Dalam banyak referensi fikih klasik (fikih mazhab), penulis belum pernah menemukan definisi mu’amalah dunyawiyah, selain istilah mu’amalah tanpa kata dunyawiyah.
Hal tersebut menyebabkan penulis menyimpulkan bahwa fikih mazhab berbeda dengan fikih yang dirumus-kembangkan oleh Muhammadiyah. Karena istilah mu’amalah dunyawiyah hanya ditemukan dari dan dalam organisasi yang didirikan K.H. Muhammad Darwis, 18 November 1912.
Mu’amalah Dunyawiyah dalam Ilmu Fikih
Dalam disiplin ilmu fikih, istilah mu’amalah sering kali dikatamajemukkan dengan fiqh mu’amalah, atau kadang dengan ‘ibadah mu’amalah yang berarti pemikiran mendalam mengenai aturan hukum Islam terhadap perbuatan manusia yang berhubungan dengan alam semesta, atau antarsesamanya, antarlembaga, antarorganisasi atau antarlembaga berbadan hukum termasuk antarbangsa dan antarnegara.
Dengan kata lain, telaah tentang bagaimana hukum seseorang jika berinteraksi dengan masyarakat, atau antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, antara organisasi dengan organisasi lainnya, yayasan atau bahkan dengan negara sekalipun, itu semua pada dasarnya termasuk bahasan dalam ilmu fiqh mu’amalah tanpa kata duniawiyah seperti yang biasa terdengar aktivis Muhammadiyah.
Di samping dua istilah tadi (fiqh mu’amalah dan ‘ibadah mu’amalah), para fuqaha (ahli fikih) kontemporer menyebutnya juga dengan fikih sosial, yang melingkupi telaah tentang politik yang disebutnya fikih siyasah.
Telaah tentang pernikahan disebutnya dengan fikih munakahat, dan beberapa istilah yang menjadi bahasan ilmu fikih. Ketika persoalan itu terkait dan mengandung nilai-nilai ibadah, maka ‘ibadah mu’amalah tadi dapat disebut pula dengan ibadah ‘ibadah ghair mahdhah.
Sejarah mencatat, bahwa persoalan fikih sesungguhnya merupakan persoalan poilitik praktis, dalam hal ini kekuasaan. Khusus yang terkait fiqh mu’amalah terlihat berkembang, bercabang, dan atau berpisah-pisah, yaitu terjadi karena (dan pada saat) persoalan politik negara-negara Islam mengalami disintegrasi, khususnya di zaman Turki Usmani (kerajaan Ottoman 1300 – 1922), sebuah kerajaan terbesar dari 3 (tiga) besar dalam sejarah Islam (dua besar lainnya: Kerajaan Safawi di Iran 1501-1786, dan Kerajaan Mogul di India 1526-1858).
Ruang Lingkup Bahasan Fiqh Mu’amalah
Pada (dan mulai) saat inilah para fuqaha bersepakat, bahwa bahasan fiqh mu’amalah menjadi hanya berkisar pada masalah hubungan antarseseorang khususnya dalam bidang ekonomi, misalnya jual-beli, hutang-piutang, riba, syirkah, mudharabah, muzara’ah, mukhabarah, ijarah, hiwalah, dan sebagainya.
Sedangkan masalah yang lainnya seperti prihal kemanusiaan yang menyentuh interen keluarga tidak lagi menjadi bagian dari fiqh mu’amalah, melainkan masuk kategori fiqh ahwal asy-syakhsyiyyah (masalah-masalah pribadi) yang dalam konteks ini termasuk di dalamnya fiqh mawaris dan fiqh munakahat.
Kekacauan Nalar Epistemologis
Jika perkembangan fiqh mu’amalah di atas dianalisa, akan terlihat bahwa dalam masalah fiqh mu’amalah terdapat kerancuan nalar epistemologis. Peng-atau-an istilah mu’amalah dengan istilah lainnya (seperti dengan ‘ibadah mu’amalah, ‘ibadah ghair mahdhah, ibadah umum, fikih sosial, fikih siyasah, dan sebagainya) menjadi rancu dan sistematika kajiannya kurang tertib.
Apalagi jika peng-atau-an itu menghampiri hablun min annas yang cakupannya sangat luas. Bukan hanya permasalahan jual-beli, syirkah, dan ijarah, tetapi juga mencakup seluruh aktivitas manusia di luar ibadah mahdhah. Jadi, sangat penting kritik Muhammadiyah, yang mengharuskan ada tambahan penegasan menjadi mu’amalah dunyawiyah.
Kritik Muhammadiyah kepada Fiqh Mu’amalah
Jelasnya, bahwa istilah fiqh mu’amalah atau (hanya) disebut mu’amalah yang berkembang dalam dunia fikih sebagaimana tersebut di atas, oleh Muhammadiyah dinilai masih simpang-siur. Dalam arti, belum ada kepastian hukum jika dikaitkan dengan persoalan ibadah.
Walaupun dalam dunia fikih formal dikembangkan juga istilah ‘ibadah mu’amalah yang diidentikkan dengan ‘ibadah ghair mahdhah, tetapi justru dengan itulah Muhammadiyah menganggap bahwa dalam persoalan fiqh mu’amalah atau ‘ibadah mu’amalah berdampak pada terjadi kerancuan dalam memaknai kata ibadah dan memaknai kata mu’amalah.
Oleh karenanya, Muhammadiyah menempatkan permasalahan ibadah secara terpisah, atau berdiri sendiri, dan permasalahan mu’amalah pun disendirikan dengan penambahan kata dunyawiyah di belakangnya sehingga menjadi mu’amalah dunyawiyah.
Menurut Muhammadiyah, mu’amalah dunyawiyah yaitu bekerja untuk terlaksananya pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah Swt.
Pengertian ini, pada prinsipnya mengarah pada upaya pemapanan predikat manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al-ardh), supaya mampu dan dapat menjalankan 2 (dua) hal penting, yaitu: (1) pengolahan dunia, dan 2 (dua) pembinaan masyarakat.
Pengolahan dunia, dimaksudkan yaitu dunia apa saja ditempatkan sebagai sumber daya, meliputi: (1) Sumber daya tanah, (2) Sumber daya air, (3) Sumber daya udara (angin, uap, cuasam, dsb), (4) Sumber daya angkasa (planet apa saja), (5) Sumber daya hutan, nabati (tetumbuhan), dan hewan, dan (6) Sumber daya mineral.
***
Sedangkan pembinaan masyarakat, di interen Muhammadiyah, telah dikeluarkan pedoman, meliputi keharusan untuk:
(a) Selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam arti berakhlak karimah.
(b) Senantiasa berpikir secara burhani, bayani, dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang Islami yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta maslahat bagi kehidupan umat manusia, dan
(c) Memunyai etos kerja Islami, seperti: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan bekerja yaitu terlaksananya mu’amalat dunyawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah Swt.
Mu’amalah Dunyawiyah Menurut Muhammadiyah
Jadi, bagi Muhammadiyah, penetapan istilah mu’amalah dunyawiyah, sesungguhnya untuk menegaskan bahwa masalah ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum, sangat berbeda dengan persoalan mu’amalah dunyawiyah.
Kajian tentang Ibadah, dalam konteks fikih memasukkan mu’amalah sebagai bagian dari ibadah, yaitu ibadah ghair mahdhah atau ibadah mu’amalah, tetapi bagi Muhammadiyah tidaklah demikian.
Antara ibadah dan mu’amalah dunyawiyah, keduanya memunyai kedisiplinan epistemologi masing-masing. Tegasnya, bahwa dalam paham agama menurut Muhammadiyah, atau bisa juga disebut “Fikih Muhammadiyah”, menempatkan mu’amalah dunyawiyah pada posisi keempat dalam sistematika (ruang lingkup) kajiannya, yaitu setelah (1) akidah, (2) akhlak, (3) ibadah, dan (4) mu’amalah dunyawiyah. Keempat aspek inilah yang oleh Muhammadiyah dijadikan sebagai sistem ajaran Islam Berkemajuan di bumi nusantara dan jagad raya.
Editor: Yahya FR