Memang benar, setiap orang punya kenikmatan, baik harta, kesuksesan karier dan nikmat lainnya. Ada saja orang yang hasud atau iri dan dengki padanya. Demikian pula Abu Hanifah.
Kesuksesannya dalam ilmu pengetahuan dan pengaruh besarnya di tengah masyarakat, mengundang perasaan hasut atau iri dan dengki dari banyak orang. Hampir saja ia terjebak dalam skenario jahat orang-orang yang hasud kepadanya.
Tepatnya di malam dini hari menjelang waktu sahur, wanita bayaran itu menghadapnya yang biasa berangkat sebelum subuh untuk berjamaah di masjid.
“Saat itu suamiku ingin mewasiatkan harta sementara ia sedang sakit. Aku khawatir ia mati sebelum sempat melangsungkan wasiatnya,” bujuk wanita bayaran agar saat itu juga Abu Hanifah mau datang ke rumahnya sebelum sampai ke masjid.
Benar. Abu Hanifah pun mengiyakan ajakan wanita itu namun apa yang terjadi?
Setelah keduanya masuk rumah, tiba-tiba ia mengunci pintu rapat-rapat dan berteriak-teriak bahwa ia akan berbuat tak senonoh kepadanya. Di sisi lain, orang-orang hasut yang membayarnya, yang sejak tadi sudah siap-siap menggerebek, segera merangsek masuk rumah dan langsung menangkap mereka. Lalu ia dan wanita bayaran itu pun digelandang ke pihak berwajib saat itu juga.
Mengingat masih gelap gulita, pihak berwajib memerintahkan kepada para pegawai agar memenjarakan mereka berdua hingga pagi hari nanti untuk diputuskan hukumannya.
Seolah tidak ada apa-apa, di dalam penjaranya tetap menerus rutinitasnya, tetap khusyuk shalat subuh dan ibadah lainnya.
Melihat sosoknya yang bergeming dijebak dalam skenario pelecehan seksual yang sangat keji, jauh dalam lubuk hati wanita bayaran itu muncul penyesalan luar biasa. Kok mau-maunya dirinya ikut terlibat dalam kejahatan menzalimi ulama agung itu. Tak tahan membendung penyesalan di hati, wanita bayaran itu berterus terang.
***
Lalu bagaimana respon Abu Hanifah mendengar penyesalan itu?
Penuh ketenangan dan kebijakan Abu Hanifah segera berkata:
“Bilang kepada para penjaga penjara: Aku punya keperluan sebentar, mohon diizinkan untuk keluar dan nanti akan balik lagi ke sini. Bila sudah berhasil keluar, datanglah kepada Ummu Hamad- istri Abu Hanifah maksudnya, ceritakan peristiwa ini sebenarnya kepadanya dan suruh ia datang ke sini menggantikan posisimu. Setelah itu silakan kamu mau pergi ke mana saja sesuai urusanmu.”
Singkat cerita setelah wanita itu melakukan arahan Abu Hanifah kemudian Ummu Hamad istrinya datang ke penjara dengan pakaian bertutup muka sama persis wanita tadi. Kedatangannya kebetulan bersama dengan pihak berwajib yang akan memutuskan hukum.
“Abu Hanifah, Apakah halal hukumnya bagimu berduaan dengan perempuan lain yang bukan mahram?” selidik pihak berwajib kepadanya.
“Datangkan ayah perempuan (bertutup muka) ini,” Ia mencoba berdiplomasi menghadapi pihak berwajib kepadanya. “Datangkan ayah perempuan (bertutup muka) ini,” Ia mencoba berdiplomasi menghadapi pihak berwajib yang hendak menghukumnya.
Setelah ayah perempuan yang tidak lain adalah mertua Abu Hanifah sendiri datang di penjara lalu ditanyakan kepada dirinya:
“Siapa perempuan ini?”
Mertua Abu Hanifah pun segera membuka penutup muka wanita itu, dan ternyata ia adalah anaknya sendiri. Lalu ia berkata:
“Perempuan ini adalah anakku yang aku nikahkan kepadanya.”
Nah, seketika hilanglah fitnah murahan orang-orang yang hasud terhadapnya dan justru pengaruhnya semakin besar di hadapan masyarakat.
Melewati jebakan skenario keji pelecehan seksual Ini ia mendendangkan syair:
“Jika mereka hasut atau iri dan dengki kepadaku, mana bukan orang yang mencela mereka; sebelum peristiwa ini sudah ada manusia-manusia yang sebenarnya mulia tapi mereka hasut terhadap orang lain.
Maka tetap abadi bagiku pahala untukku dan abadi bagi mereka dosa untuk mereka; dan kebanyakan kita mati dalam kondisi menyesali balasan atas dosa yang ditemukan atau dilakukannya.”
Demikian pelajaran berharga dari Abu Hanifah saat menghadapi hasut dan kedengkian orang lain. Tenang dan bersikap seperti biasa saja. Tetap mensyukuri nikmat Allah yang telah dianugerahkan.
Kisah ini diambil dalam kitab al Jawahir al -Lu’lu’iyah, karya Syeikh Muhammad al-Jurdani.
Editor: Yahya