Tafsir

Kesatuan Surah dalam Al-Qur’an Menurut Pandangan Dua Mufassir Besar

4 Mins read

Sebelum membahas kesatuan (wahdah) surah di dalam al-Qur’an menurut pandangan dua mufassir besar, yakni Thabathaba’i dan Sayyid Qutb. Terlebih dahulu akan diterangkan mengenai pengertian dan pentingnya kesatuan surah itu sendiri sebagai berikut:

Kesatuan surah menurut Farahi dan Ishlahi adalah setiap surah adalah kalam yang dari segi tema telah sempurna yang ditunjukan dengan kerangka strukturnya yang koheren. Hal senada juga diungkap oleh Dr. Amir Faishol Fath dalam karyanya the Unity of al-Qur’an bahwa seluruh surah di dalam al-Qur’an mengandung satu kesatuan tema, yang mempunyai fungsi signifikan dalam menyusun seluruh struktur al-Qur’an yang tertib dan teratur.

Bahkan al-Imam al-Ghazali pun menegaskan di dalam Jawahir al-Qur’an bahwa ayat-ayat dan berbagai surah dalam memuat tiga pokok ajaran. Yaitu mengenal Allah, mengetahui jalan untuk mencapai Allah dan mengetahui Akhirat yaitu suatu situasi yang menyambungkan diri dengan Allah Swt.  Adapun topik lain yang terkandung dalam al-Qur’an, seperti kisah tentang orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Itu hanyalah menjadi penyempurna terhadap tiga topik utama di atas.

Pandangan Thabathaba’i dan Sayyid Qutb

Sebab pentingnya kesatuan surah tersebut di dalam al-Qur’an, maka akan dijelaskan secara spesifik menurut pandangan dua mufassir sebagai berikut:

Pertama, pandangan Thabathaba’i. Menurutnya sebagai kalam Allah, al-Qur’an seharusnya memiliki kesatuan (wahdah). Adapun kesatuan itu menurut pandangannya adalah “kesatuan maknanya” dan itulah “makna yang disatukan” yang dimaksud secara khusus oleh al-Qur’an. Kemudian ia mendefinisikan makna yang disatukan ini sebagai petunjuk (hidayah) umat manusia ke jalan yang benar.

Selanjutnya ia, Thabathaba’i menunjukan bahwa pembagian al-Qur’an menjadi sejumlah besar surah menandakan bahwa masing-masing surah memiliki “semacam kesatuan komposisi dan keutuhan yang dapat ditemukan tidak di bagian-bagian surah yang terpisah dan tidak juga dalam dua surah yang diambil bersamaan. Hingga dia sendiri mengungkapkan:

Baca Juga  Mengenal Kitab Ma’alim al-Tanzil Karya Imam al-Baghawi

“Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa surah-surah tersebut memiliki tujuan yang berbeda, bahwa setiap surah dimaksudkan untuk mengungkapkan sebuah makna tertentu, untuk melayani tujuan tertentu (gharadh), pada pencapaian yang mana surah tersebut akan mendapatkan penyelesaiannya.”

Dengan demikian, sebelum menghadirkan penafsirannya tentang sebuah surah, Thabathaba’i memberikan catatan singkat tentang tujuan surah tersebut. Catatan itu sebagai sebuah kaidah, dimana ia membagi satu surah menjadi beberapa kelompok ayat dan mencoba untuk membangun keterhubungan di antara mereka. Hal tersebut sebagaimana ia tuliskan dalam tujuan surah al-Nisa’ yaitu:

“Tujuan surah tersebut adalah untuk mendeskripsikan aturan-aturan yang mengatur kehidupan perkawinan seperti jumlah istri (perempuan yang diperbolehkan untuk dinikahi), perempuan yang tidak diperbolehkan untuk dinikahi dan aturan waris. Di dalamnya juga dibahas beberapa aturan lain, seperti aturan yang berkaitan dengan ritual shalat, perang, beberapa jenis kesaksian, perdagangan, dan lain-lain. Ahli Kitab juga dibahas di dalamnya.

Karenanya, Thabathaba’i menganggap tujuan dari sebuah surah cukup penting untuk menolak dasar penafsiran sebuah ayat jika, dalam pandangannya, penafsiran tersebut tidak sesuai dengan tujuan (gharadh) surah.

Lebih dari itu, ia juga menekankan poin bahwa al-Qur’an sudah cukup jelas dan secara umum tidak bergantung pada konteks pewahyuan dalam memberikan penafsiran dasar dari ayat-ayat al-Qur’an.

Adapun peristiwa-peristiwa itu hanyalah menjadi “penerapan-penerapan”(tathbîqât atau hukm tathbîqî) dari ayat-ayat yang sudah diturunkan dan bukan “penyebab sebenarnya” (asbâb haqîqîyah) dari pewahyuan ayat-ayat tertentu tersebut.  Namun demikian, tetap lah ia seringkali mengutip mereka pada bagian yang terpisah dari tafsirnya setelah menjelaskan penafsiran dasarnya.

Kedua, pandangan Sayyid Qutb. Sedikit berbeda dari Thabathaba’i, Qutb meyakini secara tegas bahwa setiap surah al-Qur’an adalah suatu kesatuan. Terlihat Sayyid Qutb mengulang ide tersebut beberapa kali dalam karya tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an. Adapun penjelasan Qutb sebagaimana berikut:

Baca Juga  Kesan Mendalam Al-Qur’an Ketika Membahas Perempuan

“Dari sini akan menjadi jelas bagi orang yang hidup di bawah naungan al-Qur’an bahwa setiap surah al-Qur’an memiliki kepribadian yang berbeda. Suatu kepribadian yang memiliki jiwa. Di tengah-tengah jiwa tersebut berdenyut segumpal hati, seolah-olah ia hidup dalam jiwa makhluk yang memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Dan surah tersebut memiliki satu atau beberapa tema utama yang diikat oleh sebuah pokok permasalahan tertentu (mihwar, “poros, sumbu”). Dan dia memiliki atmosfernya sendiri, suatu atmosfer yang mempengaruhi keseluruhan tema, membuat konteks surah tersebut mendekati tema-tema dari beragam sudut tertentu. Hasilnya adalah sebuah keharmonisan di antara tema-tema surah yang berkesesuaian dengan atmosfer surah. Dan dia memuat sebuah irama musik, yang mana, jika itu berubah selama pembicaraan surah, akan berubah sebagai penghormatan atas pertimbangan tematik tertentu. Ini adalah kesan umum atau karakter dari keseluruhan surah al-Qur’an.”

Dari pernyataannya tersebut, akan diketahui bagaimana Sayyid Qutb mendeskripsikan surah al-Nisa’, di mana sebagai surah yang memiliki identitas yang berbeda. Ia mengungkapkan:

“Surah ini adalah bagian dari upaya yang dilakukan Islam untuk membangun sebuah komunitas Muslim dan membangkitkan suatu masyarakat Muslim, kemudian melindungi komunitas tersebut dan juga melanggengkan masyarakat tersebut. Surah ini juga menawarkan sebuah contoh keterlibatan
al-Qur’an dengan sebuah masyarakat baru.

Dan:

“Surah tersebut berusaha untuk menghapuskan sifat-sifat masyarakat Jahiliyyah dari mereka yang berada di tengah-tengah kelompok Muslim karena ditangkap dan menyingkirkan unsur-unsur residunya; untuk membangun masyarakat Muslim dan memurnikannya dari sisa-sisa Jahiliyyah; dan untuk menghilangkan identitas khasnya pada saat yang sama berusaha untuk memobilisasi umat
Islam untuk melindungi karakter khas masyarakat mereka.”

Kendati demikian, kutipan-kutipan ini menjelaskan bahwasanya Sayyid Qutb tidak hanya mihwar dari surah al-Nisa’ saja. Tetapi juga dalam makna yang lebih luas, juga dalam hadaf (tujuan) daripada keseluruhan al-Qur’an. Selain itu, dalam penafsirannya pada surah tersebut, ia menyatakan tujuan umum dari al-Qur’an sebagaimana berikut:

Baca Juga  Jihad itu Bukan Demi Bidadari

“Dari sini akan jelas bahwa, seperti tiga surah panjang (surah al-Baqarah, Ali Imran, al-Nisa’) yang mendahuluinya, surah ini berkaitan dengan berbagai tema, hubungan diantara mereka menjadi hadaf yang layak untuk pencapaian yang diungkapkan keseluruhan al-Qur’an, yaitu: untuk membuat komunitas, mendirikan negara, dan untuk mengatur masyarakat berdasarkan suatu keyakinan khusus, pandangan yang pasti, dan struktur yang baru..”

Dengan demikian, secara khusus Sayyid Qutb akan membagi satu surah menjadi beberapa atau banyak kelompok ayat. Kemudian dia berusaha melihat hubungan-hubungan tematik di antara mereka. Dia tidak menganggap asbâb al-nuzûl sebagai sumber utama penafsiran, bahkan dia tidak ragu mengkritik mereka jika kebetulan bertentangan dengan hasil kajiannya sendiri tentang al-Qur’an.

Editor: Soleh

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds