Oleh: KH Ahmad Azhar Basyir, MA
Muhammadiyah dalam mengamalkan Ajaran Islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasul. Al-Quran yaitu Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah Rasul adalah penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Quran yang diberikan oleh Nabi dengan menggunakan akal-fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Dasar-dasar Ajaran
Khusus mengenai dasar-dasar hukum, putusan Muktamar Tarjih tahun 1954/1955 menegaskan:
- Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Quran dan Al-Hadits.
- Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada nash sharih di dalam al-Quran atau Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash, melalui persamaan illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ulama Salaf dan Khalaf.
Putusan Muktamar Majlis Tarjih tersebut dengan jelas menunjukkan adanya dua sumber mutlak hukum Islam, yaitu al-Quran dan Hadits. Terhadap hal-hal yang tidak disebutkan di dalam kedua sumber Ajaran Islam tersebut, digunakan ijtihad untuk menemukan ketentuan hukumnya, antara lain menempuh jalan qiyas atas dasar persamaan illat hukum nash dan hukum yang dicari ketentuannya. Dengan demikian, qiyas merupakan salah satu metode jtihad.
Putusan Muktamar Tarjih tahun 1953 tentang Wakaf menetapkan kebolehan wakif menunjuk tujuan wakaf yang wajib diperhatikan, atas dasar hadits tentang wakaf Umar yang diperuntukkan bagi orang-orang fakir, kaum keluarga, untuk budak, pada jalan Allah dan ibnus-sabil, dan seterusnya. Dasar ijma’ Ahli Fiqih bahwa syarat orang yang wakaf itu setingkat dengan nash Syari’, yakni selagi tidak menyalahi Syara’.
Perkembangan Manhaj Tarjih
Pertimbangan mashlahah juga dipergunakan dalam putusan Muktamar Tarjih mengenai kebolehan menjual barang wakaf jika telah mengalami lapuk atau rusak. Yang demikian dilakukan dalam rangka untuk melestarikan tercapainya tujuan wakaf.
Saddudz-dzari’ah dipergunakan sebagai dasar putusan Muktamar Tarjih tentang larangan memasang gambar KHA Dahlan pendiri Muhammadiyah sebagai perhiasan, guna mencegah kemungkinan datangnya fitnah kemusyrikan. Setelah kekhawatiran tersebut dirasakan hilang, maka Muktamar tarjih tahun 1968 mencabut putusan tersebut. Memasang gambar KHA Dahlan sebagai hiasan dinding dibolehkan menurut Ajaran Islam.
Dasar istishhab dipergunakan juga dalam putusan Muktamar Tarjih antara lain menyangkut hukum wanita mengajar laki-laki. Karena tidak ada dalil yang melarangnya, meskipun dengan syarat keamanan, seperti memejamkan mata-hati dan tidak berkhalwat.
Masalah Bank
Sikap hati-hati dalam menetapkan suatu ketentuan hukum tercermin ketika Muktamar Tarjih tahun 1968 membahas masalah Bank. Bunga Bank negara ditetapkan termasuk hal yang musytabihat. Sebab, ditinjau dari bunga sebagai tambahan pembayaran utang sebagai imbangan jangka waktu, terasa sebagai riba yang dilarang sesuai ketentuan Ajaran Islam tentang riba (QS al-Baqarah: 279). Akan tetapi ditinjau dari manfaatnya, memang tidak dapat dielakkan. Lalu diambil ketetapan dalam kredit Bank Negara yang keuntungannya dinikmati oleh masyarakat luas, namun tidak sampai pada hukum halal, mengambil kategori musytabihat sebagai disebutkan di dalam Sunnah.
Putusan musytabihat mengenai bunga Bank Negara itu tidak berarti tanpa kelanjutan. Muktamar Majlis Tarjih juga menyarankan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. Seperti diketahui, di beberapa negara tengah dicoba sistem perbankan dengan dasar “mudharabah” atau “qiradh” yang meskipun belum mapan, dirasakan lebih sesuai dengan Syari’at Islam.
Sumber: “Mekanisme Ijtihad di Kalangan Muhammadiyah” karya KH Ahmad Azhar Basyir, MA (SM no. 19/Th ke-67/1987)
Editor: Arif