Latar Belakang Pemikiran Soroush
Tuhan | Pemikiran Abdul Karim Soroush dilatarbelakangi oleh bergejolaknya evolusi Iran 1979 akibat kekejaman rezim Shah. Pasca revolusi tersebut Iran menjadi inspirasi bagi umat Islam lainnya terkhusus golongan menengah ke bawah yang tertindas oleh pemerintah yang mengatasnamakan agama sebagai justifikasi.
Kejadian ini membuat dogma agama menjadi penting untuk dikaji ulang sebagai media kritik dan konstruksi untuk melakukan perubahan dengan jalur agama. Fenomena pengaplikasian agama menjadi aturan negara mendapat pandangan negatif setelah meletusnya revolusi Iran.
Anggapan negatif ini bermula dari kenyataan manusia yang berpotensi mengklaim otoritas Tuhan melalui interpretasi ajaran agama seperti pemerintahan Shah di Iran yang dipandang otoriter sebab mengakui fatwa keagamaan sebagai sesuatu yang otoritatif serta mengabaikan problem yang berkembang di masyarakat.
Problem ini disebabkan kuatnya pendapat-pendapat aliran fikih yang mendominasi dalam kebijakan pemerintahan. Dan di saat yang sama pula fikih menjadi sangat formal dn kaku sehingga dianggap sebagai dogma agama itu sendiri, bukan sebagai hasil ijtihad dan penafsiran para ulama.
Asumsi tersebut menguatkan dominasi dan identitas kealiman seseorang sehingga mengaburkan makna agama dan otoritas Tuhan yang diakibatkan adanya sakralisasi fikih dalam pemahaman yang terdapat di dalam aturan negara.
Konsekuensi dari sakralisasi fikih yang mengaburkan makna agama dan otoritas Tuhan tersebut dimanfaatkan pemerintahan Shah untuk kepentingan politik. Sehingga berdampak pada minimnya etika dan hak asasi manusia dalam perundang-undangan Iran (Lihat: Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy In Islam (New york: Oxford University Press, 2000), hal. 31.).
Menurut Soroush problem utamanya adalah adanya dominasi interpretasi agama yang dikonstruksi dalam bidang otoriter sehingga kebanyakan orang tidak bisa membedakan antara interpretasi agama dan sumber Agama karena pemahaman tersebut sekan-akan menjadi agama itu sendiri.
Antara Agama dan Pemahaman Agama
Soroush menggunakan pendekatan hermeunetika kebebasan untuk menginterpretasikan ajaran agama dan pengetahuan agama, karena kebebasan merupakan dasar untuk menemukan kebenran. Orang-orang yang takut akan kebebasan berarti ia memiliki ide yang lemah, sedangkan orang yang cinta kebenaran akan mencintai kebebasan (Lihat: Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom and Democracy In Islam (New york: Oxford University Press, 2000), hal. 91-93.).
Menurut Soroush perlu adanya pembeda antara agama yang bersifat transendental dan pemahaman seseorang terhadap agama. Wahyu memiliki kebenaran mutlak, namun pemahaman setiap individu tidak sama dan memiliki kemungkinan untuk salah.
Hal ini bisa dianalogikan dari cerita dari Jalaluddin Rumi tentang gajah dan orang buta, dimana masing-masing orang buta tersebut menyampaikan deskripsi gajah secara berbeda-beda sesuai bagian tubuh gajah yang mereka raba dan rasakan. Untuk membedakan antara agama dan pemahaman agama Abdul Karim Soroush mengajukan beberapa kerangka berpikir, yaitu:
Pertama, Expansion and Contraction Theory atau penyusutan dan pemahaman agama yang dimaksud Soroush adalah penjelasan tentang adanya fase dimana pemahaman seseorang terhadap agama itu berkembang (Expansion) dan masa dimana pemahaman seseorang terhadap agama itu mengalami penyusutan (contraction).
Kedua hal tersebut bisa saja terjadi akibat adanya perbedaan kacamata dalam memandang agama. Perluasan tersebut bukan berarti bahwa pemahaman manusia menggantikan Agama, begitu juga penyempitan yang bukan berarti agama memiliki peran kedua dibalik ilmu pengetahuan.
Kedua, Basthu al-Tajribah an-Nabawiyyah yang merupakan perilaku seseorang yang membuatnya layak menjadi nabi. Bahsa sederhananya adalah para nabi memiliki cara masing-masing untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dimana cara-cara tersebut merupakan sifat Nabi yang telah melekat pada diri seorang Nabi.
Dengan demikian dapat dikatakan sifat-sifat yang telah melekat pada Nabi tidak lahir dari titik nol, melainkan ada kasualitas (sebab) yang melatarbelakanginya lewat bimbingan dari Tuhan yang mengangkat Muhammad SAW menjadi seorang Nabi.
***
Ketiga, al-Dzatiy wa al-Aradliy fi al-Adyan atau jika diartikan adalah sesuatu yang orisinl (al-Dzatiy) dan yang dihadirkan (al-Aradliy) di dalam agama. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan dan bekerja layaknya simbiosis mutualisme.
Wilayah yang pertama membaca agama sebagai ajaran murni yang harus dipatuhi dan transendental sehingga seorang tidak bisa mengkritik pada wilayah ini, seperti meyakini bahwa tidak ada sekutu bagi Alloh dan perkara ushul (pokok agama) lainya.
Sedangkan wilayah yang kedua agama harus dipahami sebagai realitas sosial, yaitu agama dipahami secara historis dan interpretatif. Karena dalam wilayah ini agama menjadi sesuatu yang bersifat temporan dan relatif.
Keempat, al-Din fii Had al-Adna ila Had al-A’la, yaitu pemahaman agama dari sesuatu yang terbatas menuju sesuatu yang tak terbatas, dari asalnya yang fisik menuju yang metafisik. Jadi agama tidak hanya sekedar mengkaji perkara yang kongkrit namun juga mengkaji perkara yang bersifat spiritual.
Konsep ini juga berlaku dalam menentukan hukum Islam, karena hukum tidak semuanya dapat dilogikakan, namun didalamnya ada unsur spiritual yang hanya dapat dirasakan oleh Dazuq (rasa) seseorang yang menyelamatkannya dari kekeringan jiwa yang melandanya sehingga hukum tidak tersa kering, dan kaku namun memuat nilai-nilai yang luhur dan menenangkan jiwa.
Editor: Yahya FR