekanisme pasar Islam dalam penentuan harga. Bahwa harga akan terbentuk dengan sendirinya sesusai dengan hukum pasar yang berlaku. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallahu’alaihi wasallam:

إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى اللهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ

Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan yang Maha Pemberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta”.  (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).

Dalil diatas menunjukkan bahwa penentuan harga dalam pasar merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Pasar merupakan wadah bersama dalam melakukan muamalah transaksi jual beli. Oleh sebab itu, merupakan suatu kezholiman bagi siapa saja yang memonopoli harga pasar dengan cara dan alasan yang tidak dibenarkan.

Namun demikian, islam masih memberikan peluang intervensi harga pada kondisi darurat. Intervensi ini boleh dilakukan jika terdapat produsen yang melakukan monopoli dalam mememainkan harga yang merupakan bentuk kecurangan dan bagian dari kezholiman.

Baca Juga  Kitschfikasi Akademik: Kualitas Rendah, Tanpa Kebaruan

Inilah yang kemudian yang menjadi identitas Islam bahwa harga akan terbentuk dengan sendirinya. Konsep ini berada ditengah-tengah antara kapitalis yang memberikan kebebasan dan sosialis yang menintervensi dengan cara megeneralkan.

Berkaitan dengan hal ini, hari ini kita dihadapkan pada persoalan kenaikan harga yang cukup drastis, khususnya masker. Logika ekonomi menggambarkan bahwa ketika barang langka maka akan menyebabkan harga barang naik. Begitupun dengan harga masker, semakin banyak yang membeli maka stok yang tersedia semakin berkurang dan berdampak pada kelangkaan barang yang menyebabkan harga naik.

Secara alamiah, kenaikan harga masker adalah suatu kewajaran. Tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah ketika kelangkaan barang dimanfaatkan oleh oknum dalam memainkan harga. Dalam syariat islam biasa disebut dengan ihtikar (penimbunan).

Hukum Menimbun Masker

Ihtikar merupakan tindakan seseorang menimbun barang atau jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan berakibat pada melonjaknya harga pasar secara drastis karena persediaan terbatas dan stok yang menipis dipasar. Hal ini merupakan bentuk kezhaliman yang secara tegas dilarang oleh Allah sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا يحتكر إلا خاطئ

Tidaklah seorang menimbun kecuali ia berdosa”. (HR. Muslim)

Ulama’ berbeda pendapat terkait objek ihtikar yang dilarang. Namun, ulama’ bersepakat tentang tidak bolehnya ihtikar terhadap kebutuhan pokok. Kesepakatan ini sangat rasional, sebab kebutuhan pokok adalah hajat hidup orang banyak dan merupakan bagian dari maqosid asy-syariah. Maka, masker yang dikontekstualisasikan sebagai kebutuhan pokok hari ini haram hukumnya dalam melakukan penimbunan.

Maka hikmah yang kemudian dapat kita petik dari syariat ini bahwa penimbunan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah suatu bentuk kezholiman. Sifat tamak yang yang kemudian berdampak pada kesulitan orang lain adalah hal yang harus dihindari. Sebab syariat bertujuan memberikan kemudahan dan kemaslahatan bagi khalayak umum dan menutup rapat pintu mudharat agar jangan sampai masuk.

Baca Juga  Nahdlatul Ulama (NU) dan Penggerak NU: Belajar dari Sifat Dasar Lebah

Dalam keadaan seperti ini, negara harus mengintervensi dan menutup ruang penimbunan yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat. Di sisi lain, pemerintah perlu memotong alur distribusi agar barang yang dibutuhkan masyarakat banyak ketika sampai pada konsumen harga tidak terlalu melonjak.

Islam sangat menghormati usaha seseorang dan kepemilikan pribadi. Tetapi disisi lain islam juga memberikan hak kepada pemerintah untuk mengtervensi bagi siapa saja yang bermain harga.

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds