Perspektif

Posisi Perempuan dalam Kemerdekaan Bangsa

4 Mins read

Tanggal 17 Agustus 2020 kemarin, bangsa Indonesia memperingati hari proklamasi kemerdekaannya yang ke-75. Namun, sering kali ada pertanyaan yang selalu muncul dan mendasar. Hingga sejauh ini, apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar menikmati kemerdekaan, terkhusus dalam posisi perempuan?

Sejak tahun 1945, bangsa Indonesia telah dinyatakan menjadi bangsa yang merdeka. Pun predikat kemenangan tersebut sudah selayaknya diiringi dengan bukti nyata. Apakah kemenangan bangsa kita tersebut akan berefek pada kehidupan selanjutnya atau tidak?

Kesetaraan dalam Entitas Merdeka

Bung Hatta pernah berpesan: “Kemerdekaan kita bukan hanya merdekanya sebuah bangsa dari penjajahan. Tetapi juga merdekanya setiap individu warga negara dari segala macam penindasan dan pengisapan.”

Hal ini berarti ketika masih ada bagian rakyat Indonesia yang belum terbebas dari suatu eksploitasi, kemenangan atas kemerdekaan belum benar-benar dirasakan sempurna. Ketika masih ada masyarakat yang diperbudak oleh kemskinan, kebodohan, pengangguran, hukum yang tidak adil, dan banyak hal lain, maka kemerdekaan kita lagi-lagi belum sempurna

Secara harfiah, bangsa yang merdeka berarti seluruh warganya. Baik itu perempuan ataupun laki-laki telah bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan apapun. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Tetapi, ketika kita melihat realitanya yang terjadi, negara Indonesia masih jauh dari kata merdeka. Jikalau dikatakan merdeka itu adalah bebas berkehidupan dari segala bentuk penindasan, saya rasa belum sepenuhnya benar-benar terwujud. Salah satu di antara banyak alasan adalah disebabkan oleh budaya patriarki sejak zaman penjajahan yang masih melekat dan dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.

Patriarki sendiri merupakan budaya di mana kaum laki-laki yang menjadi manusia kelas satu, sedangkan perempuan kerap sekali dipandang sebagai entitas kedua setiap lini kehidupan. Efek yang ditimbulkan dari budaya tersebut pun menjadikan posisi perempuan yang dipandang sepele dan hanya ditempatkan di ruang domestik.

Baca Juga  Menggagas Pendidikan Islam Emansipatoris

Sering sekali kita dengar dari orang tua kita atau masyarakat umum, bahwa tempatnya perempuan adalah “dapur, kasur, dan sumur.” Dengan itu kebanyakan perempuan di Indonesia sampai hari ini, seakan pasrah dilabeli dogma-dogma pada masa penjajahan.

Posisi Perempuan dan Kemerdekaan

Merdeka itu maknanya bebas, menurut Prof. Driyarkara, kemerdekaan adalah suatu kekuasaan untuk menentukan diri sendiri berbuat atau tidak berbuat. Dengan kekuasaan di tangannya, seorang manusia merdeka akan mengembangkan diri sebagai manusia yang seutuhnya.

Namun, ketika melihat realitasnya, perempuan Indonesia sampai hari ini ternyata belum merdeka. Sampai sekarang, perempuan masih menjadi sasaran eksploitasi dan objek kasus kekerasan. Hal ini yang masih sering kita lihat bahwa kasus kekerasan, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, kasus inses yang banyak terjadi pada perempuan.

Pada cacatan tentang kekerasan perempuan yang dirilis oleh Komnas Perempuan, tercatat di tahun 2019, kasus kekerasan seksual mencapai 4.898 dan menjadi kasus inses tertinggi. Dan di tahun 2020, dari bulan Januari hingga bulan Mei sudah mencapai 642 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Kasus kekerasan tersebut menandai bahwa masih kuatnya anggapan bahwa tubuh perempuan hanyalah alat pemuas bagi superioritas laki-laki. Apalagi jika digunakan untuk dalih moralitas, negara turut mengontrol tubuh perempuan melalui regulasi. Seperti di Aceh, regulasi terhadap larangan perempuan duduk “ngangkang” ketika naik sepeda motor. Posisi perempuan pun sangat terpinggirkan.

Perempuan dalam Ekonomi dan Politik

Terlebih lagi, ketika kapitalisme yang malah menempatkan perempuan lebih sebagai objek seksual dan eksploitasi dalam kepentingan bisnis. Kapitalisme secara tidak langsung memperdagangkan tubuh perempuan melalui industri pornografi, iklan komersil, industri hiburan, sampai industri mode pakaian.

Ketika kita melihat di bidang ekonomi, memang banyak perempuan yang sudah tampil sebagai pengusaha. Namun seperti yang diakui International Labor Organization (ILO), bahwa perempuan Indonesia masih belum sejajar berpartisipasi dengan laki-laki dalam pekerjaan.

Baca Juga  Dosen, Menuntut Gaji Layak Harus Sebanding dengan Kualitas Kinerja

Mayoritas perempuan Indonesia masih bekerja sebagai pekerja rumahan, pembantu rumah tangga, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Apalagi ketika perempuan pekerja rumahan yang diberikan upah sangat rendah diremehkan dalam pekerjaan, karena pekerjaan rumahan yang dianggap tidak membutuhkan keahlian khusus.

Di bidang politik, partisipasi perempuan juga masih tergolong kecil. UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum telah merumuskan beberapa ketentuan tentang kuota 30% perempuan. Dalam catatan hasil pemilu, penerapan kebijakan afirmatif dalam tiga pemilu terakhir, menunjukkan adanya pencapaian keterwakilan perempuan di parlemen.

Eksistensi perempuan di ranah politik yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kesetaraan dan keadilan yang berujung kepada pengambilan jaminan kepentingan perempuan.

Satu di antara beberapa faktor rendahnya keterwakilan perempuan di bidang politik adalah karena masih mengakarnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Perempuan dipandang lemah, kurang cerdas, dan akhirnya kalah tarung dalam medan politik. Hambatan lainnya adalah lemahnya akses perempuan karena keterbatasan pendidikan, finansial, dan dukungan keluarga.

Jika dilihat dari keseluruhan realitas yang ada, perempuan Indonesia masih belum merdeka untuk mengembangkan kapasitas dirinya sebagai manusia. Untuk bisa mengembangkan dirinya, pastinya manusia perlu memenuhi prasyarat seperti makanan yang cukup, kesehatan yang baik, pendidikan, dan kemerdekaan untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

Pergerakan Perempuan

Perjuangan aktivis perempuan sejatinya telah dimulai jauh sebelum Republik Indonesia merdeka. Hal ini ditunjukkan dengan berdirinya organisasi-organisasi perempuan yang berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia.

Kita sebut saja misalnya organisasi Pawijatan Wanito di Magelang yang didirikan pada 1915 dan PIKAT (Perantaraan Ibu Kepada Anak Temurun) yang dibentuk di Manado pada 1917. Selain itu, di Surabaya juga ada Poetri Boedi yang berdiri sejak tahun 1919.

Baca Juga  Mendambakan Pemilu Yang Praktis dan Sederhana

Selain itu, ada Sarekat Rakyat yang mengorganisir buruh perempuan yang bekerja di perkebunan untuk berunjuk rasa menuntut kesejahteraan pada tahun 1926. Tahun-tahun berikutnya, pergerakan perempuan mulai berkembang dengan diadakannya Kongres Perempuan tahun 1928 yang bereinkarnasi menjadi Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang lahir pada tahun 1945.

Juga ada sosok Nyai Ahmad Dahlan atau nama aslinya Nyai Siti Walidah, seorang perempuan inspiratif di masanya yang berhasil menggerakkan perempuan Muhammadiyah saat itu. Beliau adalah tokoh emansipasi perempuan, istri dari pendiri Muhammadiyah yang juga seorang pahlawan nasional Indonesia.

Melalui ‘Aisyiyah yang didirikan pada 19 Mei 1917, Nyai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Beliau pun juga pernah berkhotbah menentang kawin paksa.

Pada tahun 1926, beliau memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya yang pertama kalinya dipimpin wanita. Beliau pun juga berpartisipasi dalam diskusi tentang perang bersama Jendral Sudirman dan Presiden Sukarno.

Oleh karenanya, di ruang publik atau ranah sosial politik, perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memperjuangkan reformasi sosial dan sekaligus mendapatkan balasan yang sama seperti laki-laki atas tindakannya tersebut. Bisa dibilang, posisi perempuan setara dengan laki-laki.

Sudah saatnya pergerakan perempuan bangkit kembali demi tewujudnya kehidupan yang lebih baik bagi perempuan di Indonesia. Perempuan pantas mendapatkan haknya mengembangkan diri, berpendidikan tinggi, berkehidupan layak dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam hal apapun. Karena pada intinya, semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhannya, kecuali ketakwaannya. Selamat hari merdeka!

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa UIN Sumatera Utara Medan, Program Studi Manajemen Dakwah. Sekretaris Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman PC IMM Kota Medan.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds