Saya tidak punya kenangan yang cukup dekat dengan Buya Syafii Maarif. Saya sendiri bukan siapa-siapa di Persyarikatan Muhammadiyah, karena hingga saat ini saya hanya seorang pengurus ranting biasa. Saya juga tidak mengenal beliau secara dekat.
Saya hanya rutin membaca dan membeli tulisan-tulisan beliau, baik di Republika, Suara Muhammadiyah maupun yang sering dibagikan oleh kawan-kawan di media sosial.
Tulisan-tulisan Buya memang berkarakter dan sangat mencerahkan, terutama bagi saya yang sedang belajar.
Namun demikian, saya pernah bertemu langsung dan menyaksikan kesederhanaan dan kebersahajaan beliau di satu fenomena lain yang sama sekali berbeda: yaitu ketika mendengarkan ceramah Buya di bulan Ramadhan.
Setiap tahun, Buya Syafii Maarif selalu mengisi di Masjid Syuhada, satu masjid terkenal yang berada di pinggir Kali Code di Yogyakarta. Saya waktu itu masih bersekolah Sarjana di FISIPOL UGM, dan di masa itu Masjid Syuhada adalah masjid favorit saya di Yogyakarta, selain Masjid Jenderal Sudirman di Komplek Colombo, sekitaran Gejayan, dan Masjid Gede di Kauman.
Suatu ketika, saya datang ke masjid Syuhada ketika azan isya. Selepas azan, seperti biasa saya shalat tahiyatul masjid, dan samar-samar di depan saya ada seorang bapak-bapak tua berbaju batik, berpeci hitam, dan bercelana panjang lusuh duduk, sudah datang lebih awal. Beliau duduk di shaf kedua.
Entah mengapa, saya merasa agak familiar dengan penampilan beliau. Betapa kagetnya ketika kemudian beliau berpaling ke belakang, ternyata bapak tersebut adalah Buy Syafii Maarif! Oleh pengurus masjid, beliau diminta maju ke depan, namun menolak. Beliau kemudian maju ketika shalat isya sudah mau berlangsung, dan kemudian mengisi ceramah dengan gaya beliau yang khas: tenang dan meneduhkan, tanpa kehilangan ketajaman berpikir dan daya kritis.
***
Di sinilah saya bertemu pertama kali dengan kesederhanaan Buya Syafii Maarif yang sudah tersohor di kalangan teman-teman saya waktu itu.
Hal yang demikian tidak terjadi hanya sekali. Tahun depan, hal yang sama terjadi lagi juga di Masjid Syuhada. Kali ini, Buya agak terlambat dan sampai beberapa saat setelah azan isya berkumandang. Segera beliau shalat Tahyatul Masjid, dan duduk di barisan tengah sebagaimana jamaah lainnya.
Tentu saja jamaah masjid semua kaget karena di tengah mereka ada Buya Syafii, yang penampilannya tidak jauh berbeda dengan kita semua. Lagi-lagi, panitia meminta beliau maju ke depan. Beliau juga menolak, dan malah shalat isya bersama jamaah di barisan tengah, lalu maju ketika giliran ceramah
Buya berceramah tentang Surah Al-Baqarah: 177, dan memberikan penjelasan dari ayat itu dengan cara pandang beliau yang –dalam banyak hal—mungkin tidak akan disetujui kawan-kawan yang berpikir dengan cara pandang yang konservatif.
Buya menjelaskan bahwa di ayat tersebut Allah tidak membedakan Barat dan Timur sebagai sumber peradaban. Dengan berpegang pada ayat, beliau melihat bahwa kebajikan tidak ditentukan pada dari mana sebuah ajaran berasal, namun bagaimana ajaran tersebut dijalankan.
Di sini, Buya mendorong kita untuk belajar dari manapun –entah dari Barat dan Timur—selama apa yang kita pelajari adalah bagian dari kebajikan. Tapi apa nilai-nilai kebajikan itu?
Buya kemudian menyitir bagian lanjutan dari QS Al-Baqarah: 177 yang panjang itu, dan menunjukkan bahwa ada banyak nilai kebajikan yang dalam banyak hal melampaui barat dan Timur. Nilai-nilai kebaikan di QS Al-Baqarah: 177 itulah yang menunjukkan identitas dan nilai kita sebagai seorang Muslim.
Saya ingat ini adalah sesi yang meriah karena tidak hanya ada ceramah, tapi juga tanya jawab. Saya yang waktu itu masih mahasiswa sarjana mengangkat tangan, bertanya dan terkesima dengan cara beliau menjawab yang santun dan tenang.
Perjumpaan Singkat dengan Buya Syafii Maarif yang Membekas
Perjumpaan saya dengan Buya di bulan Ramadhan itu singkat, namun banyak membekas bagi pribadi dan perjalanan intelektual saya. Belakangan, saya baru memahami apa yang Buya sampaikan tersebut ketika berkesempatan kuliah di Inggris dan Australia: ada banyak nilai positif yang bisa dipelajari dari manapun, dan banyak juga nilai negatif yang kita pelajari untuk dihindari dari Barat dan Timur.
Sejak saat itu, saya mengagumi Buya sebagai seorang figur yang saya pandang ulama. Bukan karena pemikiran beliau –dalam banyak hal, ada beberapa pemikiran yang tidak saya sepakati, bahkan hingga saat ini—tapi justru karena keteladanan beliau. Buya mengajarkan kesederhanaan tidak dengan ceramah, namun dengan perbuatan, bahkan melalui hal-hal yang sangat kecil sekalipun.
Selepas Ramadhan itu, saya tidak banyak berinteraksi dengan Buya. Saya tentu masih membaca tulisan beliau, dan kadang juga bertemu dengan murid-murid beliau yang banyak menggiatkan Maarif Institute di Jakarta. Saya juga berkesempatan menulis di beberapa edisi Jurnal Maarif, kadang juga di satu edisi yang sama dengan Buya. Tapi saya tidak pernah bertemu dengan beliau hingga sekarang.
Hari ini, Buya berpulang kembali ke hadirat Allah, mewariskan nilai dan keteladanan. Indonesia berduka karena kehilangan putra terbaiknya. Semoga amal, ibadah, dan kebaikan Buya bagi kita semua diterima Allah, dan terutama semoga ilmu dan keteladan beliau terus bermanfaat bagi kita semua.
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Editor: Yahya FR