Opini

Kewarganegaraan dan Hal-hal yang Tak Kunjung Usai

2 Mins read

Hingga saat ini, Indonesia masih menghadapi persoalan kewarganegaraan. Salah satu persoalan yang mutakhir ialah pengakuan negara atas status kewarganegaraan para penghayat kepercayaan—yang selama ini keyakinannya tak diakui Negara, seperti pencantuman keyakinan di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka terpaksa memilih agama resmi negera, untuk keperluan administratif. Padahal kepercayaan para penghayat itu jauh lebih dulu ketimbang hadirnya Indonesia sebagai negara-bangsa. Status mereka sebagai penghayat kepercayaan baru disahkan negara ketika Indonesia akan memasuki usia ke-73 tahun. Itu pun kalangan penghayat membutuhkan perjuangan panjang. Sungguh sebuah ironi.

Perjuangan menuntut status atau hak kewarganegaraan di atas hanyalah satu dari deretan permasalahan kewarganegaraan Indonesia, seperti kesenjangan sosial, isu minoritas, konflik agraria, kemiskinan dan lain sebagainya. Mekanisme perjuangannya pun terfragmentasi dalam banyak bentuk. Kondisi ini mencerminkan keragaman kondisi ketakadilan yang terbentuk dalam dinamika politik.

Buku Politics of Citizenship in Indonesia, yang disunting Eric Hiariej dan Kristian Stokke, menyoroti bagaimana praktik perjuangan kewarganegaraan di Indonesia. Cara pandang kewarganegaraannya berbeda dari mainstream yang hanya melihat kewarganegaraan sebagai status legal. Mereka menandaskan bahwa konsep kewarganegaraan tidak pernah stabil dan utuh, melainkan ia berada dalam medan pertarungan makna. Makna yang diketengahkan Hiariej dan Stokke (ed.), dalam kerangka pikir Ernesto Laclau (pemikir politik kontemporer), adalah kewarganegaraan sebagai sebuah wacana yang diproduksi dan dipraktikkan melalui perjuangan politik melawan ketidakadilan (hal.12). Muatan perjuangan itu meliputi 4 dimensi kewarganegaraan, yakni membership (keanggotaan), legal-status (status-legal), right (hak) dan participation (partisipasi). Sementara praktik perjuangan kewarganegaraan terejawantahkan dalam bentuk politik rekognisi (pengakuan), politik redistribusi (pembagian) dan politik representasi (keterwakilan).

Di samping mengutarakan konsep dan dimensi kewarganegaraan, buku ini juga melacak akar historis perjuangan kewarganegaraan. Perjuangan tersebut ditempatkan dalam bingkai relasi kuasa antara negara dan masyarakat maupun kelompok dominan dan kelompok subordinat dalam suatu masyarakat (hal.55). Dengan adanya relasi kuasa ini, maka pada saat yang bersamaan telah menghadirkan gerakan-gerakan perlawanan, karena tuntutan mereka tak dapat terintegrasi dalam struktur kuasa dominan. Sebagaimana adagium yang dikumandangkan Michel Foucault, “di mana ada kekuasaan, di sana ada perlawanan.”

Baca Juga  al-Quds Day: Benarkah Propaganda Syiah?

Perjuangan itu setidaknya bermula pada awal abad 20 dalam bentuk gerakan melawan kolonialisme Belanda. Perlawanan tersebut menuntut pengakuan kultural, keadilan sosial dan keterwakilan. Atau dalam bahasa lainnya perjuangan meraih kemerdekaan. Tidak hanya menjelang kemerdekaan, perjuangan kewarganegaraan tetap berlanjut kendati Indonesia telah  merdeka. Hal ini dikarenakan kerentanan struktur hegemonik baru yang tak mampu mengintegrasikan tuntutan-tuntutan warga negara. Dari kenyataan itu dapat kita amati menyeruaknya perlawanan terhadap pemerintah, seperti Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII), PKI, PRRI-Permesta, Petisi 50, Fordem dan lainnya.

Lebih lanjut, buku yang digarap banyak penulis ini juga membentangkan sejumlah studi kasus perjuangan kewarganegaraan di Indonesia. Studi kasus tersebut menyoroti tuntutan-tuntutan gerakan, strategi dan kemampuan memobilisasi massa, serta bagaimana gerakan tersebut membentuk identitas kolektif. Kasus-kasus itu meliputi: perjuangan buruh lokal (Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Kupang), Masyarakat miskin perkotaan di Jakarta Utara, kebangkitan gerakan keadilan terkait perkebunan minyak palm (aktivis yang di Jakarta, Bogor, dan Kalimantan Barat), gerakan keadilan untuk kesejahteraan (di Kutai Kertanegara, Bojonegoro, Rembang dan Manggarai), isu anak-anak muda (pemuda muslim Cina, pemuda waria, pemuda bertato di Bali), perjuangan identitas Post-fundamentalist Islam.

Dari tinjauan historis dan sejumlah kasus yang diketengahkan buku ini, isu utamanya adalah perjuangan melawan ketidakadilan. Dan perjuangan itu merupakan bentuk artikulasi kewarganegaraan.  

Judul: Politics of Citizenship in Indonesia

Penulis: Eric Hiariej and Kristian Stokke (ed.)

Tebal Buku: viii+393 halaman

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun Terbit: 2017

ISBN: 978-602-433-507-6

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
Dosen di Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *