Fikih

Pakaian Syar’i: Kemunculan Kembali Kaum Apartheid

3 Mins read

Seorang laki-laki mengenakan outfit dengan model paling up to date dan celana jeans masuk ke dalam masjid. Mendirikan salat, berdzikir dan berdoa sejenak kepada Allah. Lalu membereskan kembali barang bawaannya ke dalam tas dan pergi menghampiri dua laki-laki lain di shaf paling belakang yang sedang duduk mengobrol.

Satu laki-laki mengenakan gamis warna putih tak lupa dengan peci rajut putih pula dan satu laki-laki lagi dengan busana muslim, bersarung dan berpeci hitam khas Nusantara.

“Lagi ngomongin apa?”, tanya laki-laki stylish si korban mode masa kini. “Eh ngga apa-apa kok,” celetuk laki-laki bersarung. Lalu laki-laki bergamis membisikkan sebuah kalimat yang hanya bisa didengar oleh laki-laki bersarung saja.

“Kenapa bisik-bisik kalau ngomong, katanya kalau sedang bertiga tapi satunya tidak diajak ngomong bahaya, nanti bisa tersinggung dan menimbulkan fitnah,” ungkap si stylish. Kedua laki-laki itu hanya senyum-senyum saja tanpa berkomentar lagi.

“Besok pagi jadi ada pengajian kan di masjid ini? Jam berapa sih tepatnya? Aku belum diwathsapp”, si stylish bertanya lagi. “Jam 07.00, ustaznya ‘alim banget, sudah haji empat kali. Tapi kalau mau hadir ngga boleh pakai jeans,” akhirnya laki-laki bergamis mengeluarkan suaranya.

“Hah, emangnya ustaznya bilang gitu? Ngga boleh pakai jeans gitu?”, tanya si stylish keheranan. “Ya ngga juga sih, tapi lebih kelihatan sopan aja dan lebih syar’i,” kata laki-laki bersarung lagi.

Sopan dan Syar’i

Lebih sopan, lebih syar’i dan lebih enak dipandang. Mungkin ini juga yang akan dirasakan jika seorang perempuan stylish dengan hijab mode terkini bertemu dengan perempuan lain yang memakai gamis longgar dan berjilbab lebar. Ya, meskipun tidak semua akan begitu pastinya. Masih banyak juga orang baik dan bijak di sekitar kita.

Baca Juga  Makanan Islami adalah yang Halal dan Tayib!

Memang pakaian adalah yang pertama kali akan dilihat orang lain terhadap pemakainya. Dan jilbab serta peci adalah sebuah mahkota bagi seorang muslim. Baju koko, gamis dan sarung adalah gambaran bahwa ia adalah seorang muslim. Namun itu semua adalah penuntun menuju kehalusan budi, menghindarkan dari sifat keji dan yang menjauhkan dari sifat benar sendiri.

Peci seharusnya membuat pemakainya menjadi rendah hati, bukannya sok menggurui. Jilbab seharusnya membuat pemakainya menjadi lebih bijaksana, bukannya senang menjustifikasi. Begitu pun baju koko, gamis, sarung dan sebagainya. Itu semua merupakan murni penutup aurat yang tidak akan membawa pemakainya merasa tinggi hati dan paling dekat dengan Rabbnya.

Apapun hujjahnya, semua pakaian yang dikenakan seorang muslim adalah yang harus menutup auratnya sesuai ajaran Islam dan tidak menunjukkan lekuk tubuh bagi perempuan. Boleh berpakaian modis, tapi tetap syar’i dalam artian yang sebenarnya.

Halal pergi ke mal dan berwisata, tapi juga tidak terlupa rutinitas ke masjid dan berinteraksi dengan al-Qur’an. Menjadi makhluk agamis yang berintelektualitas dan tidak kebablasan, baik ke kanan maupun ke kiri. Moderatlah kunci utamanya.

Menjadi bersalah jika baju gamis dan jilbab lebar dijadikan sarana diskriminasi terhadap pemakai jeans dan jilbab modis. Yang berbusana muslim tidak seharusnya menjadi orang ataupun golongan yang ekslusif. Juga dengan yang berpakaian sesuai mode terkini tidak boleh sombong dan bersu’udzon kepada saudara seiman yang beda gaya.

Apartheid

Yang bergamis hanya mau bergaul dengan yang bergamis juga. Yang anak modis jalannya juga hanya dengan anak modis lainnya. Yang minoritas kulit putih hanya hidup dengan orang kulit putih lainnya. Golongan pribumi kulit hitam hidupnya dengan mayoritas kulit hitam lainnya. Hampir sama bukan?

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (11): Mohon Ampun pada Allah untuk Orang Tua dan Para Leluhur?

Kaum (rezim) Apartheid berkuasa di daratan Afrika sekitar tahun 1948. Secara represif menghilangkan hak asasi bagi masyarakat non kulit putih. Sadar atau tidak, virus ini sampai juga ke penjuru Indonesia.

Apart artinya memisah dan heid artinya sistem. Jadi apartheid adalah sebuah sistem pemisahan. Memisahkan bangsa kulit putih dari bangsa kulit hitam yang mereka anggap kotor. Muslim bergamis memisahkan diri mereka dari muslim yang bercelana jeans. Muslimah jilbab besar memisahkan diri mereka dari yang berjilbab modis.

Muncul anggapan manusia tidak berbusana muslim dan mengikuti mode ini tidak sesuai syar’i, itu bisa diterima. Tapi, kalau sudah mengungkapkan bahwa derajat keimanan mereka lebih rendah, cuma tahu mode saja, tidak hafal Qur’an-hadist, sudah pasti bukan ahli sunnah, bahkan bukan ahli surga, inilah masalah.

Apakah sudah ada jaminan yang berbusana muslim pahalanya lebih besar daripada yang modis? Atau apakah ada jaminan seorang ustaz akan membuka gerbang surga lebih dulu dari muridnya?

Kalau paradigmanya seperti ini, apa bedanya mereka dengan kaum apartheid di Benua Afrika pada tahun 1948-an? Mereka ngakunya Islam, tapi menjustifikasi seseorang dari pakaian yang menutupi tubuhnya, gosong tidak dahi nya?, atau cingkrang tidak celana nya?

Ketakwaan seseorang itu sama halnya dengan sebuah penghargaan. Dimana orang akan diberi pahala sesuai dengan tingat kredibilitas beribadah, keikhlasan bersedekah dan kesantunan berperilaku. Bukan sesuai dengan pakaian yang ia kenakan.

Allah tidak akan pernah pandang bulu terhadap hamba-Nya. Entah itu kulit hitam atau putih, pakaian sutra atau baju compang camping, bangsawan atau abdi, ustadz atau hadirin dan terakhir, laki-laki atau perempuan.

***

Intinya adalah, mau itu jilbab lebar atau jilbab modis  dan celana cingkrang plus gamis versus kaos oblong plus celana futsal. Semua pakaian yang dipakai itu adalah sebuah pilihan. Ketaqwaanlah yang merupakan kewajiban. Karena sesungguhnya, di mata Allah semua makhluk itu sama. Berlomba-lombalah menjadi hamba yang bertaqwa.

Baca Juga  Menguak “Puzzle” Marginalisasi Kelompok Minoritas di Indonesia

Editor: Nabhan

Rifqy Naufan Alkatiri
7 posts

About author
Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan Kota Batu, sedang menempuh studi pada Prodi Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *