Perspektif

Kemenangan Macron di Perancis: Tonggak Kebebasan Beragama Umat Islam

3 Mins read

Perancis baru saja menentukan nasib lima tahunnnya dalam Pemilu Presiden (Pilpres) Perancis kemarin Ahad, 24 April 2022. Tepat pukul 20.00 CEST, Emmanuel Macron dinyatakan unggul 58,8 % suara atas Marine Le Pen yang hanya meraup 41,2 % dukungan. Meski naik hampir 10 % suara dari Pilpres 2017 lalu, yang juga melawan Macron, kandidat dari Partai Rasemblement National berhaluan ultra-nasionalis atau biasa disebut ekstrem kanan ini tidak berhasil merebut “hati dan pikiran” rakyat Perancis.

Tawaran Program Marine untuk Perancis

Program Marine Le Pen di bidang ekonomi, iklim dan lingkungan hidup, hubungan internasional dengan negara Eropa, Rusia, dan dunia internasional, serta program sosial budaya dan keamanan dianggap tidak sesuai dengan prinsip dan nilai “humanisme dan universalisme” Perancis. Sebaliknya, program-program tersebut dinilai wujud dari platform politik ekstrem kanan yang bersifat chauvinistik.

Dalam debat kampanye tanggal 20 April malam, Marine Le Pen, misalnya, meyakinkan publik Perancis akan pentingnya pelarangan jilbab di tempat publik. Jilbab, bagi Le Pen, adalah wujud nyata dari islamisme radikal yang hendak menegakkan syariat Islam dan melawan konstitusi Perancis dan UU Laicite 1905 (sekularisme).

Selain itu, Marine menekankan jilbab merupakan bukti pemaksaan dan pemasungan kebebasan kaum perempuan. Singkatnya, jilbab diyakini Marine sebagai simbol Islam yang terkait erat dengan radikalisme dan terorisme di Perancis.

Dalam konteks ini, Marine Le Pen yang meneruskan ideologi ultra-nasionalis bapaknya Marine Le Pen melabrak Macron yang tidak tegas dan bahkan gagal melawan islamisme (Islam politik yang menciptakan syariah dan negara Islam), radikalisme dan terorisme di Perancis.

Macron dan Kebebasan Beragama

Program Marine Le Pen ini dipatahkan Macron. Petahana ini melihat Marine Le Pen mencampuradukkan secara gegabah antara Islam, islamisme, dan radikalisme-terorisme. Islam, kata presiden yang baru berusia 44 tahun ini, adalah agama yang dijamin kebebasannya di Perancis sebagaimana agama dan keyakinan lainnya tanpa terkecuali. Sebab UU Sekularisme 1905 menjamin kebebasan berkeyakinan warganya.

Baca Juga  Pandemi dan Ancaman Nature-Deficit Disorder

Dalam hal ini, keyakinan dan ibadah umat Islam juga wajib dilindungi, sebab tidak ada satupun pasal dalam konstitusi Perancis yang mengecualikan perlakuan terhadap Islam. Dalam konteks ini, jilbab itu bukanlah wujud simbolik dari radikalisme dan terorisme, tetapi pilihan dan keyakinan perempuan Muslim. Pelarangan jilbab, tegas Macron, di muka umum adalah kebijakan politik ekstrem kanan yang akan memicu “perang sipil” (guerre civile).

Macron selanjutnya mengajak Marine untuk membedakan Islam dan Islamisme, yang keduanya berbeda implikasi politik dan sosialnya. Islamisme adalah sebuah paham sosial politik yang mencitakan agenda syariah atau negara Islam. Karena itu, Islam dan umatnya tidak boleh dilihat secara monolitik, satu wajah saja, tetapi beragam.

Dalam hal ini, Marine Le Pen melihat Islam dan umatnya monolitik, yakni mereka yang menganut paham Islamisme radikal. Terkait dengan kelompok islamis — sekali lagi, mereka yang berpaham radikal dan mencitrakan pemberlakuan syariah dan menempuh kekerasan dan terorisme. Macron menyatakan telah melakukan kebijakan politik yang tegas: deradikalisasi dan mendorong munculnya Islam de Lumiere, Islam Pencerahan sebagaimana para ulama sarjana Muslim Andalusia dahulu.

Penutupan sejumlah masjid kaum Islamis seperti Masjid Pantin Paris telah ia lakukan, sampai masjid itu benar benar bebas dari kaum radikal, telah dilakukannya. Jadi, Macron menegaskan yang ia lawan adalah ekstremisme, radikalisme dan terorisme bukan Islam.

Perbedaan mendasar program Macron dan Marine terkait Islam, umat Islam, dan jilbab sangat mendasar. Karena itulah, Macron yang menganut prinsip humanisme dan liberalisme atau garis politik sosial-liberal ini lebih meyakinkan sebagian publik Perancis untuk memilihnya kembali.

Bagaimana Nasib Marine?

Itu pun juga yang tampaknya mendorong sebagian besar Muslim Perancis — yang pada putaran pertama banyak yang memilih Jean Luc Melenchon dari partai kiri, untuk melabuhkan pilihannya pada Macron.

Baca Juga  Abdoullakh Anzorov, Kenapa Jadi Radikal?

Juga tak kalah menarik untuk diperhatikan, meskipun delapan kali keluarga Le Pen dan politik ekstrem kanan kalah dalam Pilpres Perancis, program ekstrem kanan tampaknya mengalami kenaikan dukungan dan pendukung.

Pada 2002, Bapaknya Marine, Mari Le Pen, berhasil maju dalam laga Pilpres Perancis melawan Jacques Chirac. Kalah telak dengan 22 % suara dari Chirac dengan 88 %, Mari Le Pen mengkader putrinya Marine untuk terus menghidupkan dan mengembangkan ideologi ultra-nasionalisnya. Di tangan Marine, ideologi ekstrem kanan semakin populer dan menarik publik Perancis terutama di daerah rural, pedesaan.

Hal ini, menurut para ahli, disebabkan oleh perubahan geografi-teritorial akibat urbanisasi, globalisasi, dan juga persoalan sosial, budaya dan ekonomi yang masih sulit diatasi oleh pemerintah beraliran kanan dan kiri Perancis. Dalam konteks ini, semua persoalan dan krisis tersebut, disimplifikasi oleh Marine Le Pen dan pendukungnya akibat imigrasi, Islam, dan Uni Eropa.

Harapan Muslim Perancis kepada Macron

Krisis ekonomi dan keamanan nasional dan regional (terorisme dan Perang Rusia-Ukraina misalnya) yang berakibat panjang semakin menyuburkan ideologi ekstrem kanan, bukan hanya Perancis tetapi juga negara Eropa lainnya sepeti Belanda, Jerman, dan lainnya. Karena itu, seperti harapan publik Perancis, Macron dan Uni Eropa diharapkan dapat segera mengatasi persoalan tersebut secepat dan setepat mungkin, untuk melawan berkecambahnya ideologi ekstremis yang dapat mengancam kemanusiaan semesta yang bertumpu pada gagasan dan nilai humanisme dan universalisme.

Dalam konteks Islam dan Muslim Perancis, harapan ini juga berlaku bagi mereka untuk melawan pertumbuhan ideologi ektremis islamis yang memaksakan pandangan ekstremnya itu pada publik Perancis dan Eropa. Karena itu, Islam Pencerahan yang kosmopolitan adalah pemahaman terbaik untuk menangkal sekaligus ekstremisme atas nama Islam dan ekstremisme kanan ultra nasionalis.

Baca Juga  Ngopi-nya Kurang Jauh, Jadilah Islamofobia

Keduanya adalah simptoma peradaban yang dapat memicu apa yang disebut Tariq Ali sebagai “the clash of fundamentalism”, benturan fundamentalisme. Para kaum fundamentalis ekstremis itulah yang sesungguhnya memacu dan memicu “the clash of civilisation” sesungguhnya.

Editor: Soleh

Avatar
11 posts

About author
Santri S3 Filsafat dan Epistemologi, Ecole Normale Superieure (ENS) de Lyon, France; Staf Pengajar Ilmu Qur'an dan Tafsir (IQT), Universitas Muhammadiyah Surakarta; Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta; Associate Research Fellow, Institute of Defence and Strategic Studies, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University of Singapore
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds