Oleh: Eva Latipah
Remaja (Milenial)
Parents, semua dari kita pasti mengalami yang namanya ”berantem” sama anaknya yang sedang menginjak remaja. Kalau tidak berantem, paling tidak saling menggunakan “nada tinggi” lah. Kita sudah bilang baik-baik, bahkan mungkin super hati-hati, e… sang anak membalasnya dengan emosional aja!
Tidak jarang ada orang tua yang mengatakan, “anak tidak tau diri lah, tidak belajar agama lah, tidak beretika lah. Bahkan yang lebih ngeri: “anak durhaka!” Wuih, jangan sampailah ya. Lalu, kenapa sih mereka demikian mudah emosional atau agresif?
Parents, banyak faktor yang membuat remaja demikian. Di antaranya seperti: struktur otaknya, gen, pengalaman masa kecil, lingkungan, pola asuh orang tua, dan perkembangan kematangan otak dalam mengambil keputusan.
Korteks dan Amygdala
Yang jarang kita pahami adalah tentang struktur otak dan perkembangan kematangan otak remaja dalam mengambil keputusan. Otak menjadi matang pada usia 20 tahunan. Salah satu bagian dari otak ada yang bernama korteks dan amygdala. Korteks berperan dalam pemrosesan informasi atau berpikir. Amygdala bertanggung jawab atas semua reaksi instinktif, termasuk emosi.
Nah, kedua bagian tersebut tidak berkembang pada saat yang bersamaan. Amygdala berkembang duluan. Jadi, sebelum korteks lobus frontalis sempurna, otak emosi sudah berkembang terlebih dahulu. Ini yang membuat anak-anak remaja kita lebih cepat “bertindak” mendahului pikirannya. Padahal, pikirannya untuk menimbang resiko dan konsekuensi tindakan.
Demikian juga koneksi antara sel neuron bertumbuh cepat, sementara pemangkasan (pruning) belum terjadi. Perubahan ini membuat koordinasi pikiran, tindakan, dan perilaku belum berimbang.
Dipandu Sambil Berdoa
Dinamika otak yang terjadi pada remaja (milenial) tersebut tidak berarti bahwa mereka tidak dapat membedakan baik dan buruk. Juga bukan berarti mereka tidak bertanggung jawab. Mereka akan dapat melakukannya dengan panduan orang tua atau orang dewasa lainnya yang berpikir matang (The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry).
Nah, nah, nah… kalau begitu, bagaimana?
Ya sudah, kita harus memahami perkembangan otak remaja yang memang demikian. Tentu sambil kita terus memandu agar mereka tidak terperosok lebih jauh. Dan tentunya, jangan lupa berdoá. Minta kepada Sang Pemilik agar anak kita disabarkan menghadapinya, dan mereka lebih mudah dipandu.