Hasil Musyawarah Angkatan Muda yang digelar jelang kongres ke-26 (1937) kemudian diteruskan dan tersusunlah Pengurus Besar bayangan sebagai berikut: KH Mas Mansur, H Ahmad Badawi, H Mh Farid Ma’ruf, H Abdullah, H Basiran, H Abdulhamid Bkn, H Hasyim, H Moehadi, dan RH Doeri.
Sidang Tanwir
Tahap ketiga ialah membawa susunan tersebut ke dalam sidang Tanwir, yakni sidang para Konsul dan Pengurus Besar. Sementara itu, Sutan Mansur, Moeljadi Djojomartono, dan Tjitrosoewarno telah labih dahulu menghubungi dan memberikan penjelasan kepada para Konsul yang dapat ditemui.
Dalam Tanwir itu, dengan sedikit susah payah, susunan dapat diterima. Dengan demikian hasil pemilihan dari ranting-ranting terpaksa dibekukan. Susunan Pengurus Besar yang tadinya masih merupakan bayangan karena disusunan di luar sidang yang sah, kini mendapat landasan hukum, yaitu sebagai keputusan Tanwir yang akan diusulkan kepada Muktamar.
Sidang Tanwir menggariskan keputusan itu setelah memperdebatkan dan mempertimbangkan dari segala segi. Jadi, tidak sekedar meluluskan kehendak angkatan muda saja. Apalagi melihat bahwa sebagian besar mereka yang didudukan dalam susunan itu adalah mereka yang telah duduk juga dalam Pengurus Besar sejak pimpinan H Ibrahim. Jadi, mereka telah membuktikan dirinya sebagai anggota Pengurus Besar yang telah 14 tahun berpengalaman.
Dinamika Kongres ke-26
Tahap keempat atau terakhir ialah memperjuangkan usul itu agar dapat pengesahan Kongres. Karena susunan itu telah menjadi keputusan Sidang Tanwir, maka kini Tanwirlah yang akan maju mengusulkan dan mempertanggungjawabkan kepada Kongres.
Untuk itu, perlu diatur pembagian pekerjaan. Tjitrosoewarno diserahi tugas mempimpin Sidang Pleno Kongres yang mengacarakan penetapan anggota Pengurus Besar. Sutan Mansur ditugaskan berbicara lebih dahulu memberikan nasihatnya kepada Kongres, kemudian Moeljadi Djajomartono menyampaikan usul Tanwir.
Pada mulanya, Kongres memang menjadi gempar dan ribut. Tetapi dengan kebijaksanaan dan tegasnya Tjitrosoewarno memimpin rapat dengan nasihat Sutan Mansur yang mampu mengetok jiwa dan dengan pengantar dari Moeljadi Djojomartono yang bersemangat, jelas, rileks, dan penuh humor, akhirnya Kongres dapat menyetujui usul Tanwir tentang susunan anggota Pengurus Besar periode 1937-1938. Pada waktu itu, setiap tahun masih diadakan Kongres.
Demikianlah satu peristiwa yang menakjubkan, yaitu kebijaksanaan berlaku menyimpang dari tata tertib pemilihan sah. Sudah jelas secara disiplin organisatoris penyimpangan tetap penyimpangan walaupun akhirnya disahkan Kongres. Itu suatu kejadian yang tidak usah diulangi. Tetapi harus diperbaiki dengan menggunakan tata tertib yang rapih, lebih baik dan lebih dapat dipertanggungjawabkan secara moril.
Hikmah
Namun, dalam berlakunya peristiwa tersebut, terungkaplah hikmah yang selama ini terselubung. Tersingkaplah nilai-nilai luhur dari pribadi-pribadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah. Pertama, keikhlasan KH Hisyam, KH Mochtar, dan KH Syuja’ untuk mengundurkan diri guna memberikan peluang penyelesaian. Bagi mereka, jabatan dalam Muhammadiyah adalah amal dan kebaktian, bukan kedudukan yang harus dipertahankan karena menilai dirinya yang terbaik.
Kedua, penolakan Ki Bagus dan KH Hadjid untuk didudukkan sebagai Ketua Pengurus Besar. Mereka bertindak membimbing aspirasi angkatan muda bukan karena ambisi pribadi, tetapi untuk menciptakan pimpinan yang lebih baik, siapa pun orangnya.
Ketiga, penolakan Sutan Mansur yang diminta oleh KH Mas Mansur untuk menjadi Ketua Pengurus Besar. Dan keikhlasannya membantu menghasilkan aspirasi angkatan muda yang dianggapnya besar.
Keempat, penolakan mula-mula dari KH Mas Mansur karena merasa dirinya tidak pantas untuk menjadi ketua, lalu kesediaannya dengan syarat wakilnya harus Ki Bagus yang artinya dia tidak mau meninggalkan teman yang dipercayainya. Akhirnya, kesediaannya menjabat ketua dengan wakil H Ahmad Badawi karena diusulkan oleh orang yang dipercayai dan karena sudah tak dapat mengelak lagi sebab kepercayaan umat tidak boleh ditolak.
Kelima, tolak-menolak untuk menjadi ketua karena menganggap orang lain lebih baik adalah mencerminkan keluhuran budi yang patut menjadi contoh. Jabatan dalam kepemimpinan Muhammadiyah bukanlah hal yang harus diperebutkan, tetapi amanah Allah yang amat berat. (Bersambung)
Sumber: Matahari-matahari Muhammadiyah karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif