Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi adalah pemacu prestasi manusia dalam memahami dunianya secara rasional setelah kebekuan pemikiran abad pertengahan.
Manusia mulai memperhatikan segala hal yang konkret berupa alam semesta, masyarakat, dan sejarah. Implikasi dari hal tersebut membuat manusia menjadi lebih bebas merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya. Selain itu, globalisasi berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, ideologi, dan intelektual.
Dalam konteks ekonomi, globalisasi dimaknai dengan meluasnya ekonomi pasar bebas atau kapitalisme yang sekaligus merekonstruksi budaya masyarakat dunia, termasuk cara pandang manusia modern terhadap eksistensi beragama.
***
Salah satu prestasi terbesar dari pengaruh globalisasi adalah penghargaan terhadap akal yang menghasilkan keyakinan bahwa segala sesuatu patut dipertanyakan, termasuk agama. Hal tersebut mengakibatkan segala kebenaran yang dihasilkan filsafat, ilmu yang mengedepankan logika dalam proses pencarian kebenaran, ditolak mentah-mentah oleh otoritas gereja karena dianggap menghancurkan keyakinan manusia dalam beragama. Konsekuensi atas pemisahan agama dan filsafat tersebut mengundang reaksi para pemikir abad pencerahan sebagai suatu kritik terhadap agama.
Ludwig Feuerbach seorang pemikir yang mendorong lahirnya materialisme di Jerman menjelaskan bahwa orang tidak perlu lari dari kenyataan hidup dan mengharapkan kebahagiaan yang akan datang di akhirat kelak. Kebahagiaan bukan pula sesuatu yang mengawang-awang di dunia ide, melainkan sesuatu yang dapat dirasakan dan dinikmati.
Senada dengan Ludwig, Karl Marx menyebutkan bahwa agama adalah sebuah ilusi. Bahkan lebih buruk lagi, agama mengandung konsekuensi kejahatan, yaitu sebagai alat penindas (Plas,1996:138). Kritik Marx terhadap ekonomi politik yang termaktub dalam Das Kapital sebagai upaya penghapusan penindasan manusia atas manusia lain karena pembagian kelas-kelas sosial mengilhami para pengikutnya, marxis, meyakini bahwa jika sebelumnya agama menyediakan sejumlah alasan untuk menindas, maka saat ini agama menyediakan sejumlah alasan untuk melawan.
***
Kritik yang berdasar atas kebenaran filsafat Ludwig dan Marx juga diafirmasi oleh sesorang pemikir yang familiar dengan mitologi klasiknya, Friederich Nietzsche. Ia berpendapat bahwa sepanjang kaum agamawan masih merupakan suatu kelas tersendiri, yang lebih ‘suci’ dari kebanyakan orang, maka tidak ada kebenaran yang dapat dipercaya.
Dalam karyanya Also Sprach Zarathustra, ia menyebutkan pula bahwa Tuhan telah mati, manusia dengan pengetahuannyalah yang telah membunuh Tuhannya itu. Sumbangsih Ludwig, Marx, Nietzsche, dan para pemikir lain telah berhasil memutus kelanggengan kekuasaan gereja yang mengatasnamakan Tuhan dan keimanan.
Sebagaimana penulis sampaikan di muka, salah satu tanda kehidupan manusia di era globalisasi adalah penghargaan terhadap akal atau memisahkan diri dari segala hal yang bersifat irasional. Menurut Weber, hal tersebut bermuara pula pada terbentuknya sistem ekonomi kapitalis dan negara modern, dimana keterkaitan keduanya terlihat dalam kerangka kerja timbal balik.
***
Menguatnya kapitalisme ditentukan oleh seberapa kuat perangkat mekanisme administratif dalam birokrasi yang tersentralisasi, dan negara lah satu-satunya pemilik birokrasi tersentralisasi tersebut, sehingga keduanya sangat memengaruhi dan membutuhkan.
Nilai-nilai dasar kapitalisme seperti maksimalisasi keuntungan, depersonalisasi hubungan sosial, serta pemenuhan kepuasan individu sebenarnya adalah bentuk rekayasa teoritis para pemilik modal untuk menciptakan ketergantungan secara halus dan evolutif atas nama rasionalitas modern, sehingga dapat diterima oleh masyarakat dunia.
Padahal, realitas menunjukkan sama sekali tidak ada pemenuhan atas kepuasan individu, karena ketika suatu kebutuhan telah terpenuhi, maka hal tersebut merupakan permulaan bagi kebutuhan berikutnya. Dengan kata lain, pasar telah disengaja menciptakan perilaku konsumtif terus-menerus hingga melampaui batas kebutuhan material yang mengakibatkan komoditi immaterial seperti kepuasan, kenyamanan, dan gaya hidup lebih berharga.
Akibatnya, pemenuhan kebutuhan material tersebut lebih menarik kehidupan manusia modern daripada pemenuhan atas hak batiniah seperti keyakinan beragama yang pada titik tertentu dianggap sebagai pemutus proses pencarian kebenaran karena keterbatasan akal.
***
Ketidakberdayaan institusi agama diikuti dengan hausnya masyarakat modern dalam memenuhi kebutuhan materialnya mengakibatkan bebasnya manusia dalam mengambil segala keputusan dalam hidupnya. Lalu, pada saat agama tidak lagi menjadi referensi sistem nilai, lalu apa yang menjadi pegangan individu?.
Pertanyaan tersebut oleh Fachrizal terjawab dengan pernyataan bahwa bisa jadi individu memang tidak memerlukan lagi sejenis payung yang menaungi kehidupannya, karena masing-masing telah merasa teduh dengan dunianya. Sebagaimana dijelaskan (Pradoyo, 1993:19) bahwa agama telah tereduksi ke dalam wilayah-wilayah kehidupan modern yang serba praktis atau lebih dikenal dengan sekularisasi agama.
Bentuk lain dari kebebasan pengambilan keputusan oleh individu di dalam kehidupan modern adalah penguatan agama dalam wilayah privat (privat sphere). Privatisasi agama dimaknai sebagai ekspresi kemerdekaan atas penghayatan individu. Artinya, pemakluman-pemakluman terhadap keputusan individu dalam beragama menjadi suatu konsep toleransi yang dijunjung tinggi dalam kehidupan modern, dengan syarat tidak mengganggu kepentingan publik.
Kebebasan beragama dalam hal ini juga dimaknai dengan percaya terhadap Tuhan tidak harus menjadi jemaat yang taat. Sederhananya, keyakinan seseorang terhadap agamanya tidak dapat diukur dari seberapa sering ia berada di gereja atau masjid. Pemakluman-pemakluman manusia modern juga berlaku dalam hal menurunnya minat gotong royong, karena menurut masyarakat kapitalistik, hal tersebut tidak sejalan dengan nilai untung-rugi. Dengan demikian, jelaslah bahwa privatisasi agama tidak lain merupakan bentuk manipulasi pasar yang menggunakan agama sebagai media akumulasi kapital.
***
Dari uraian di atas, setidaknya kita ketahui bagaimana kapitalisme memengaruhi eksistensi manusia dalam beragama. Meski demikian, hal tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap berbagai persoalan kehidupan modern yang dinamis. Sebenarnya, modernitas juga dapat menumbuhkan semangat dalam menciptakan gerakan-gerakan keagamaan yang menjunjung nilai pluralitas.
Agama harus melepaskan diri dari cengkeraman institusi atau lembaga keimanan tertentu dan membebaskan kepada setiap pemeluknya untuk menggunakan analisis kritisnya sebagai proses pencarian kebenaran sebagaimana karakter kehidupan kapitalistik, serta bukan hanya membatasi individu untuk melayani sebagian umat, melainkan menjadi penerang jalan seluruh umat manusia.
Bagi penulis, Fachrizal A. Halim berhasil memaparkan dengan gamblang bagaimana pengaruh globalisasi yang ditandai dengan mapannya sistem ekonomi kapital dengan eksistensi manusia dalam beragama. Teori yang diaplikasikan dengan pendeskripsian contoh dikemas menggunakan bahasa yang sederhana membuat pembaca mendapatkan pemahaman yang apik pada setiap pokok pembahasan.
Fachrizal bukan hanya membuat melek pembaca dengan menyuguhkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat globalisasi, melainkan satu paket dengan penyelesaian dan kiat-kiat beragama di luar cengkeraman kapitalisme. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme ini sebagai referensi bagi siapa saja yang hendak menelisik sejarah, terutama terkait eksistensi manusia dalam beragama di tengah kehidupan kapitalistik.
Biodata Buku
Judul Buku: Beragama dalam Belenggu Kapitalisme
Penulis: Fachrizal A. Halim
Penerbit: Indonesia Tera
Penyunting: Khotimatul Husna
Tebal Buku:152 halaman
Editor: Soleh
semangattttt terus dalam berkarya
Ditunggu review buku nya zarathustra mas ganteng 🙂 🙂 semangatt !!