Oleh: KH Ahmad Azhar Basyir, MA
Untuk mengetahui bagaimana Muhammadiyah melakukan proses istinbath hukum, secara lebih terinci di bawah ini akan disebutkan pokok-pokok Manhaj Tarjih. Pokok-pokok Manhaj Tarjih ini sebagaimana yang telah dilakukan dalam menetapkan putusan.
Manhaj Tarjih
Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dan Sunnah shahihah (maqbulah). Ijtihad dan istinbath atas dasar illat terhadap hal-hal yang tidak disebutkan di dalam nash dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi dan memang merupakan hal yang dihajatkan dalam memenuhi keperluan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas sebagai salah satu metodenya.
Dalam menetapkan sesuatu putusan dilakukan dengan cara musyawarah. Menetapkan masalah-masalah ijtihadiyah dilakukan dengan ijtihad jama’i.Pendapat perorangan dari anggota Majelis tidak dapat dipandang sebagai pendapat Majelis. Dalam menetapkan sesuatu ketentuan hukum, Majelis Tarjih tidak mengikatkan diri kepada sesuatu madzhab, tetapi pendapat imam-imam madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Majelis Tarjih berprinsip terbuka dan toleran, tidak beranggapan bahwa hanya putusan Majelis Tarjih yang paling benar. Putusan diambil atas dasar dalil yang paling kuat ketika putusan diambil. Koreksi terhadap putusan yang telah diambil, dari siapa pun datangnya akan diterima, sepanjang dapat dikemukakan dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, sangat dimungkinkan Majelis Tarjih mengubah putusannya yang pernah diambil.
Ijtima’ Shahabat dan Ta’lilul Ahkam
Dalam menetapkan ajaran bidang akidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir. Majelis Tarjih menerima ijma’ shahabat sebagai dasar menetapkan suatu putusan. Terhadap dalil-dalil yang nampak ber-ta’arudh, digunakan cara-cara al-Jam’u wat-Taufiq,jika tidak mungkin baru dilakukan. Majelis Tarjih juga menggunakan dasar “saddudz dzarai’” guna menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
Majelis Tarjih dapat menerima penggunaan ta’lilul ahkam guna memahami dalil-dalil hukum al-Quran dan Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan Syariah. Qaidah “Al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman” dalam hal-hal tertentu dapat berlaku. Majelis Tarjih juga menggunakan dalil-dalil untuk menetapkan hukum dengan secara komprehensip, utuh dan bulat, tidak terpisah-pisah satu dari lainnya sepanjang saling berhubungan. Majelis Tarjih dapat menerima takhshish dalil-dalil umum Al-Quran dengan Hadits Ahad, kecuali dalam bidang akidah. Dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, Majelis Tarjih berpegang kepada prinsip “taysir”, menghindari “ta’sir”.
Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Quran atau Sunnah, Majelis Tarjih dapat menerima pemahamannya dengan menggunakan akal sepanjang dapat diketahui latarbelakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi situasi dan kondisi.
Dalam hal-hal yang termasuk al-umur ad-dunyawiyyah, yang tidak termasuk tugas para Nabi, Majelis Tarjih berpendapat bahwa penggunaan akal sangat diperlukan, guna tercapainya kemaslahatan hidup yang merupakan tujuan utama Syariat Islam. Untuk memahami nash yang musytarak, Majelis Tarjih dapat menerima tafsir shahabat. Dalam memahami nash tentang aqidah, Majelis Tarjih mendahulukan makna zhahir daripada takwil. Takwil shahabat dalam bidang akidah tidak harus diterima dalam Manhaj Tarjih.
Metode Ijtihad
Majelis Tarjih telah menempuh jalan ijtihad yang meliputi: 1) ijtihad bayani,yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna yang dimaksud, maupun karena suatu lafazh mengandung makna ganda (musytarak), atau karena pengertian lafazh dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih), atau pun adanya dali-dalil yang nampak mengandung ta’arudh. Dalam hal yang terakhir ditempuh jalan al-jam’ kemudian tarjih. 2) ijtihad qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang disebut di dalam nash kepada masalah baru yang belum ada hukumnya dalam nash, karena adanya persamaan illat. 3) ijtihad istishlahi,yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di dalam nash sama sekali secara khusus, maupun tidak ada nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan.
Dalam menggunakan hadits, terdapat beberapa kaidah Manhaj Tarjih yang telah menjadi putusan Majelis Tarjih sebagai berikut: 1) Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. 2) Hadits mauquf yang dihukum marfu’ dapat menjadi hujjah. 3) Hadits mursal shahabi dapat dijadikan hujjah apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya. 4) Hadits mursal tabi’i semata, tidak dapat dijadikan hujjah. 5) Hadits-hadits dhaif yang kuat-menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan Hadits shahih. 6) Dalam menilai perawi hadits, jarh didahulukan atas ta’dil.Setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan atasan Syara’. 7) Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima, jika ada petunjuk bahwa hadits itu muttashil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan. Bersambung
Sumber: “Mekanisme Ijtihad di Kalangan Muhammadiyah” karya KH Ahmad Azhar Basyir, MA (SM no. 19/Th ke-67/1987)
Editor: Arif