Masalah lingkungan bukanlah perkara baru, melainkan fenomena yang terjadi sejak manusia mengklaim dirinya sebagai pusat peradaban. Meski kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh dua hal, manusia dan alam itu sendiri. Namun kerusakan karena manusia adalah sekian banyak dari masalah lingkungan yang terjadi.
Mengapa kerusakan lingkungan karena manusia bisa terjadi?
Mari sejenak menengok sejarah kerusakan lingkungan. Dapat ditandai bahwa kerusakan lingkungan disadari sejak Revolusi Industri pada abad ke-19, dimana negara-negara Barat menyadari, bahwa perkembangan teknologi dan revolusi industri menyebabkan polusi, pencemaran udara, dan kerusakan lingkungan.
Naifnya, di negara berkembang seperti Indonesia, kesadaran akan rusaknya lingkungan tidak banyak disadari oleh individu-individu akademik, aparat negara, dan masyarakat secara luas. Dan tidak heran, banjir di beberapa kota menjadi berita harian yang seolah biasa. Sungai yang menguar bau busuk seolah hiburan yang tidak menyisakan apa-apa.
Banjir hanyalah sebagian kecil dari sekian masalah lingkungan. Dalam bumi Indonesia, kerusakan lingkungan seperti polusi udara, air dan tanah, menipisnya sumber daya alam, punahnya flora dan fauna, hutan yang mulai gundul, merupakan berbagai masalah lingkungan yang sedang terjadi.
Mari menengok data penggundulan hutan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Berdasarkan hasil riset Wahana Lingkungan Hidup Manusia (WALHI) terdapat lahan seluas 159 juta hektar hutan sudah diplot atau dikapling dalam izin investasi industri ekstraktif.
***
Sedangkan menurut IPBES 2018, dijelaskan bahwa Indonesia dalam setiap tahun kehilangan hutan sekitar 680 ribu hektar. Lain lagi bila bicara kerusakan sungai, seperti yang dihimpun oleh KLHK, bahwa dari 105 sungai, 101 sungai yang ada tercemar ringan hingga mengenaskan.
Sebagian data di atas, bukanlah masalah ringan bila bicara kerusakan lingkungan Indonesia. Sayangnya, semua data tersebut seperti angin lalu dan seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal penggundulan hutan efeknya tidaklah sederhana. Ia akan mengakibatkan pola cuaca yang tidak stabil, seperti gelombang panas dan kekeringan yang kita alami akhir-akhir ini.
Masalah lingkungan di sekitar kita seharusnya dijadikan ultimatum bagi pemerintahan, akademisi, dan seluruh lapisan masyarakat. Setidaknya untuk kembali mengkaji kebijakan dan pola hidup masyarakat demi masa depan anak cucu kita bersama.
Kiranya tidak perlu menyuguhkan banyak data tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Karena yang paling penting dari masalah kerusakan lingkungan adalah kesadaran bersama bahwa kita (manusia) hidup tidak bisa terlepas dari lingkungan itu sendiri. Dan bahkan selamanya manusia itu bergantung kepada lingkungan yang ada.
Lalu mengapa kita masih abai dan bahkan tidak peduli dengan lingkungan kita?
Agama Bicara Lingkungan
Masalah kerusakan lingkungan bukanlah masalah sepele. Al-quran dengan tegas mendeskripsikan “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar), QS Ar Ruum: 41.
Bahkan diktum untuk menjaga semesta ini juga jelas dalam Al-Qur’an, surat Al-Qashash ayat 77, yang berbunyi: “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Islam sebagai agama yang paling banyak pemeluknya di Indonesia, secara tegas menganjurkan untuk merawat lingkungan. Saya akan kutipkan beberapa diktum yang dijelaskan oleh Falahuddin Mahrus dalam bukunya “Fiqih Lingkungan (2006: 46)” dalam hal menjaga lingkungan: Pertama, selain karena kepentingan konsumsi, hewan yang diperbolehkan dikonsumsi dalam Islam, adalah hewan yang mempunyai populasi yang banyak, bukan hewan langka yang populasinya sedikit.
Kedua, syariat Islam tidak memperbolehkan atau melarang menyiksa hewan. Ketiga, Islam menganjurkan untuk memelihara dan merawat binatang dengan cara memberi kebebasan hidup. Keempat, Islam mengatur pembunuhan hewan, yaitu hanya hewan-hewan yang dianggap berbahaya (al-fawasiq al-khams)—hewan-hewan yang mengganggu atau pun menyerang manusia.
Sampai pada titik ini, sengat jelas bahwa Islam sangat peduli dengan lingkungan dan seisinya. Lalu mengapa pemeluk Islam sendiri masih abai dan lalai dalam menjaga lingkungannya. Maka saya kutipkan pandangan ulama Islam Kontemporer, Yusuf al-Qardhawi yang telah banyak mengulas tentang Islam dan lingkungan, setidaknya untuk selalu menjadi pembelajaran yang mendalam tentang pentingnya merawat lingkungan.
Bagi Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya “Ri’ayah al-Bi’ah fi Syaria’ah al-Islam (2001),” dalam hal merawat lingkungan hidup, dalam Islam setidaknya ada tiga poin penting yang harus selalu diingat. Yaitu, Al-istihlah merupakan upaya untuk memberikan perawatan terhadap lingkungan hidup; memelihara dan menjaga lingkungan sama dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah); dan merawat lingkungan sama dengan hidup dalam sunnah.
***
Masih banyak dalil lain yang mengisyaratkan untuk merawat semesta. Tidak hanya ayat-ayat dalam Al-Qur’an, tapi dalam beberapa hadits nabi pun akan banyak dijumpai himbauan untuk menjaga lingkungan. Namun sayang seribu sayang, semua dalil itu hanya dibaca dan tidak berdampak secara logis pada pola kehidupan sehari-hari.
Tentu saja, dalam hal merawat atau menjaga lingkungan tidak hanya ada di dalam Al-Qur’an. Dalam agama-agama lain, pentingnya merawat semesta juga ditegaskan, seperti dalam salah satu ayat dalam Alkitab, surat Amsal 3:19-22, yang berbunyi:
“Dengan hikmat Tuhan telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, 3:20 dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun. 3:21 Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu, 3:22 maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu, dan perhiasan bagi lehermu”
Begitu juga dalam agama Buddha, saya kutipkan salah satu ajaran untuk merawat lingkungan dalam buku “Hutan Itu Beragam (2019)”, bahwa ajaran Buddhisme mengecam perusakan hutan dan lingkungan, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Brahmajala Sutta “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan”. Dalam Vinaya bagian Prayascitta, 60: “jika seorang bhikkhu menyebabkan tumbuh-tumbuhan tercabut dari tempat tumbuh, maka ia melakukan pelanggaran”.
Lalu masihkah saya, kita, dan kalian mengaku beragama Islam, Nasrani, Hindu dan Buddha? Jika sadar saja akan pentingnya merawat lingkungan tidak saya, kita, dan kalian miliki. Selanjutnya apa yang akan saya, kita, dan kalian berikan kepada anak cucu kelak, jika bumi ini telah saya, kita, dan kalian rusak secara perlahan dan tanpa disadari.
*Artikel ini adalah hasil kolaborasi IBTimesID dan GreenFaith Indonesia. GreenFaith adalah organisasi internasional yang melibatkan pemuka agama, aktivis lingkungan dan komunitas masyarakat akar-rumput. GreenFaith saat ini telah tersebar di berbagai negara, baik di benua Amerika, Afrika, Eropa, UK, Asia dan Oseania. Melalui para aktivis dan pegiatnya yang berasal dari beragam latar belakang agama, budaya, etnis dan ideologi, GreenFaith berikhtiar memperjuangkan keadilan iklim dan transisi energi yang berkeadilan.
Editor: Yahya FR