Kisah Amr bin Ash, Tokoh Kunci Perang Shiffin
Amr bin Ash adalah komandan yang membuka pintu umat muslim pada penaklukkan Mesir dulu. Ketika para perusuh dan pembunuh Utsman mengepung rumah Khalifah Ali, Amr bin Ash memutuskan untuk meninggalkan Madinah. Dia berangkat bersama kedua putranya, Abdullah dan Muhammad untuk kemudian menetap di Bait Al-Maqdis (Yerusalem). Amr akan pergi ke Damaskus untuk menemui Muawiyah bin Abi Sufyan setelah beberapa hal.
Dari Yerusalem, Amr bin Ash tetap memantau perkembangan terkait peristiwa di Madinah. Ketika sampai padanya informasi akan terjadinya Perang Jamal, dia konsultasi dengan putra-putranya tentang usahanya agar mendapatkan peran sebagai seorang pendamai.
Sebelum terjadinya Perang Jamal, terdapat empat orang yang memiliki klaim terhadap kekhalifahan. Salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib yang sudah menjadi khalifah dan sebagian besar umat Islam telah menyatakan baiat kepadanya. Dan yang kedua dan ketiga adalah Thalhah dan Zubair, yang mereka berdua terbunuh dalam pertempuran Jamal.
Sekarang yang tersisa untuk mempertaruhkan klaimnya atas kekhalifahan adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam. Muawiyah menolak untuk menyatakan baiat sumpah setia pada Khalifah Ali. Muawiyah juga menyatakan bahwa Ali menjadi Khalifah dengan dukungan para perusuh dan pembunuh Utsman, yang mana mereka semua dilindungi dalam pasukannya.
Di sisi lain, Khalifah Ali dan para loyalisnya mengklaim kekhalifahan atas nama golongan pertama yang masuk Islam, kekerabatannya dengan Nabi, dan perjuangannya sejak masa kanak kanak. Tentu dengan itu semua Muawiyah tidak sebanding dengan Khalifah Ali. Keduanya baik Ali maupun Muawiyah memiliki alasan untuk klaim mereka, walaupun Muawiyah tidak menemukan klaim yang lebih kuat darinya.
Melihat sedemikian kompleksnya kondisi, maka Amr berpikir bahwa sangat tidak bijaksana untuk tetap berada dalam posisi netral. Dia memutuskan untuk memainkan perannya dalam membantu dua pasukan yang berseteru dalam mencapai sebuah konsensus.
Baiat Pada Muawiyah dan Penilaian yang Salah
Imam Thabari dalam Kitab Tarikh al Rusul wa al-Muluk menyebutkan bahwa pada tahun 36 Hijriah, Amr bin Ash menyatakan baiatnya kepada Muawiyah bin Abi Sufyan (sebagai khalifah tandingan) dan membuat kesepakatan dengannya untuk melawan Khalifah Ali.
Amr bin Ash tiba di Damaskus dan Muawiyah menyambutnya. Dia lantas langsung menyatakan kepada Muawiyah bahwa dia juga memiliki hak untuk membalaskan darah Utsman. Pada mulanya Muawiyah bersikap hati-hati kepadanya, tapi setelah melihat kesungguhan dan loyalitasnya maka Amr menjadi tokoh dari faksi Syam.
Amr bin Ash lantas menyatakan sarannya kepada Muawiyah, jika ia gampang menampilkan baju Khalifah Utsman yang berlumuran darah dan potongan jari Nailah justru akan mengendorkan semangat pendukungnya. Maka kedua benda tersebut hendaknya ditampilkan pada momen-momen khusus untuk memberikan kesan mendalam.
Muawiyah bin Abi Sufyan menyukai saran ini. Setelah berbulan-bulan, maka tangisan dan ratapan untuk Utsman di Syam berakhir sejenak. Amr dengan pengalamannya dalam bidang kemiliteran, mengatakan kepada Muawiyah, bahwa Perang Jamal telah mengurangi kekuatan militer Ali. Selain itu, Perang Jamal juga membuat hampir seluruh tokoh berpengaruh dan orang bijak Basrah terbunuh, sehingga di sana tersisa hanya orang-orang lemah saja.
Maka singkatnya menurut Amr, Ali telah kehilangan kekuatan dan pengaruh sebagai akibat dari pembunuhan besar-besaran umat Islam pada Perang Jamal. Tentu, penilaian dan analisa Amr bin Ash adalah tidak masuk akal dan salah kaprah, bahkan para perusuh pun tahu hal ini.
Editor: Shidqi Mukhtasor