Tarikh

Khalifah Ali (17): Perang Jamal (6) Perpisahan

4 Mins read

Dalam berlangsungnya Perang Jamal, pasukan Khalifah Ali dan pasukan Sayyidah Aisyah keduanya menyadari akan betapa berbahayanya perang ini. Kedua pihak juga semakin menyadari akan kesalahan yang mereka lakukan untuk memilih peperangan. Kesadaran ini yang akhirnya mengarahkan kedua pasukan mengakhiri peperangan ini dengan perdamaian.

Kematian Zubair bin Awwam

Ketika pertempuran pecah, Zubair bin Awwam yang sebelumnya sudah memutuskan untuk tidak berperang, memilih untuk mengundurkan diri dan meninggalkan medan Perang Jamal. Ammar bin Yasir yang melihat Zubair, menantangnya untuk bertarung. Tapi az-Zubair menolak untuk bertarung dengannya. Karena Ammar geram dan menganggapnya sebagai akar masalah perselisihan, maka Ammar langsung maju dan menyerangnya. Namun Zubair, terus membela diri tanpa memukulnya sampai Ammar menjadi lelah hingga Zubair memilih untuk pergi meninggalkan Ammar.

Ahnaf bin Qais yang berasal dari Basrah bersama dengan pasukannya dalam jumlah besar memilih untuk tidak ikut berperang sebagai pasukan netral. Ketika Zubair melewati kampnya, Amr bin Al-Jurmuz, salah satu pasukan Ahnaf bin Qais, mengikuti Zubair. Dia mendekati az-Zubair dan ikut bersama dengannya. Untuk menghilangkan beberapa keraguan, dia meminta pendapat Zubair tentang beberapa masalah.

Ketika sampai di Lembah as-Saba, Zubair bin Awwam mendirikan shalat. Dan ketika Zubair tengah dalam posisi sujud, Amr bin al Jurmuz memukulnya dengan senjatanya dan kemudian langsung menjumpai Khalifah Ali.

Seseorang memberi tahu Khalifah Ali, bahwa pembunuh Zubair telah datang untuk bertemu dengannya. Khalifah Ali memberinya izin sambil mengatakan, “Biarkan dia masuk dan beri dia kabar baik tentang tempat tinggalnya kelak di Neraka”. Ketika Khalifah Ali melihat pedang milik az-Zubair di tangannya, air mata turun membasahi wajah Khalifah Ali seraya berkata, “Wahai seorang yang kejam! Pedang inilah yang telah menjaga Nabi”. Kata-kata Khalifah Ali membuat, si pembunuh menusukkan pedangnya sendiri ke dalam perutnya setelah menyampaikan beberapa cacian terhadap Ali.

Akhir Perang Jamal

Thalhah dan Zubair memilih memisahkan diri dari awal Perang Jamal. Tapi beberapa kepala suku dengan tegas menyatakan akan berperang atas nama Sayyidah Aisyah. Tapi Aisyah juga di sisi lain mendukung perdamaian dan kesepakatan dengan Khalifah Ali. Apalagi setelah Thalhah dan Zubair memilih untuk mengasingkan diri, praktis tidak ada figur yang dapat memimpin pasukan.

Baca Juga  Sisi Lain Islam Madura yang Harus Kamu Ketahui

Namun, Sayyidah Aisyah sendiri sudah terlanjur tidak mampu untuk mengontrol pasukan Perang Jamal. Pasukan Aisyah telah termakan isu dan menganggap bahwa Ali telah menipu pasukan Aisyah dengan menyerang tiba-tiba setelah perundingan damai akan tercapai. Sebagian penduduk Basrah juga mendengar desas-desus bahwa jika Khalifah Ali berhasil mengalahkan pasukan, maka dia akan membunuh semua pria dan memperbudak perempuan dan anak-anak mereka.

Keselamatan Sayyidah Aisyah Terancam

Khalifah Ali yang memimpin sendiri pasukannya dengan piawai membuat pasukan Aisyah mundur. Pasukan Ali merangsek ke tengah medan, membuat unta tunggangan Aisyah dalam jangkauan serangan dan rentan bahaya. Kaab bin Sur adalah yang memegang tali unta Aisyah dan dia lah yang telah mengawal Ummul Mukminin ke medan Perang Jamal untuk meredam peperangan dan mengharapkan perdamaian. Pasukan infantri Basrah berkerumun di sekitar unta Aisyah untuk menyelamatkannya.

Di tengah pertempuran yang sengit, Aisyah meminta Kaab bin Sur untuk melepaskan tali untanya dan mengangkat al-Quran di tengah pasukan. Kaab kemudian melakukan perintah Aisyah. Tetapi para perusuh dan pembunuh Utsman menghujani dia dengan anak panah dan akhirnya beliau syahid. Peristiwa tragis ini justru membakar semangat berperang pasukan Aisyah. Dalam waktu singkat banyak mayat bergelimpangan mengelilingi unta Sayyidah Aisyah. Penduduk Basrah menyerahkan nyawa mereka untuk melindungi unta Aisyah.

Peristiwa tersebut meyakinkan Khalifah Ali bahwa kehadiran Aisyah di Perang Jamal tidak akan menenangkan suasana, karena tunggangannya telah menjadi target dan pusat pembunuhan dan pertumpahan darah. Panah-panah tajam tengah yang menghujani unta Sayyidah Aisyah seakan akan memberikan isyarat terhadap kebencian dan fitnah yang menghujam Islam dan keimanan kaum muslimin.

Mengeluarkan Sayyidah Aisyah dari Peperangan

Melihat hal ini, lantas Khalifah Ali memberi perintah kepada pasukannya untuk menargetkan unta Aisyah. Karena jika unta tersebut berhasil dilumpuhkan maka Perang Jamal akan berakhir, tentu semua ini dilakukan tanpa menyakiti Ummul Mukminin sedikitpun.

Baca Juga  Jamaluddin Al-Afghani (4): Perjuangan dan Fitnah dari Istambul

Setelah beberapa serangan, seseorang mendapat kesempatan untuk memotong kaki unta tersebut, yang membuatnya seketika terduduk. Dengan jatuhnya unta tersebut, para pendukung Aisyah menjadi tercerai-beraai. Qa’qa ‘bin Amr langsung menuju lokasi dan meminta kepada pasukan Khalifah untuk mengelilingi unta tersebut. Ali menyuruh Muhammad bin Abu Bakr (saudara Aisyah yang berpihak kepada Khalifah) untuk menjaga adiknya dan memastikan bahwa Sayyidah Aisyah tidak mendapatkan bahaya.

Ketika tenda berhasil dikeluarkan dari tumpukan mayat dan diletakkan di tempat yang aman, Khalifah Ali tba di sana menemui Aisyah dan menyapa sengan hangat, “Wahai Ibunda! Bagaimana kabarmu? Semoga Allah memaafkan semua kesalahanmu.” Aisyah menjawab, ” Semoga Allah memaafkan dosamu juga!”

Kemudian, pemimpin dari beberapa pasukan muncul untuk menyambut Ummul Mukminin. Aisyah lantas berkata kepada Qa’qa bin Amr, “Aku harap aku sudah mati dua puluh tahun sebelum peristiwa hari ini.” Ketika Qa’qa’ menceritakan hal ini kepada Khalifah Ali, Ali juga berkata, “Seandainya juga aku mati dua puluh tahun sebelum peristiwa ini.”

Perdamaian Perang Jamal

Perang ini kemudian dikenal sebagai Perang Jamal (unta) karena unta Sayyidah Aisyah sebagai tunggangan telah menjadi pusat dari pertempuran. Para pendukung Aisyah disebutkan berjumlah tiga puluh ribu. Di antaranya sembilan ribu terbunuh, sementara seribu tujuh puluh orang mundur dari medan perang, dua puluh ribu menyerahkan diri. Faktanya adalah bahwa sekitar lima ribu dari masing-masing pihak terbunuh dalam pertempuran ini sebagaimana tercatat dalam kitab AI-Bidayah wan-Nihayah, juz 7 halaman 218. Selain itu Akbar Syah dalam Tareekh el-Islam menyebutkan jumlah pasukan tampaknya dilebih-lebihkan dan berlawanan satu sama lain.

Amirul Mukminin, Khalifah Ali bin Abi Thalib, memimpin shalat jenazah terhadap semua yang terbunuh dan meminta mereka dimakamkan dengan layak. Khalifah juga mengumumkan bahwa mereka dapat mengambil lagi harta benda milik mereka yang biasanya dijadikan lagi ghanimah. Saat malam tiba, Muhammad bin Abu Bakar membawa saudara perempuannya, Ummul Mukminin Aisyah, menuju Basrah dan mempercayakannya kepada Safiyyah binti al-Harits bin Abu Thalhah di rumah Abdullah bin Khalaf al-Khuza’i.

Baca Juga  Menyikapi Polemik Konsep Khilafah yang "Diperjuangkan"

Keesokan harinya, Ali bersama dengan pasukannya memasuki Basrah, di mana masyarakat berbondong bondong menyatakan baiat di tangannya. Setelah itu, Khalifah Ali mendatangi Aisyah. Karena Abdullah bin Khalaf telah terbunuh dalam pertempuran, ibunya menyambut Khalifah Ali dengan celaan yang menyakitkan. Meskipun begitu Khalifah Ali tidak memberikan balasan terhadap wanita tersebut.

Meskipun orang-orang yang bersamanya menunjukkan ketidaksenangan, Ali berkata kepada mereka, “Karena wanita pada dasarnya adalah rapuh, kita harus memaafkan mereka bahkan walaupun dia seorang penyembah berhala dan bukankan dia seorang Muslimah.” Ali kemudian menunjukkan kehormatannya, dengan beratnya kepada Ummul Mukminin apakah dia menderita terhadap suatu permasalahan.

Maka dengan ini kedamaian dipulihkan dan kedua pihak menunjukkan itikad baik. Masing-masing dari kedua sisi, meminta maaf atas hal-hal yang telah terjadi. Abdullah bin Abbas kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah. Khalifah Ali meminta Muhammad bin Abu Bakar untuk membuat persiapan untuk perjalanan Ummul Mukminin.

***

Demikian pada Rajab 36 Hijriah, Khalifah Ali menyampaikan perpisahan kepada Aisyah disertai empat puluh wanita dari keluarga berpengaruh Basrah dipimpin oleh Muhammad bin Abu Bakar. Dia sendiri mengantar Ummul Mukminin sejauh beberapa mil, kemudian karavan diserahkan kepada Hasan bin Ali. Aisyah tiba di Mekah, tinggal di sana sampai Dzulhijjah, dan kemudian pergi ke Madinah di 37 AH setelah menunaikan ibadah haji. Sejumlah anggota Bani Umayyah juga ambil bagian dalam Perang Jamal melawan Ali.

Ketika Perang Jamal berakhir, mereka pergi ke Damaskus untuk bertemu Mu’awiyah. Abdullah bin Zubair yang menderita luka dalam pertempuran, berlindung di rumah seorang pria dari Suku Azd di Basrah. Aisyah memanggilnya melalui saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar untuk membawanya ke Mekah.

Editor: Shidqi Mukhtasor

35 posts

About author
Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin Adab & Dakwah, UIN Sayyid Ali Rahmatullah. Dapat disapa melalui akun Instagram @lhu_pin
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds