KH. Ihsan Jampes merupakan putera dari KH. Dahlan yang merupakan pendiri pondok pesantren Jampes, Kediri. Beliau lahir di Kediri pada tahun 1901 dan merupakan anak ke-2 dari 14 bersaudara.
Ayahnya, KH. Dahlan adalah sosok kiai terkenal. KH. Dahlan adalah pendiri Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 setelah ia mondok di pondok Mangunsari Nganjuk. Ia dibekali 12 santri untuk menjadi anak asuhnya di pondok yang didirikan di desa Putih kecamatan Gampengrejo Kediri tersebut.
Mulanya pondok ini disebut dengan “Jaten”, karena terdapat banyak pohon jati di tempat tersebut. Sedang Jampes sendiri merujuk nama pondok yang didirikan sekitar 500 meter sebelah selatan pondok Jaten.
Namun, karena pengasuh pondok Jampes (lama) wafat sewaktu menunaikan ibadah haji, di lain sisi juga terjadi sengketa tanah, maka diberikanlah bangunan pondok ini kepada KH. Dahlan. Kemudian nama “Jampes” digunakan untuk menyebutkan pondok Jaten yang didirikan KH. Dahlan tersebut.
Nasab KH. Ihsan Jampes
Kakek KH. Ihsan (ayah KH. Dahlan) adalah seorang kiai dari Bogor yang bernama Kiai Saleh. Kiai saleh masih memiliki trah dari Sultan di Kuningan yang berujung pada Sunan Gunungjati.
KH. Busrol Karim dalam buku Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri [2012] menyebutkan bahwa Kiai Saleh sewaktu muda berkelana mencari ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Sampai pada akhirnya ia bertemu gadis yang dinikahinya bernama Isti’anah, putri KH. Mesir, Durenan Trenggalek.
Adapun KH. Mesir merupakan putra kedua dari Kiai Yahuda. Kiai Yahuda sendiri merupakan salah seorang ulama dari Ds. Nogosari Lorog Pacitan, yang masih memiliki trah dari Panembahan Senopati.
Dari jalur ibu, Isti’anah adalah cicit dari KH. Hasan Besari, seorang tokoh agama di daerah Tegalsari Ponorogo, yang masih memiliki trah dari Sunan Ampel Surabaya.
Setelah menikah, Kiai Saleh dan Ny. Isti’anah tinggal di Ds. Ngadi Kec. Mojo Kab. Kediri, sebuah desa yang berjarak sekitar 18 km dari tempat tinggal KH. Mesir. Ketika Kiai Saleh wafat pada usia 33 tahun, Ny. Isti’anah memilih mencari tempat tinggal lain, karena faktor keamanan. Akhirnya menemukan tempat di pinggiran sungai Brantas, tepatnya di Ds. Putih Kec. Gampengrejo Kab. Kediri.
Sementara itu, ibu KH. Ihsan, Ny. Artimah merupakan putri dari salah seorang ulama di desa Banjarmelati Kediri, yaitu Kiai Sholeh. Kiai Sholeh masih memiliki garis keturunan dari Syekh Abdul Mursyad, seroang ulama di Kediri yang makamnya di desa Bakalan Kediri.
Pengembaraan Intelektual yang Rendah Hati
Sebelumnya, Bakri—nama kecil KH. Ihsan—menerima pendidikan agama melalui keluarganya. Kemudian memulai pengembaraan intelektualnya dari pesantren ke pesantren yang dimulai dari pesantren milik pamannya, KH. Khozin, di Bendo Pare Kediri.
Arif Zamhari dalam tulisannya di The Encyclopedia of Islam – Three [2019] menyebutkan bahwa Bakri [KH. Ihsan] mengenyam pendidikan di beberapa pondok pesantren, seperti Kyai Maksum dari Pesantren Punduh, Magelang, Jawa Tengah; Kyai Kholil dari Bangkalan, Madura.
Selain itu ia juga sempat belajar di pondok pesantren KH. Ahmad Dahlan Semarang (menantu KH. Sholeh Darat) untuk belajar ilmu falak dan pondok pesantren Gondanglegi Nganjuk untuk belajar ilmu arrudl (syi’ir).
Dalam pengembaraan intelektualnya, Bakri tidak pernah mengenalkan diri sebagai putera kiai atau identitas ayahnya yang namanya sudah dikenal di kalangan pesantren. Karena ia tidak ingin ada previlege yang diberikan kepadanya dan ingin layaknya santri sebagaimana teman-temannya.
Hal itu yang menjadikan Bakri jarang menetap untuk waktu yang lama dalam sebuah pesantren. Ia kerap meninggalkan pesantren yang ia singgahi ketika identitasnya diketahui oleh banyak orang. Seperti di pondok Jamsaren Solo atau pesantren Punduh Magelang. Maka wajar jika pesantren yang ia singgahi banyak.
Karya-Karya KH. Ihsan Jampes
Pada tahun 1926, Bakri menunaikan ibadah haji yang kemudian mendapat nama sebagai KH. Ihsan. Betapa pun ia pernah ke Mekah, tapi KH. Ihsan tidak singgah untuk belajar di sana, sebagaimana ulama di Jawa dan Melayu pada umumnya [Jajat Burhanudin, 2010].
Semasa hidupnya, KH. Ihsan telah menulis beberapa kitab yang membahas persoalan-persoalan agama. Kitab yang pertama yaitu Tasrih al-`Ibarat. Kitab setebal 48 halaman ini membahas terkait ilmu falaq yang merupakan penjabaran (syarah) dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang.
Kemudian KH. Ihsan juga menulis kitab tasawuf berjudul Siraj al-Thalibin. Kitab ini merupakan penjabaran atas kitab Minhaj al-Abidin karya al-Ghazali. Kitab ini merupakan magnum opus KH. Ihsan yang membawa namanya mendunia karena kitab ini juga dikaji di luar negeri.
Bahkan, pada tahun 1934 Raja Faruq dari Mesir meminta KH. Ihsan untuk mengajar di Universitas Al Azhar. Namun, tawaran itu ditolak karena KH. Ihsan memilih mengabdi pada masyarakat di negeri asalnya dengan mengajar di pesantren.
Kemudian kitab ketiga yang ditulis oleh KH. Ihsan yaitu berjudul Manahij al-Imdad yang merupakan penjabaran atas kitab Irsyad al-Ibad karya Syeikh Zainudin al-Malibari. Kitab ini menguraikan tentang persoalan-persoalan meliputi tauhid, syari’ah dan tasawuf.
Kemudian kitab keempat yang ditulis KH. Ihsan yaitu Irsyad Al Ikhwan fi Syurbi Al Qahwati wa Al Dukhan dengan jumlah 48 halaman. Kitab ini menguraikan hukum dari meminum kopi dan merokok dari sudut pandang Islam.
Editor: Yahya F