Mencermati diskusi di media sosial, terutama di grup-grup facebook yang berafiliasi ke Muhammadiyah, jujur saja kita merasa miris. Orang Muhammadiyah—atau setidak-tidaknya secara kultural mengaku Muhammadiyah—memang masih rendah budaya literasinya. Lihat konten yang diposting redaksi IBTimes.id cuma baca judulnya saja, lalu komentar ngalor-ngidul seolah-olah sudah tahu apa isi tulisan tersebut. Lucu!
Kami Prihatin
Ada yang mengomentari artikel tentang tradisi humor yang kering di Muhammadiyah, lalu menyarankan kepada redaktur IBTimes.Id supaya baca kisah-kisah anekdotis Pak AR. Padahal, di kanal IBTimes.id ini telah tersedia ruang khusus humor ala Pak AR yang ditulis ulang secara rutin oleh redaktur. Itu artinya, orang yang komentar tadi tidak baca isi IBTimes.id. Yang parah lagi, banyak komentar garang, bahkan sambil mengancam supaya redaktur keluar dari grup FB gara-gara dianggap memposting status berupa link artikel IBTimes.id yang dinilai mentertawakan agama. Hmm…
Jujur, redaktur IBTimes.id merasa prihatin. Soal ancam-mengancam itu sebenarnya bukan tradisi di Muhammadiyah. Apalagi soal mentertawakan agama, itu jelas terlalu! Satu hal yang ingin kami sampaikan bahwa antara AGAMA (normatif) dan KEAGAMAAN (pola pikir, sikap, perilaku/praktik) itu beda!
AGAMA itu sakral, jadi bukan untuk ditertawakan. Tapi KEAGAMAAN itu nisbi, karena wilayahnya sosiologis-historis. Jika tidak bisa membedakan keduanya, pastilah anda akan kaget karena Pak AR pun mempraktikan tradisi anekdotis dalam penyampaian pengajian agama (harap dicatat baik-baik: ini wilayah sosiologis-historis lho!).
Berikut ini kisah Pak AR ketika menyampaikan pengajian tentang perlunya sikap yang tegas bagi para muballigh ataupun ulama dalam berfatwa agar jangan sekedar menuruti selera jamaah. Dengan gaya khas Pak AR yang anekdotis, insya Allah anda yang baca tuntas (bukan cuma lihat judulnya lho ya!) dijamin tertawa. Sebagaimana dikisahkan oleh Syukriyanto AR dalam buku Anekdot dan Kenangan Lepas Tentang Pak AR (2005), Pak AR menceritakan kisah seorang kiai yang ditanya tentang hukum daging “bulus” oleh jama’ah.
Kisah Daging Bulus
Dalam sebuah pengajian, seseorang bertanya kepada sang kiai, “Kiai, bagaimana hukumnya bulus itu?”
Lalu sang kiai menjawab, “Bulus itu hukumnya haram!”
“Tapi daging bulus itu enak kiai!” orang itu protes. “Kalau Kiai sudah mencoba bisa ketagihan…”
Sang kiai tampak tidak ingin penanya itu kecewa. Lalu ia berujar, “Itu tadi keterangan dari kitab merah. Coba saya cari dalam kitab hijau.”
Kemudian Kiai itu masuk ke kamar dan tidak lama kemudian ke luar lalu berkata, “Betul! Dalam kitab hijau dinyatakan bahwa, al-bulusu haramun illa lahmuha. Bulus itu haram kecuali dagingnya.”
Penanya tampak mengangguk-anggukkan kepala, tapi sejurus kemudian ia angkat tangan dan bertanya lagi, “Tapi bukan hanya dagingnya kiai, kuahnya juga enak sekali!”
“Oo, begitu… Coba saya lihat dalam kitab biru.”
Sang kiai lalu masuk ke kamar lagi untuk beberapa lama, lalu ke luar menemui jama’ah sambil menjawab, “Betul! Dalam kitab biru ada keterangan, wa ammaa duduhuha au quwahuha halalun. Adapun duduh-nya (duduhuha) atau kuwahnya (quwahuha) halal.”
Mendengar Pak AR bercerita lucu ini, kontan semua peserta pengajian ger-geran. Intinya, Pak AR menasehati agar para muballigh atau ulama jangan sampai seperti kiai yang diceritakan itu.
Editor: Nabhan