Sekitar 2-3 dasawarsa yang lalu, sering kita dengar sebutan bahwa abad 15 H atau 21 Masehi merupakan era kebangkitan Islam. Slogan “Kebangkitan Islam” ini sering diangkat dalam berbagai forum seminar, diskusi, dan kegiatan keislaman di berbagai pelosok tanah air. Sekarang, kita sudah berada di abad yang dicita-citakan 30an tahun yang lalu. Namun dalam bebarapa hal, kondisi umat Islam ternyata belum sepenuhnya berada pada kondisi siap untuk “bangkit”.
Setidaknya, ada dua kata kunci dalam al-Qur’an yang bisa dijadikan sebagai indikator menilai tingkat kesiapan umat Islam untuk bangkit. Pertama adalah khaira ummah dan kedua ummatan wasathan. Tulisan ini mencoba mengelaborasi dua konsep tersebut sebagai bahan instropeksi diri dalam menilai kesiapan menuju era kebangkitan yang diidam-idamkan.
Khaira Ummah
Secara explisit, al-Qur’an (Q.s. Ali Imran [3]: 110) menyebut umat Muhammad sebagai khaira ummat (umat terbaik). Tafsir al-Thabari dan al-Jalalain menjelaskan, predikat khaira ummah melekat pada umat Islam selama kaum Muslimin masih ber-amar ma’ruf, mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Bila tiga ciri ini hilang, lenyap pula predikat khaira ummah itu.
Sebutan khaira ummah bagi umat Islam dalam al-Qur’an tersebut, meminjam istilah Kuntowijoyo, merupakan grand theory yang mesti diturunkan lagi dengan middle range theory agar bisa dimaknai secara operatif dan membumi. Dalam pandangan Kuntowijoyo (2002), ayat 110 surat Ali Imran mengajarkan prinsip “humanisasi,” “liberasi,” dan “trensendensi” sebagai prasyarat tercapainya umat terbaik.
Ta’muruuna bi al-ma’ruuf adalah prinsip “humanisasi” untuk memperlakukan manusia secara arif dan bijak. Tanhauna ‘an al-munkar adalah bentuk “liberasi” (pembebasan) manusia dari segala kemungkaran sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Adapun tu’minuuna billaahi adalah refleksi sikap transendensi, ketundukan kepada Allah SWT.
***
Pada dataran praksis, agar spirit khaira ummah tersebut selalu bergema, ia mesti dimaknai sebagai ungkapan operatif dalam rangka menuju kualitas terbaik. Dengan demikian, khaira ummah adalah proses yang harus senantiasi diperjuangkan umat Islam agar menjadi umat terbaik yang berkualititas dalam segala bidang: pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan lain-lain dengan aksi nyata.
Sayangnya, tidak sedikit dari kita yang memaknai khaira ummah masih secara “mitos-utopis”, melihat predikat itu sebagai pemberian yang taken for granted. Bahkan, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik yang diderita negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, kita masih sering berapologi, “Tidak apa-apa terpuruk di dunia, yang penting masih menyandang predikat umat terbaik”.
Pada saat yang bersamaan, jutaan kaum Muslim masih hidup di bawah garis kemiskinan, tidak memperoleh akses pendidikan yang layak, dan menderita berbagai keterpurukan. Bagaimana dunia akan mengakui bahwa kita ini umat terbaik bila arus informasi, trend teknologi, dan pusat-pusat peradaban lainnya masih dipegang pihak lain? Pada konteks inilah predikat umat terbaik itu perlu lebih dibumikan. Sebab, secara empirik cita-cita itu masih jauh panggang dari api. Diperlukan kerja keras dan cerdas untuk mewujudkannya.
Ummatan Wasathan
Selain khaira ummah, al-Qur’an juga menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (Q.s. Al-Baqarah [2]: 143). Menurut Quraish Shihab (1996), ummatan washatan adalah “umat moderat, yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru… Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.” Masih menurut Shihab, kata wasath itu sendiri berarti “segala yang baik sesuai dengan objeknya” dan “sesuatu yang baik berada pada posisi di antara dua ekstrem.”Arti kata wasath yang lain adalah “tengah” atau “adil”.
Posisi moderat dan tengahan umat Islam ini mengajarkan untuk tidak berpihak pada salah satu titik ekstrim. Dalam mengarungi kehidupan, misalnya, umat Islam tidak berada pada titik ekstrim materialisme dan hedonisme. Atau sebaliknya, berada pada ujung ascetisme yang anti duniawi. Dalam memahami al-Qur’an, umat Islam tidak berada pada titik ekstrim tekstualisme dan literalisme, pun juga tidak pada ekstrim sebaliknya: sekularisme dan liberalisme. Posisi tengah inilah yang mendorong umat Islam untuk selalu memadukan aspek ruhani dan jasmani serta mensinergikan dimensi spiritual, intelektual, moral, dan material dalam satu paket sekaligus.
Meski tuntunan memadukan dalil naqli dan aqli sebagaimana diuraikan di atas sudah cukup gamblang, namun kita masih sering terjebak pada praktik labeling: dengan mudah memberi “cap/stempel” saudara dan sebagian pimpinan kita sebagai fundamental, tekstual, dan literal hanya karena sering mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi. Sebaliknya, kita juga sering menstigma saudara dan sebagian pimpinan kita serta menuduhnya sekuler dan liberal hanya karena mereka menggunakan potensi intelektualnya. Begitu sering kita ‘memakan bangkai’ saudara kita sendiri dengan cara ghibah, menghakiminya in absentia, bahkan menyesat-nyesatkannya. Padahal, al-Qur’an tegas melarang kita berlaku tidak adil terhadap pihak lain hanya dengan alasan tidak menyukainya (Q.s. Al-Maidah [5]: 8).
***
Agar umat Islam benar-benar menjadi bagian dari khaira ummah, ummatan wasathan, dan pelopor peradaban utama, maka radius pergaulan umat perlu diperluas. Tidak hanya pergaulan secara fisik, namun juga secara intelektual dan spiritual.
Jalinan silaturahim antar ormas dan aktivisnya diperlebar sinergitasnya dengan berbagai komponen kebajikan dipererat. Perbedaan pandangan bukan alasan saling menyingkirkan dan menegasikan, namun untuk memperkokoh persaudaran. Dengan modal khaira umah dan ummatan wasathan inilah kebangkitan Islam bisa terealisasi. Bila tidak, ia hanya akan menjadi slogan yang manis diucapkan sebagai tema-tema seminar, atau sebagai alat gagah-gagahan dalam berbagai kegiatan. Wallahu A’lam!
Keterangan: Artikel ini pernah diterbitkan di Majalah Al-Manar