Keluarga Tangguh di Masa Pandemi – Indonesia memiliki PR besar, khususnya terhadap kasus kekerasan pada perempuan. Selama masa pandemi covid-19, kasus tersebut meningkat sebanyak 75 %. Ini diungkapkan oleh salah satu tim komunikasi publik Gugus Tugas Nasional pada tahun 2020. Di sisi lain, posisi harmonis memang sebuah harapan tertinggi yang hendak dicapai semua orang. Akan tetapi, dalam penerapannya akan bertemu dengan problem-problem sosial budaya, politik, dan ekonomi yang berbenturan secara alamiah.
Merabaknya Kasus Kekerasan pada Perempuan
Survey dari Badan Peradilan Agama (BADILAG) Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2013 menunjukkan tingkat perceraian terus meningkat setiap tahunnya, bahkan dari tahun 2005 sampai 2010 meningkat sebanyak 70 % yakni sebanyak 285.184 kasus perceraian di seluruh Indonesia. Memang dari banyaknya jumlah kasus perceraian itu dilatarbelakangi oleh faktor ketidak harmonisan, tidak ada tanggung jawab, dan problem ekonomi, namun apa, mengapa, dan bagaimana kasus perceraian ini bisa sedemikian maraknya terjadi?
Ini pula yang menunjukkan ’ketidakdewasaan’ kita menelusuri dan memahami konsep keluarga harmonis secara kaffah, baik yang bersumber dari teks-teks keagamaan maupun dari nilai-nilai budaya yang telah mengejawantah dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Penelitian terkait ketidakharmonisan keluarga juga semakin melejit, terutama di masa pandemi Covid-19 ini. Data dari WHO misalnya di berbagai negara menunjukkan peningkatan kasus yang cukup signifikan, sebagai contoh kasus KDRT pada april 2020 meningkat 60 % dibanding tahun 2019, kasus KDRT ini terjadi di Inggris, Prancis, Spanyol, dan Jepang.
Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan terhadap perempuan juga meningkat sebanyak 75 % selama masa pandemi Covid-19. Ini diungkapkan oleh salah satu tim komunikasi publik Gugus Tugas Nasional pada tahun 2020.
Fakta sosial di atas tentu sedikit contoh dari banyaknya faktor perceraian yang ada. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Padahal boleh dikatakan 90 % masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama, yang memiliki teks panduan hidup dari hal yang terkecil sampai problem hidup yang kompleks termasuk konsep keluarga tangguh.
Untuk itu, penulis mengfokuskan tulisan ini terhadap landasan dari gerak masyarakat beragama. Dalam agama Islam, sumber utamanya ialah al-Qur’an. Dalam studi al-Qur’an, terdapat diskursus keilmuwan yang disebut dengan al-‘ulum al-Tafsir. Dalam kajian tafsir beberapa dekade terakhir ini menawarkan wacana baru terkait metode mendekati teks, yakni al-Tafsir al-Maqashidi.
Sekilas Tentang Tafsir Maqashidi dan Ayat-Ayat Keluarga Tangguh
Meminjam definisi dari Prof. Abdul Mustaqim, bahwa tafsir maqashidi menjadi penengah antara pemahaman yang terlalu kaku dalam memahami teks. Sehingga terkesan hampir ‘menyembah teks’ (ya’bud al-nash) dan liberal hingga keluar dari bingkai teks itu sendiri (yu’ath-thil al-nash). Sederhananya tafsir maqashidi menekankan kepada dimensi maqashid al-Qur’an dalam artian maksud dibalik teks secara dzahiriah dan bathiniyah.
Sebelum membahas nilai-nilai yang kemudian dijadikan landasan bagi keluarga tangguh dalam menghadapi pandemi covid-19. Perlu diketahui bahwa al-Qur’an menyebut istilah keluarga dengan dua kata yakni “ahlun” dan “aalun”. Lafal “ahlun” sebanyak 36 kali yakni (3:121, 4:35,92, 5:89, 11:40,45,46, 12:26,62,65,88,93, 15:65, 19:16, 20:10,29,40,132, 21:84, 23:27, 26:169,170, 27:7,49,57, 28:29, 36:50, 37:134, 38:43, 39:15, 42:45, 48:11,12, 51:26, 52:26, dan surat 66:6). Sedangkan “aalun” sebanyak 11 kali yang terdapat dalam (2:248, 3:33,4,54, 12:6, 19:6, 27:56, 28:8, 34:13, dan surat 54:34).
Memang, dalam tulisan ini tidak ingin membahas lebih mendalam dari semua ayat tersebut. Namun penulis melihat adanya makna tersendiri kemudian satu dengan lainnya saling terkoneksi. Sehingga penulis menangkap adanya Fundamental Values Of Qur’anic Maqasid terutama terkait tema keluarga tangguh.
Fundamental Values of Qur’anic Maqashidi dalam Tema Keluarga Tangguh
Dalam diskursus maqasid, mengutip Jasser Auda disebut maqasid bilamana membawa sistem keadilan, moral, kasih sayang, hidup saling berdampingan, kemurahan hati, dan humanisme. Setiap nilai-nilai tersebut tertuju kepada keharmonisasian dalam lingkup masyarakat yang lebih luas dan tentunya dimulai dari lingkup terkecil, yakni keluarga.
Secara operasional, tentu mayoritas dari kita mengetahui bahwa keluarga tangguh itu memenuhi 8 fungsi utama. Diantaranya fungsi Keagamaan, Sosial Budaya, Cinta Kasih, Melindungi, Reproduksi, Sosialisasi dan Pendidikan, Ekonomi, dan Pembinaan Lingkungan.
Secara gamblang terlihat bahwa keluarga tangguh mestinya memiliki ke-8 fungsi operasional tersebut. Dalam artian, semuanya haruslah seimbang dan saling melengkapi. sebagai contoh, keluarga yang dalam kehidupan sehari-hari bisa memenuhi segala keperluan rumah tangga bahkan sampai ‘tujuh turunan’, dalam artian memenuhi fungsi ekonomi tidak akan berarti apa-apa bila keluarga tersebut tidak memenuhi fungsi Cinta Kasih, Pendidikan, Perlindungan, dst. Sebab fungsi-fungsi yang lain tersebut juga teramat penting untuk diselaraskan dengan fungsi ekonomi. Jadi tidak hanya memenuhi variabel ekonomi belaka, namun kehangatan dan keharmonisasian juga mestinya diutamakan.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa agama dan akhlak merupakan aspek yang sangat penting dalam pendidikan keluarga. “Agama sebagai basis pendidikan anak dengan perilaku terpuji dan agar jiwanya mampu menangkap setiap maksud dibalik kebaikan dan keburukan”. Untuk itu kemudian al-Ghazali menerapkan sanksi dan balas jasa dalam proses mendidik anak.
Kembali kepada diskursus maqasid, imam al-Ghazali, imam al-Suyuthi, Ibn ‘Asyur, Jasser Auda, dan Washfi ‘Ayur menyebutkan bahwa konsep kemaslahatan keturunan (keluarga tangguh) sebagai institusi pertama dalam bangunan peradaban Islam ialah memenuhi 5 tujuan dari syariat, yakni hifz al-din, an-nafs, al-‘aql,an-nasl, al-mal, ad-Daulah, dan al-Bi’ah.
Memahami Peran Masing-Masing
Keluarga terdiri dari beberapa konponen yakni bapak, ibu, dan anak. Setiap komponen mempunyai perannya masing-masing. Misalnya, peran Bapak sebagai kepala keluarga dijelaskan dalam QS. at-Thalaq (65;6) bahwa bapak tidak hanya menjamin kebutuhan lahiriah saja, namun juga bathiniah/rohaniah, seperti menjaga kehangatan dan ketentraman dalam keluarga.
Ibu juga memiliki peran sebagaimana dalam QS. al-Ahzab (33:59) disebutkan bahwa ibu sebagai “madrasah al-‘ula” dalam keluarga mestinya mampu menjaga kehormatan dirinya dari fitnah-fitnah. Pun demikian dengan anak sebagaimana dalam QS. al-Isra’ (17:23-24) bahwa anak wajib mentaati kedua orangtuanya, bertutur kata yang sopan, tidak menyakiti orang tua, dan menghormati orang tuanya. Bahkan amtsal atau perumpamaan yang digunakan dalam al-Qur’an ialah “janganlah kalian mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kalian membentak keduanya”. Jadi, setiap variabel mempunyai domain dan perannya masing-masing.
Pakar tafsir maqashidi, Prof. Abdul Mustaqim menyebutkan setidaknya terdapat nilai fundamental yang digali dalam al-Qur’an, yakni nilai al-‘Adalah wa al-Musawah, al-Wasathiah, dan al-Insaniyyah. Untuk itu, bagi penulis tiga nilai tersebut merupakan nilai primer yang harus dipenuhi “keluarga tangguh” terutama dalam menghadapi pandemi covid-19.
Seperti nilai pertama, al-‘Adalah wa al-Musawah yakni mengutamakan kemaslahatan umat. Keluarga tangguh mestinya melirik ini, misalnya beberapa bulan yang lalu keluar peraturan pemerintah terkait dengan protokol kesehatan (social distancing, memakai masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun). Sikap saling menghargai satu sama lain dalam konteks pandemi covid-19 amat penting, saling nasehat-menasehati dalam mentaati segala gerakan menuju kepada kesehatan jasmani dan rohani mestinya diutamakan.
Pun demikian dengan nilai-nilai selanjutnya. Tapi, tulisan ini hanya salah satu perspektif saja, masih banyak perspektif yang lainnya kok.
Editor: Saleh