Kepenguluan
Ketika mendirikan Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan sebenarnya berstatus sebagai Abdi Dalem di bawah lembaga kepenghuluan kraton—dikenal dengan istilah Abdi Dalem Pamethakan (Abdi Dalem Putihan). Untuk mengetahui di mana letak posisi Kiai Ahmad Dahlan sebagai khatib amin, ulasan berikut ini menggambarkan dan menjelaskan struktur Kepenguluan Kraton Yogyakarta pada awal abad 20.
Merujuk pada buku Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah karya Ahmad Adaby Darban (2010), lembaga Kepenguluan kraton dibentuk sebagai bagian dari birokrasi kerajaan, selain berfungsi sebagai Penasehat Dewan Daerah. Pengulu dan seluruh aparatnya dinamakan Abdi Dalem Pamethakan (Abdi Dalem Putihan).
Kantor Kepenguluan Kraton Yogyakarta disebut dengan nama Kawedanan Pengulon. Tugas dan wewenang lembaga yang dipimpin oleh seorang Kepala Pengulu(Hoofdpengulu) inimeliputi segala urusan administrasi bidang keagamaan: pernikahan, talak, rujuk, juru kunci makam Dalem Pamethakan yang berada di dalam keraton, naib, hukum dalem peradilan agama, dan kemasjidan.
Struktur Kepenguluan Kraton
Adapun para pejabat dalam organisasi kepenguluan kraton ini terdiri dari orang-orang yang ahli dalam agama Islam. Stuktur kemasjidan ini dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, Khatib. Jumlah khatib ada sembilan orang yang dikepalai langsung oleh Pengulu. Adapun nama-nama Khatib sebagai berikut: Khatib Anom, Khatib Tengah, Khatib Kulon, Khatib Wetan (Tibetan), Khatib Lor (Tibelor), Khatib Senemi, Khatib Amin (Tibamin), Kehaib Iman (Tibiman), dan Khatib Cendana.
Kedua, Modin. Jumlahmodin lima orang yang dikepalai oleh seorang Lurah Modin. Adapun nama-nama khusus untuk modin tidak diberikan. Tugas modinsesuai jadwal lima waktu shalat wajib yang diadakan secara berjamaah di Masjid Agung Yogyakarta. Ketiga, Berjamaah. Jumlahberjamaahempat puluh orang yang dikepalai oleh Lurah Berjamaah.Anggota berjamaahtidak mendapat nama khusus. Soal jumlah empat jumlah puluh orang itu dikaitkan dengan syarat sah jamaah Jum’at menurut paham ajaran Islam yang dianut pada waktu itu. Keempat, Merbot. Jumlahnya sepuluh orang yang dikepalai oleh Lurah Merbot. Merbot tidak memiliki julukan atau nama khusus.
Ketika mendirikan Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan berstatus sebagai khatib amin (tibamin), bawahan dari Pengulu Kepala (Hoofdpengulu). Ia memiliki kedudukan setara dengan para khatib yang berjumlah sembilan orang dalam struktur kepenguluan Kraton Yogyakarta pada waktu itu. Dengan mengetahui posisi Kiai Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah yang sempat menggemparkan masyarakat Yogyakarta pada waktu itu, maka wajar jika sang Pengulu marah karena otoritasnya telah dilangkahi oleh bawahannya. (Redaksi)
Editor: Arif