Para ulama tak pernah ketinggalan untuk memanfaatkan karya sastra sebagai peranti untuk membangun kesadaran-kesadaran tertentu yang berlandaskan ajaran-ajaran dalam agama Islam.
Berdakwah, bagi ulama tersebut, tidak dibatasi dalam bentuk ceramah-ceramah yang biasa kita lihat di tempat umum, tempat ibadah, media massa hingga media sosial.
Melalui karya sastra, mereka dengan sadar mengemban tujuan dakwah, tapi dengan dakwah yang lebih dari sekadar ceramah umumnya.
Karya Sastra untuk Dakwah
Mengapa para ulama perlu turut-serta menulis karya sastra untuk berdakwah? Apa kelebihan berdakwah menggunakan karya sastra dibandingkan ceramah-ceramah umumnya?
Bila ditimbang dari aspek keringkasan waktu, tentu saja dakwah yang menggunakan formula ceramah umum (khususnya yang berdurasi rata-rata di bawah 30 menit hingga 90 menit) adalah pilihan yang lebih tepat.
Hal ini jelas berbeda dengan dakwah menggunakan karya sastra seperti novel misalnya yang umumnya tidak bisa diselesaikan sekali duduk. Atau bila ditimbang dari dari aspek keterserapan materi, dakwah melalui ceramah umum relatif lebih tepat dibanding menggunakan karya sastra seperti cerita pendek ataupun puisi misalnya.
Bagaimana pun juga, materi dakwah dalam ceramah-ceramah umum cenderung disampaikan secara ringkas, padat, dan jelas.
Tujuan utama ceramah umum memang untuk menghidangkan “pemahaman siap saji” kepada jamaah dan oleh karena itu jamaah cenderung menjadi penerima-pasif. Ini tentu punya perbedaan mendasar dengan cerita pendek serta puisi.
Meskipun dua bentuk sastra ini relatif bisa selesai dibaca sekali duduk, namun keduanya tidak sepenuhnya mengemban fungsi sebagai penyedia “pemahaman siap saji”. Alih-alih, pesan dakwah di dalam karya sastra disampaikan melalui elemen-elemen cerita (seperti tokoh, penokohan, alur, latar, konflik, dan seterusnya) ataupun elemen-elemen puitik (seperti metafora, paradoks, ironi, dan seterusnya).
Penggunaan eemen-elemen itu, dengan suatu dan lain cara, menyebabkan para jamaah-pembaca tidak bisa lagi menjadi penerima-pasif, melainkan (pada taraf yang berbeda-beda) harus menjadi penerima-aktif.
Dengan kata lain, ikhtiar untuk berdakwah melalui karya sastra akan lebih banyak mensyaratkan peran-serta jamaah-pembaca untuk terlibat aktif dalam memikirkan dan menggali serta membangun pesan yang terkandung di dalam karya sastra tersebut.
Menulis Karya Sastra
Lantas, apabila formula ceramah umum efektif digunakan untuk menyampakan materi dakwah kepada jamaah, mengapa para ulama masih perlu menulis karya sastra—dengan segala keahlian mengolah teknik sastra yang harus dikuasai?
Ketika para ulama menulis karya sastra tentu saja itu bukan berarti berdakwah dengan cara berceramah sudah usang.
Dan juga berarti mereka tidak mau mengedepankan kesimpelan artikulasi. Formula ceramah, pada sisi tertentu, tetap mempunyai manfaat yang signifikan.
Hanya saja, persoalan utamanya, dalam beragama tidak cukup hanya dengan bersikap pasif saja. Pada batas tertentu, sikap pasif dalam beragama—termasuk dalam menerima materi ceramah—juga mempunyai keterbatasannya tersendiri.
Oleh sebab itulah, untuk melengkapi itu, umat Islam juga diharapkan mempunyai kapasitas untuk menjadi subjek yang aktif.
Dan karena alasan-alasan seperti inilah mengapa tak sedikit ulama yang turut memperluas bentuk-bentuk ceramahnya, salah satunya menggunakan formula karya sastra.
Karya Sastra Mengandung Lapisan Muatan
Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa dalam suatu karya sastra terkandung berlapis-lapis muatan, mulai dari muatan moral, sosial, psikologi, sejarah, filsafat, spiritualitas, memori kolektif, dan masih banyak lagi.
Semua muatan itu tidak hadir secara harfiah. Ada yang hadir secara laten. Sebagian dari muatan itu bisa dirasakan dan dipahami serta didapatkan ketika kita membaca sekali lalu saja.
Sementara itu muatan-muatan lainnya didapatkan dan dipahami oleh pembaca setelah karya itu selesai dibaca bahkan mungkin berhari-hari setelah pembaca mencoba merenung-renungkan hasil bacaannya sendiri.
Bahkan tak jarang pembaca membaca dan membaca lagi karya tersebut. Semakin dibaca, maka semakin banyak muatan yang didapatkannya. Oleh sebab itulah, karya sastra merupakan sarana yang tepat digunakan untuk melatih dan membiasakan pikiran manusia untuk mencari dan mendapatkan suatu akna secara aktif.
Tanpa tindakan yang benar-benar aktif, seorang pembaca sastra mungkin hanya mendapatkan “hiburan” saja. Meskipun mendapatkan hiburan saja bukanlah hal yang sama sekali buruk, tapi alangkah baiknya bila selain hiburan kita juga mendapatkan lapisan-lapisan muatan lainnya.
Editor: Yahya FR