Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Sangat menarik perhatian KH Mas Mansur tentang perbankan dipandang dari ajaran Islam. Dia kemukakan alasan-alasan dalam majalah Siaran yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh pada tahun 1937 sebagai berikut:
- Nash-nash yang sharih (jelas) dari Al-Qur’an dan Hadits nyata-nyata melarang riba, bunga pinjaman atau renten dan tiada satupun yang membolehkan.
- Tujuan agama Islam ialah akan mendasari segala usaha dan hubungan manusia dengan dasar kecintaan, kasih dan tolong-menolong, sedang bunga bagi pinjaman nyata memberatkan serta menimbulkan rasa terpaksa dan dendam.
- Laba daripada pinjam meminjam atau bunga atau rente dan apa saja namanya yang dilakukan oleh bank adalah berdasar perjanjian terlebih dahulu dengan syarat yang mengikat merupakan paksaan batin bagi orang yang terpaksa meminjam serta sangat memberatkan dengan demikian merupakan aniaya.
Padahal, menurut daras Islam, pinjam-meminjam adalah tolong menolong berdasar kasih sayang dan tidak disyaratkan peminjam harus memberi laba. Laba boleh diberikan nanti pada waktu pelunasan atas kehendak sukarela dari peminjam dalam jumlah sukarela pula. Bagi yang memberi pinjaman, Allah akan menggantinya dengan pahala.
Dengan alasan tersebut di atas, maka KH Mas Mansur dengan tidak ragu lagi menetapkan bahwa hukum bank sebagai keadaannya sekarang ini yang berdasar kepada bunga atau rente adalah HARAM.
Namun, dia juga melihat bahwa mereka yang menguasai umat Islam telah mengekalkan kekuasaannya itu antara lain dengan kekuatan modal dalam bank-bank mereka. Mereka kuasai perekonomian dengan perputaran bank, sedang bangsa Indonesia pada waktu itu masih terjajah dan buta dalam persoalan perbankan, perekonomiannya lemah dan diperalat oleh kapitalis Barat.
Sampai sekarang pun (1978) keuangan dan perekonomian kaum Muslimin baik nasional maupun internasional masih tetap dalam kelemahan permodalan. Maka apabila kaum Muslimin dewasa ini masih tetap takut kepada bank dan sistem perbankan menurut hukum Islam belum mampu diciptakan, maka bolehlah sistem perbankan seperti yang ada dewasa ini dipergunakan. Karena jika tidak, maka nasib umat Islam, terutama dalam bidang ekonomi dan politik, akan meluncur terus.
Seterusnya, dia menulis: “Ulama-ulama Ushul dengan bersendi kepada Qur’an dan Hadits telah mengadakan beberapa anggaran qaidah:
- Keadaan yang memaksa membolehkan apa yang telah dilarang.
- Kesempitan dapat menarik kepada kelonggaran.
- Jika menghadapi dua bahaya maka dibolehkan mengambil yang lebih ringan.
Dengan berdasarkan terpaksa atau darurat sebagai tersebut di atas, maka dirumuskan sebagai berikut:
Sedang hukum terang haram.
Sedang keadaan terang-terang membutuhkan (memerlukan).
Jika tidak, kita terdesak surut ke belakang.
Jika tidak, kita kalah surut ke bawah.
Mata kita sebagai saksi.
Keadaan sebagai bukti.
Dengan rumusan itu, KH Mas Mansur tidak ragu lagi mengambil kesimpulan tentang hukum bank sebagai berikut: Haram tetapi diperkenankan, dimudahkan, dimaafkan, selama keadaan memaksa akan adanya.
Demikianlah KH Mas Mansur selalu berani mengemukakan pendapatnya walaupun tahu akan mendapat tantangan dari orang yang tidak setuju. Memang pemimpin harus begitu! Pendapat yang telah digariskan melalui ijtihad yang diyakini, setiap pemimpin harus berani mengetengahkan dan bertanggungjawab, berani pula mempertahankan pendapatnya itu, karena di sanalah letaknya kepemimpinan.
Setiap pemimpin yang tidak berani berbuat demikian, adalah pemimpin yang hanya mencari simpati, tidak memimpin dan tidak mengarahkan, jadi bukanlah dia itu pemimpin yang sebenarnya. Menyatakan pendapat yang melaini pendapat umum dapat dilakukan dengan cara bijaksana. Apakah harus tegas, ataukah harus bertahap tetapi mengarah, itu adalah kebijaksanaan.
Sumber:https://muhammadiyah.id Matahari-matahari Muhammadiyah karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif