Ungkapan time is money merepresentasikan tentang kemahahebatan sesuatu yang disebut ‘uang’, hingga membuatnya mampu sejajar dengan ‘waktu’. Padahal; satu di antara hal yang tidak bisa diganti adalah waktu, sedangkan kehilangan uang sebanyak apapun masih bisa dicari gantinya.
Stereotip bahwa uang adalah kunci dasar kebahagiaan, membuat ketiadaan uang menjadi kondisi yang ditakuti oleh sebagian besar orang. Seorang pujangga besar bahkan mengatakan bahwa semua agama memiliki bentuk yang sama di hadapan ‘uang’. Manusia berbaju putih bisa berganti berbaju hitam gegara ‘tidak punya uang’. Manusia berperut rata dapat berubah menjadi berperut buncit gegara ‘kelebihan uang’. Manusia berhati kapas juga dapat beralih menjadi berhati keras gegara ‘kekosongan uang’. Semua hal tentang uang memang berbahaya, tetapi bagi penulis ada yang lebih berbahaya dari uang; yakni kesepian.
Risiko Kematian
Tidak punya uang tidak lebih berbahaya dari kesepian, sebab dampak-dampak yang dihasilkan dari dua kondisi tersebut. Ketiadaan uang hanya akan berujung kelaparan, kemudian sebagian besar orang akan menunjukkan sikap dermawan. Penulis sangat meyakini bahwa orang-orang Indonesia yang diberi oleh Pemilik Semesta rizki yang berlimpah, masih memiliki rasa simpati yang tinggi di dalam hati. Hal ini didasari atas fakta bahwa Indonesia dinobatkan sebagai Negara paling dermawan di dunia berdasarkan survei CAF (Charities Aid Foundation) pada tahun 2018 lalu.
Negara kita yang tercinta ini dinilai berhak untuk menempati podium tertinggi sebagai Negara yang memiliki masyarakat paling sering berdonasi, paling sering menolong orang yang membutuhkan bantuan, dan paling sering berpartisipasi sebagai relawan. Fakta ini memberikan jaminan bahwa selama manusia dengan ketiadaan uang masih hidup di Negara Indonesia, maka kemungkinan besar ia tetap akan baik-baik saja. Koes Plus bahkan mengingatkan manusia tentang ketiadaan uang dengan sebuah kalimat, “Hati senang walaupun tak punya uang”.
Jika kondisi tidak punya uang tetap dapat membuat orang baik-baik saja, maka berbeda dengan kondisi kesepian. Pertolongan pertama pada perut kelaparan dapat dicari, namun di mana obat kesepian hendak dibeli? Ungkapan tentang kesepian yang berujung kematian, dapat dijadikan sebagai bahan renungan.
Hal ini bukan sekadar mitos atau upaya menakut-nakuti, sebab kesepian dapat memicu penyakit kardiovaskular. Penyakit ini yang dapat meningkatkan risiko kematian seseorang. Pada tahun 2018, di Irlandia ditampilkan sebuah hasil riset tentang kesepian adalah aktor utama yang menyebabkan kematian dini.
Tim peneliti dari Denmark yang dipimpin oleh Anne Vinggaard Christensen, mengungkapkan bahwa kesepian dapat meningkatkan risiko kematian sampai dua kali lipat pada seorang wanita. Risiko pada pria tidak sebesar dengan risiko yang terdampak pada wanita. Di Negara Inggris, 480.000 warga Inggris yang tertulis di dalam catatan kesehatan dan memiliki masalah penyakit kardiovaskular memiliki kemungkinan kematian dini jika diserang kesepian (dilansir dari Daily Mail pada tanggal 27 Maret 2018).
Tidak berlebihan jika Chairil Anwar mengatakan kalimat sarkasme yang berbunyi “Mampus Kau! Dikoyak-koyak sepi”, sebab ternyata kesepian lebih tajam dari sembilu dan lebih berbahaya dari kemiskinan.
Manusia-manusia Kesepian
Duffy & Atwater (2005) dalam bukunya yang bertajuk Adjusment in Life mendefinisikan kesepian sebagai keadaan subjektif individu yang merefleksikan kuantitas dan kualitas hubungan yang diingini lebih rendah dari jaringan hubungan yang tersedia. Ekspektasi tentang kualitas & kuantitas dalam berhubungan dengan teman, keluarga, atau masyarakat yang berbanding terbalik dengan realita sosial yang dihadapi; membuat rasa kesepian muncul di dalam hati manusia.
Secara umum, manusia-manusia kesepian merasa terpisah, tanpa pertolongan, dan ditinggalkan. Jaringan hubungan yang sangat minim membuat manusia-manusia kesepian merasa tidak puas dengan seluruh aspek hidupnya. Penyebab manusia terjangkit penyakit kesepian adalah pola asuh orang tua yang kurang hangat, pemaknaan subjektif tentang hakikat kehilangan, atau memiliki harga diri yang terlalu tinggi (atau biasa disebut gengsi gede-gedean).
Sikap orang tua yang jarang menanyakan pengalaman harian anak, jarang melaksanakan liburan keluarga bersama anak, jarang melakukan (sarapan atau makan malam) bersama anak karena sibuk bekerja; menimbulkan rasa kesepian di dalam hati anak. Apalagi jika kata ‘jarang’ diganti dengan kata ‘tidak pernah’, maka bisa saja anak merasa orang tuanya adalah orang yang mengasuhnya bukan orang yang melahirkannya.
Selain kehangatan keluarga, pemaknaan subjektif tentang kehilangan yang tidak bijaksana juga dapat membuat manusia merasa kesepian. Pemahaman yang baik tentang kehilangan dapat menghindarkan seseorang terjangkit rasa sepi, misalnya pemahaman bahwa kehilangan tidak selalu berarti kepergian, tetapi juga bisa berarti kedatangan. Ketika daun-daun cokelat mulai rontok dari dahan, maka daun-daun hijau akan mulai bermunculan. Jalinan hubungan sosial yang terlalu pilih-pilih[1] juga dapat mempersempit lingkaran pertemanan.
Memilih teman memang diperbolehkan (bahkan dianjurkan), yang sangat tidak dianjurkan itu pilih-pilih teman. Memilih teman dan pilih-pilih teman itu hal yang jauh berbeda. Memilih teman itu kebijaksanaan, sedangkan pilih-pilih teman itu keegoisan.
***
Sederhana saja: tulisan ini berisi pesan kepedulian dari sesama makhluk ciptaan Tuhan terhadap realita sosial di zaman yang serba milenial ini. Fakta bahwa manusia lebih takut kantong kekeringan daripada dilanda kesepian, sudah cukup menjadi pemicu untuk meluruskan masalah tersebut. Semoga tulisan ini menyadarkan sekolompok manusia yang sering melakukan bullying terhadap manusia-manusia kesepian, sebab kesepian adalah hal yang sangat tidak layak untuk dijadikan bahan olok-olokan. Satu hal lagi yang paling penting: kesepian itu bukan takdir, tetapi pilihan. Memilih tetap bertahan atau berusaha melawan?
Editor: Nabhan