Di keesokan harinya sebagaimana perintah Khalifah Ali, pasukan bergerak menuju Basrah di mana Perang Jamal berlangsung. Dalam beberapa kesempatan para perusuh berusaha untuk berbaur dengan pasukan, tapi pasukan khalifah berusaha untuk menjaga jarak sebagaimana perintah Ali. Di tengah perjalanan, Bakr bin Wail dan klan Abdul Qais bergabung dengan pasukan Khalifah.
Di Basrah, Khalifah Ali mendirikan tenda di tanah Istana Ubaidullah. Di sisi lain, pasukan dari Aisyah, Thalhah dan az-Zubair juga datang di tempat yang sama. Kedua kubu tetap menahan diri untuk tidak menyerang selama tiga hari, menunggu hasil perundingan perdamaian.
Menyadarkan az-Zubair di Perang Jamal
Dalam Tareekh el-Islam, disebutkan seseorang bertanya kepada Ali, “Kenapa Anda datang ke sini?” Ali menjawab, “Aku datang untuk menahan kebathilan dan membawa perdamaian untuk kaum Muslim.” Orang tadi mengatakan lagi, “Apa yang anda lakukan jika masyarakat Basrah menolak untuk berdamai?” Ali menjawab, “Kami akan meninggalkan mereka”. Kemudian orang tadi bertanya lagi, “Anda mungkin meninggalkan mereka, tapi bagaimana jika mereka tidak siap meninggalkan anda” Ali menjawab, “Dalam situasi seperti itu kami harus mempertahankan diri.”
Kemudian, Khalifah Ali mengirim Hakim bin Salamah dan Malik bin Habib kepada Thalhah dan az-Zubair. Mereka dikirim untuk mengetahui apakah pihak sebelah memiliki usaha untuk berdamai sebagaimana pertemuan dengan Qaqa bin Amr. Jika iya, maka mereka harus menjaga untuk tidak memulai pertempuran hingga masalah ditentukan. Thalhah dan Zubair mengatakan kepada Khalifah Ali, bahwa mereka tetap mempertahankan janji mereka.
Berkaitan dengan hal tersebut, Thalhah dan Zubair keluar barisan bersamaan Khalifah Ali keluar dari pasukannya hingga mereka bertemu. Ali kemudian mengatakan kepada Thalhah, “Engkau telah mengumpulkan pasukan ini untuk melawanku. Bukankah engkau perlu meminta izin dariku atas perilaku mu ini? Bukankah aku saudaramu dalam keimanan? Bukankah darah kita haram ditumpahkan satu sama lain?”
Thalhah menjawab. “Bukankah engkau memelihara para pembunuh Utsman?” Ali menjawab, “Allah Maha Kuasa, mengetahui segalanya dan Dia akan menjatuhkan laknat terhadap para pembunuh Utsman. Dan Thalhah! Bukankah engkau telah menyatakan baiat terhadapku?” Thalhah menjawab, “Tentu saja, Aku telah menyatakan baiat, akan tetapi dengan syarat bahwa engkau mengambil qishas terhadap para pembunuh Utsman.”
Kemudian Ali, berbalik kepada Zubair dan mengatakan, “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah telah bersabda kepadamu bahwa engkau akan memerangi seseorang sedangkan engkau berada dalam sisi yang salah?” Mendengar ini, Zubair mengatakan, “Ya, sekarang aku ingat. Akan tetapi kenapa engkau tidak mengingatkanku sejak aku meninggalkan Madinah? Jika aku ingat saat itu tentu aku tidak akan meninggalkan Madinah, aku tidak akan melawanmu lagi.”
Zubair bin Awwam Bukan Pengecut
Az-Zubair yang sadar bahwa dia berada di pihak yang salah, kemudian kembali ke pasukan dan menghadap Aisyah. Zubair mengatakan bahwa dia tidak akan melawan Ali karena sabda Nabi. Kemudian Abdullah bin Zubair mengatakan bahwa ayahnya telah menjadi pengecut karena takut melihat pasukan Ali. Mendengar ini az-Zubair kemudian bangkit sambil menenteng senjata, memutari pasukan Ali dan kembali, untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah seorang pengecut.
Zubair mengatakan bahwa dia mundur dari Perang Jamal bukan karena takut, tapi karena hadis Nabi dulu yang mengatakan bahwa dia berada di pihak pemberontak. Az-Zubair juga menambahkan bahwa dia melihat Ammar bin Yasir di antara pasukan Ali dan mengingatkannya bahwa Nabi pernah bersabda “Ammar akan dibunuh oleh pendurhaka.”
Kemudian, Abdullah bin Abbas dari pihak Ali menemui Thalhah dan az-Zubair, dan Muhammad bin Thalhah menemui Ali untuk menentukan perdamaian. Maka kesepakatan damai dicapai pada malam hari ketiga dan ditandatangani pada esok harinya.
Pecahnya Pertempuran
Pada hari ketiga juga, para perusuh dan pembunuh Utsman menjadi cemas karena tahu kesepakatan damai Perang Jamal sudah disetujui dan ditandatangani pada besok hari. Kemudian mereka berkumpul untuk berdiskusi semalam penuh. Mereka merancang sebuah rencana untuk menyusup ke pasukan Perang Jamal Aisyah dan membuat kekacauan. Mereka juga menentukan target objektif untuk diprovokasi dan menghasilkan pertempuran mutlak.
Pekikan perang Jamal yang mengagetkan membuat Thalhah dan Zubair keluar tenda, dan mereka diberi tahu bahwa pasukan Ali menyerang mereka. Hal yang sama juga membuat Khalifah Ali keluar tenda, dan diberi tahu oleh para perusuh bahwa Thalhah dan az-Zubair menyerang dengan tiba-tiba dan memaksa pasukan Khalifah untuk melawan.
Dengan situasi yang kacau, masing-masing pemimpin mengeluarkan perintah ke berbagai bagian dan divisi di pasukan Perang Jamal. Suasana yang sengit dan pekikan perang menyelimuti medan Perang Jamal. Komandan militer di kedua sisi tidak menyadari apa yang menyebabkan pertempuran tiba-tiba menjadi pecah, padahal sebelumnya tengah dalam perundingan damai.
Namun, kedua belah pihak tampaknya menahan diri dengan tidak mengejar pasukan yang melarikan diri, tidak menyerang pasukan yang terluka. Mereka juga tidak merebut perbendaharaan milik lawan mereka. Hal ini mengisyaratkan tanpa keraguan bahwa meskipun tengah berada dalam pertempuran, tidak ada pihak yang memiliki perasaan kebencian. Kedua kubu menunjukkan bahwa mereka tidak suka untuk berperang satu sama lain.
Sayyidah Aisyah dan Unta Perang
Kaab bin Sur kemudian menemui Aisyah dan menyarankan kepadanya untuk pergi ke medan perang dengan mengendarai unta. Cara tersebut dilakukan dalam rangka menahan pasukannya untuk tidak berperang dan membuka jalan untuk melanjutkan pembicaraan damai. Mendengar ini, Sayyidah Aisyah menaiki unta menuju medan perang.
Mencegah agar tidak ada yang dapat melukai Aisyah, lapisan zirah besi diletakkan menutupi tandu dan unta tunggangan beliau ditempatkan di mana dapat dilihat dengan jelas oleh seluruh pasukan. Akan tetapi, rencana ini menjadi kacau dan disalahpahami oleh pasukan sehingga membuat api Perang Jamal justru berkobar lebuh hebat.
Pasukan Sayyidah Aisyah menjadi naik moralnya ketika melihat Ummul Mukminin berada di tengah medan perang, seolah olah beliau datang untuk meningkatkan pasukannya. Segera setelah dimulainya pertempuran, panah menghujam kaki Thalhah yang membuat luka serius dengan darah mengalir deras.
Ketika Qaqa bin Amr (yang berperang di pihak Khalifah Ali) melihat kondisi Thalhah, dia mendekatinya dan berkata, “Wahai Abu Muhammad! Luka Anda sangat serius, maka lebih baik bagimu untuk kembali ke dalam kota.” Maka Thalhah bin Ubaidillah mengundurkan diri dari medan perang dan kembali ke dalam Basrah. Tapi segera setelah memasuki Basrah, dia jatuh pingsan, wafat, dan dimakamkan di sana. Selanjutnya, Marwan bin Hakam berperang memimpin pasukan atas nama Thalhah dan az-Zubair, yang keduanya sudah tidak ada.
Thalhah tidak mendukung pertempuran terbuka melawan Khalifah Ali, dan berdiri sendiri jauh dari pasukannya. Dia ingin tetap netral, sambil merenungkan ucapan Ali dalam pembicaraan antara Khalifah Ali dengan Zubair, dan ramalan tentang Ammar bin Yasir. Terlebih Thalhah juga memikirkan masalah perang dan hal yang diakibatkan, semakin bertambah surut niatnya untuk melanjutkan peperangan.
***
Akbar Syah dalam Tareekh el-Islam menyebutkan, ketika Marwan bin Hakam mengetahui keengganannya terhadap pertempuran yang sedang berlangsung, Marwan merasa sangat kesal. Marwan kemudian memerintahkan budak miliknya untuk menutupi wajah dengan selembar kain. Dengan demikian identitasnya tersembunyi, Marwan kemudian mengambil panah yang dicelupkan ke dalam racun dan ditargetkan kepada Thalhah. Panah beracun menghujam kaki Thalhah dan menembus menusuk perut kudanya, yang jatuh bersama pengendaranya.
Thalhah kemudian memanggil seorang sahaya Khalifah Ali, untuk memperbarui bai’atnya, baik di tangan sahaya tadi atau di tangan Qa’qa’ bin Amr yang juga ada di sana. Setelah menyatakan baiat, Thalhah kembali ke Basrah dan meninggal. Ketika Khalifah Ali datang untuk mengetahui kematiannya, ia memohon rahmat Allah untuknya dan terus menyebutkan keutamaannya serta menunjukkan kesedihan atas kematiannya.
Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan