Feature

Ketika Moh. Natsir Menolak Undangan Dubes Arab Saudi

3 Mins read

Pejuang NKRI

Pada bulan April, terdapat satu tanggal penting, yaitu tanggal 3 April. Tanggal 3 April menandai sebuah usaha menyatukan wilayah Republik Indonesia (RI) yang saat itu berbentuk Serikat (Federal). Usaha itu tidak lepas dari usaha Moh. Natsir dengan Mosi Integralnya.

Muhammad Natsir adalah sosok penting dalam sejarah RI. Karirnya dimulai sebagai penulis pidato Presiden Soekarno di awal kemerdekaan setelah sebelumnya sempat menjadi lawan polemik Soekarno di majalah Panji Islam tahun 1930-an. Ia kemudian menjadi Menteri Penerangan, dan akhirnya Perdana Menteri. Ia juga menjadi Ketua Umum Partai Masyumi.

Tahun 1949, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 23 Agustus – 2 November 1949, dibentuklah Negara Indonesia Serikat (RIS). Indonesia menjadi negara federal dan Negara RI bagian dari RIS, berkedudukan di Yogyakarta dengan Presiden Mr. Asaat. Negara RIS juga membuat UUD baru dengan Pancasila versi baru yang bertahan setahun.

Sosok Moh. Natsir menolak hasil itu dengan beberapa tokoh lain karena RIS tidak mewakili kesatuan negara dan karena Papua tidak masuk wilayah Indonesia. Ia juga menolak jabatan Menteri Penerangan, yang pernah ia jabat sebelumnya, dan memilih berjuang lewat Parlemen.

Rupanya Moh. Hatta, selaku Perdana Menteri, pun tidak setuju dengan RIS. Ia menugaskan Natsir dan Hamengkubuwana IX untuk melakukan lobi-lobi ke berbagai daerah. Mereka juga melobi para pemimpin fraksi Partai Kristen dan Partai Katholik yang menyambut baik gagasan tersebut.

Alhasil, Natsir menyampaikan mosi resmi ke Parlemen tanggal 3 April 1950. Beliau berpidato dengan hati-hati karena ada utusan-utusan Belanda. Mosi tersebut disebut mosi integral, yang diterima oleh Pemerintah maupun Parlemen.

Sejak itu, Negara Indonesia kembali menjadi negara kesatuan sehingga disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang sebelumnya dalam UUD 1945 hanya disebut Negara Republik Indonesia (NRI).

Baca Juga  Diskusi Ushul Fikih dengan Mahasiswa Ateis

Ia pun ditunjuk sebagai Perdana Menteri atas jasanya itu. Ia juga mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional tanggal 10 November 2008.

Menolak Undangan Dubes Saudi

Meski sudah malang melintang di dunia kepemerintahan hingga menjadi Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri), ia tetap sederhana dan mengutamakan kepentingan yang lebih jelas.

Berikut adalah persaksian alm Bp. Moh. Sulthon, veteran komandan Hizbullah Wilayah Karesidenan Besuki, yang di hari tuanya tinggal Jember.

Hizbullah adalah organ Masyumi yang dibentuk ulang 7-8 November 1945, di Yogya yang dihadiri Paku Alam, sebagai kelanjutan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Masyumi dibentuk sebagai konfederasi Ormas Islam, NU, Muhammadiyah, PSII, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, al-Irsyad dll.

Pembentukan ulang Masyumi diikuti pula pembentukan ulang Hizbullah (paramiliter kaum muda) dan Sabilillah (paramiliter untuk usia yang lebih tua).

Pimpinan Pusat maupun daerah Hizbullah berasal dari berbagai Ormas Islam. Moh. Natsir juga duduk dalam kepemimpinan Hizbullah yang dikomandani Kiai Zaenal Arifin. Dua hari pasca pembentukan Hizbullah dan Sabilillah, pecahlah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Pak Sulthon, selaku pimpinan Masyumi di Daerah sekaligus komandan Hizbullah, pernah berkunjung ke rumah Pak Natsir. Kisah ini penulis dengar dari Pak Sulthon saat penulis berkunjung ke rumahnya sekitar awal tahun 1996.

Saat Pak Sulthon tiba di rumah Pak Natsir, penjaga rumah menyampaikan bahwa Pak Natsir sedang istirahat sehingga tidak bisa diganggu. Ternyata, Pak Natsir mendengar perbincangan di depan rumah itu. Ia pun keluar dan menegur penjaga karena yang datang orang daerah. Akhirnya, Pak Sulthon pun diterima.

Tak berselang lama, staffnya menyampaikan telpon dari Kedubes Saudi yang mengundang beliau untuk makan malam. Pemerintah Saudi Arabia sangat menghormati Natsir sebagai pemimpin umat Islam sehingga rekomendasinya untuk Pemerintah Saudi hampir pasti dikabulkan.

Baca Juga  Jadi Mahasiswa Kristen di Kampus Muhammadiyah: Penuh Toleransi, Tak Ada Diskriminasi

Namun ia menyampaikan kepada staffnya agar undangan itu ditolak. Ia sedang menerima tamu penting, yaitu tamu Daerah yang sedang berkunjung. Ia memandang undangan untuk makan-makan dari kedutaan Arab Saudi itu tidak terlalu penting.

Pendengar yang Baik

Pak Natsir sangat dicintai para rekan dan bawahannya. Saat menjadi Perdana Menteri, para bawahannya berinisiatif untuk membelikan pakaian bagi Natsir karena pakaiannya tidak banyak berganti.

Ia adalah sosok pendengar yang baik bagi orang lain. Di kemudian hari saat membina masjid Al-Azhar, ia mempersilakan yang muda-muda untuk berceramah dan dirinya memilih untuk menjadi pendengar. Sebaliknya, saat berbicara, beliau berbicara sepenuh hati sehingga orang merasakan empatinya yang dalam.

Sikap empati yang dimiliki Natsir itu juga dirasakan oleh teman seperjuangannya, Moh. Roem. Roem adalah salah satu juru runding terbaik yang dimiliki oleh Indonesia, yang ikut dalam perundingan Linggarjati (1946), perundingan Renville (1948) dan memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Roijen (7 Mei 1949).

Dalam bukunya Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3, Roem mengisahkan:

“Begitu ia (Natsir, pen) berhenti (dari Perdana Menteri, pen) segera ia kembali di rumahnya Jalan Jawa No. 28. Waktu ia tinggal di rumah itu, saya pernah mengatakan bahwa rumah Natsir seperti rumah dokter yang menjalankan praktik. Beberapa kali saya datang sudah ada beberapa orang tunggu untuk ketemu dengan Natsir.”

Berdasarkan pergaulannya dengannya, Moh. Roem menyimpulkan mengapa Natsir dicari banyak orang:

“Ada satu sifat yang barangkali hanya Natsir yang memilikinya, setidaknya beberapa orang saja. Kalau ia mendengarkan orang mengisahkan cerita sedih atau kesulitan baikpun yang dihadapi orang dekat atau umum, maka Natsir mendengarkannya tidak saja dengan penuh perhatian, tapi Natsir merasakan penderitaannya. Barangkali itulah rahasianya, mengapa semua orang ingin bertemu dengan Natsir sendiri.”

Baca Juga  Bukan 75, NKRI Sebenarnya Berumur 70 tahun

Pengalaman demikianlah yang dialami barangkali dialami oleh Pak Sulthon. Bagi Pak Sulthon, penghormatan dari Pak Natsir itu sangat berkesan. Ada teladan baik bagi para pemimpin dan generasi muda dari sosok pejabat yang bersahaja dan mau mendengar.

Kemampuan mendengar dan berkomunikasi adalah kualitas dasar kepemimpinan. Dengan kemampuan itulah Natsir dicintai para kolega dan sahabat-sahabat partainya.

Sampai saat ini, jika orang mendengar Masyumi, maka nama Moh. Natsir yang akan teringat, meski ia bukan ketua yang pertama dan bukan pula yang terakhir.

Editor: Yahya FR

Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds