Khalifah Ali bin Abi Thalib menerima tantangan yang besar sepeninggalan wafatnya Khalifah Utsman, yakni untuk menenangkan umat Islam yang tengah berkecamuk. Umat Islam digemparkan oleh pembunuhan Khalifah Utsman, dan terjadi saling tidak percaya dan tipu muslihat antar sesama umat Islam. Dalam kabinet yang lama, Khalifah Ali merasa perlu untuk melakukan pembaruan dengan memilih gubernur baru. Bahkan, Ali menerima surat kosong dari Muawiyah
Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Disrupsi Kekuasaan
Khalifah Ali menunjuk Utsman bin Hunaif untuk wilayah Basrah, Umarah bin Syihab untuk wilayah Kufah, Ibaidullah bin Abbas untuk wilayah Yaman, Qais bin Saad untuk wilayah Mesir dan Saad bin Hunaif untuk wilayah Syam. Nama-nama tersebut adalah gubernur baru yang menggantikan gubernur lama pada periode Utsman. Imam Thabari dalam kitab Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menyebut peristiwa ini terjadi pada awal tahun 36 Hijriah.
Ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah sebagai gubernur baru, beberapa orang menerimanya dengan hangat dan menunjukkan kepatuhan. Tetapi beberapa orang yang lain tetap diam bersikap acuh. Masyarakat di sana terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama mengikuti oposisi, yang kedua memberikan baiat kepada Ali bin Abi Thalib, dan kelompok ketiga mengatakan, “Kami akan melihat apa yang dilakukan orang-orang di Madinah, dan kami akan melakukan hal tersebut juga.”
Umarah bin Syihab yang ditunjuk menjadi gubernur baru untuk wilayah Kufah berjumpa dengan Tulaihah bin Khuwailid ketika dalam perjalanan menuju Kufah. Tulaihah menyarankan Umarah untuk kembali, karena masyarakat Basrah tidak menginginkan penggantian untuk gubernur lama. Jika Umarah menolak untuk kembali maka dia akan dibunuh seketika. Akhirnya Umarah bin menuruti sarannya dan kembali.
Yala bin Umayyah, Gubernur Yaman, telah berangkat ke Mekkah sebelum gubernur baru Ubaidullah bin Abbas sampai untuk mengambil alih kepemimpinan. Yala mengumpulkan seluruh hasil penerimaan pajak dan meninggalkan Yaman.
Tantangan Penolakan Gubernur Baru
Ketika gubernur baru Qais bin Saad sampai di Ailah (Eilat modern), beberapa masyarakat langsung menyatakan baiatnya, sementara yang lain menunda diri. Bahkan ada dari masyarakat yang menarik diri ke Kharbita. Mereka yang menolak memberi baiat mengatakan, “Kami akan bergabung denganmu (memberikan baiat) jika para pembunuh Utsman diadili.”
Ada pun kelompok yang ketiga adalah kelompok yang telah menyatakan baiatnya, memilih untuk tidak mengambil tindakan lebih lanjut hingga menunggu kedatangan teman-teman mereka dari Madinah.
Sahl bin Hunaif ketika dalam perjalanan menuju ke Syam, bertemu dengan beberapa penunggang kuda yang bertanya tentang perihal dirinya. Mereka mengetahui bahwa Sahl bin Hunaif adalah gubernur baru untuk Syam dari Ali. Mereka berkata, bahwa jika Sahl diangkat sebagai gubernur baru oleh selain Khalifah Utsman, maka lebih baik jika ia kembali saja ke Madinah. Sahl bertanya, “Tidakkah kalian tahu bahwa Utsman telah dibunuh!” Mereka menjawab, “Kami sangat tahu.” Disebutkan ketika telah sampai kembali di Madinah, gubernur-gubernur yang lain telah kembali juga ke ibukota Islam.
Jarir bin Abdullal al Bajali, Gubernur Hamadan menjabat sejak pembunuhan Utsman dipanggil Khalifah Ali untuk datang ke Madinah. Maka Jarir datang ke Madinah setelah mengambil baiat dari provinsi kekuasaannya.
Surat Kosong Muawiyah
Khalifah Ali mengirim surat kepada Abu Musa al-Asyari yang disampaikan melalui Mabad Aslami. Dalam balasan suratnya, Abu Musa mengatakan, “Masyarakat Kufah telah memberikan baiatnya di tanganku. Kebanyakan dari mereka memberikannya dengan senang hati sementara yang lain dengan ogah-ogahan.” Surat ini membuat Khalifah Ali merasa puas dan lega.
Di waktu yang sama, Ali bin Abi Thalib mengirim surat kepada Muawiyah bin Abi Sufyan melalui Jarir bin Abdullah dan Sabrah al-Juhani di Damaskus. Masih seputar gubernur baru. Hingga tiga bulan tidak ada balasan dan Muawiyah membuat kedua utusan Khalifah Ali menunggu lama. Setelah itu Muawiyah mengirimkan surat bersegel melalui utusannya Qabisah al-Absi ke Madinah disertai Jarir bin Abdullah.
Surat tersebut dialamatkan dengan jelas dengan tulisan ‘Dari Muawiyah Kepada Ali‘. Mereka sampai di Madinah pada awal bulan Rabiul Awwal. Al-Absi lantas memberikan surat itu kepada Khalifah Ali. Ketika surat dibuka, di dalamnya tidak terdapat tulisan apa pun alias surat kosong. Maka Khalifah Ali memandang ke utusan tadi dengan marah. Al-Absi dengan gemetar berkata kepada Khalifah Ali, “Aku adalah seorang utusan dan keselamatan atas diriku adalah dijamin.” Hal ini menambah kepelikan Ali dalam memutuskan gubernur baru.
Ali bin Abi Thalib menjamin keselamatannya dengan mengatakan, “Ya, engkau aman.” Al-Absi sang pengantar surat kosong Muawiyah kemudian mengatakan, “Tidak seorangpun yang akan menyatakan dukungan kepadamu. Aku telah melihat enam puluh ribu jiwa menangisi baju Utsman yang berlumuran darah. Mereka juga meletakkan baju tersebut di mimbar Masjid Damaskus untuk memprovokasi masyarakat.” Mendengar hal ini Khalifah Ali mengatakan, “Mereka ingin untuk membalas dendam atas kematian Utsman padaku sekalipun aku terbebas dari darah Utsman.”
Sebagian perusuh dan pembunuh Utsman yang masih berada di Madinah, mulai memaki dan hendak memukuli Al-Absi. Al-Absi sang pengantar surat kosong berteriak sambil mengatakan, “Wahai orang Mudhar, wahai orang Qais, kepada kuda-kuda dan panah-panah kalian! Aku bersumpah demi Allah! Jika kalian membunuhku empat ribu orang akan bangkit melawan kalian.”
***
Perlu dicatat bahwa al-Absi adalah bagian dari Bani Ghatafan, bagian dari Bani Qais, dan Bani Qais adalah bagian dari Suku Mudhar. Ketika ia hendak dipukuli, dia diselamatkan oleh beberapa orang. Dan entah bagaimana ia kemudian bisa kembali ke Damaskus.
Akbar Shah Najebadi dalam ‘The History of Islam‘ menyebutkan bahwa Jarir bin Abdullah juga dituduh sebagai kaki tangan Muawiyah, karena dia tinggal lama di Damaskus. Akibatnya, dia menjadi frustrasi dan justru pergi ke Qarqaisa, bukannya ke Madinah. Muawiyah akhirnya memanggil ia kembali ke Damaskus lewat seorang utusan.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan