Pada tahun 1904 di Rambay, lahir seorang kiai tawadhu, penyabar, dan karismatik bernama Jayadi. Kiai Jayadi ini merupakan anak dari bapak Iqo, masyarakat sering memanggilnya dengan sebutan “Uwa Jaya.” Rambay adalah salah satu desa di kecamatan Tegal Buleud, tepatnya di Kota Sukabumi, Jawa Barat.
Kampung ini dialiri sungai Cibuni yang bermuara hingga ke Samudera Hindia di Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur. Jayadi menjalani masa kecil penuh keterbatasan. Kendati demikian, ia mampu menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun. Kemudian pada usia 10 tahun, tidak sama dengan anak-anak lain sebayanya, Jayadi memutuskan pergi mondok atau sering disebut mesantren. Konsep mesantren pada waktu itu, adalah dengan berguru secara berpindah-pindah dari satu ajengan/guru/kiai pada ajengan/guru/kiai lainnya.
Pilihan mesantren bagi Jayadi adalah cara ia menemukan guru yang bisa membimbing, sekaligus juga sebagai strategi bertahan hidup. Perlu diketahui, kehidupan pedesaan tidak sama dengan saat ini. Ketersediaan pangan, akses pendidikan, dan peluang bekerja masih sangat terbatas. Banyak orang pada masa itu menjadi petani kasar atau dieksploitasi sebagai pekerja paksa di perkebunan.
Maka bagi Jayadi remaja, kondisi itu tentu sangat sulit. Tidak bisa dibayangan bagaimana seorang remaja seperti Jayadi dari keluarga santri sederhana harus mencari peruntungan. Keluarga Jayadi sebetulnya hidup berkecukupan. Tapi hidup prihatin adalah pilihan etis bagi setiap santri. Hidup tidak boleh berlebihan, dan sebisa mungkin mengembangkan hidup melalui pergaulan sosial.
Perjalanan Jayadi Mesantren
Maka dengan membawa bekal seadanya, Jayadi pergi menuju pondok pesantren yang terletak di Pelabuhan Ratu. Tidak diketahui berapa lama Jayadi mesantren di sana. Tapi biasanya tidak lebih lama dari lima tahun.
Berikutnya, Jayadi melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Cibitung di Bandung. Perjalanan Sukabumi sampai Bandung kala itu ditempuh dengan berjalan kaki selama satu bulan. Jayadi membawa tiga liter beras sebagai bekal di jalan dan selama mesantren. Beras yang dibawa jelas tidak cukup. Jayadi menyiasatinya dengan berpuasa.
Kadang jika bernasib baik, ia bisa turut makan di rumah Ajengan pesantren. Tapi itu bukan peristiwa setiap hari. Selama proses dan perjalanan mesantren, beliau tidak membawa fasilitas pendukung untuk belajar seperti alat tulis, buku, dan kitab. Maka tidak semua dapat dicatat. Jadi Jayadi menghafal sebagian pelajaran yang tidak bisa dicatatnya. Kemampuan menghafalnya menimbulkan kagum sekaligus iri dari teman-teman sesama santri. Barangkali kemampuan menghafalnya tersebut jadi berkah tersendiri di tengah ketidakberuntungan yang ada.
Perangai Kiai Jayadi
Kiai Jayadi muda dikenal begitu rendah hati dan cerdas. Tapi itu tidak meluputkan ia dari tindakan buruk teman-teman di sekitarnya. Ia kerap menerima perlakuan kurang menyenangkan. Ia pernah mendapatkan pukulan dari santri lain. Jayadi menerima banyak kekerasan fisik, tapi tidak mengendurkan semangat belajar. Lebih penting lagi bahwa ia tidak pernah punya niat membalas.
Sejak muda, Kiai Jayadi dikenal tidak menghendaki pendekatan kekerasan fisik. Ketika ia menjadi tokoh agama besar di Rambay, ia menekankan pada pentingnya kemurnian hati bagi seorang santri. Ia mendidik para santri supaya mensucikan diri dan menghindari kekerasan. Sebab pertanda keimanan dan kepintaran seseorang adalah akhlak terpuji.
Mengagungkan nama Allah Swt adalah dengan menampilkan peringai yang baik, santun, dan menghargai perbedaan. Tidak perlu menganggap orang yang berbeda pendapat sebagai musuh. Tidak perlu juga melihat orang lain sebagai ancaman atas eksistensi pribadi. Begitulah arti penting pengalaman menerima perlakuan tidak menyenangkan yang sangat membekas pada kepribadian dan spiritualitas Kiai Jayadi.
Mendirikan Pesantren Rambay
Kiai Jayadi akhirnya pulang setelah mesantren selama bertahun-tahun. Perjalanan ditempuh berjalan kaki. Kepulangan Jayadi adalah pengukuhan kedewasaan dan kematangan ilmu. Jayadi dinikahkan dengan seorang perempuan bernama Komariyah tidak lama setelah ia kembali di kampung halaman.
Komariyah adalah anak KH. Zarkasyih, tokoh Islam dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Sukabumi. Kiai Zarkasyih berkawan akrab dengan Kiai Ahmad Sanusi dari Gunung Puyuh.
Pada tahun 1945 Kiai Jayadi mendirikan pondok pesantren di Rambay. Lembaga ini juga kemudian dikenal dengan nama Pesantren Rambay. Ia mengajar dengan tegas sekaligus penuh kesabaran. Ia bisa mengoreksi hafalan santri meski dalam kondisi tertidur. Kiai Jayadi sendiri tidak pernah lepas melafalkan bacaan ayat dalam al-Qur’an bahkan pada saat tidur.
Menulis Kitab dan Jadi Target Serangan PKI
Kiai Jayadi piawai mengajar tentang Al-Qur’an, fikih, tauhid, hukum, dan nahwu–sharaf. Sembari mengajar, Kiai Jayadi menulis rangkuman, catatan, dan komentarnya ke dalam satu kitab yang diberi judul Kitab Fardhu ‘Ain. Tujuan awal penulisan buku ini sebetulnya supaya mempermudah para santri belajar. Uniknya, kitab ini ditulis dengan Bahasa Sunda.
Pada waktu itu, seorang pimpinan pesantren perlu menulis secara mandiri bahan ajar mereka masing-masing. Selain karena ketersediaan kitab bagi santri masih terbatas, juga demi mempermudah proses pembimbingan ilmu, maka seorang pimpinan pesantren perlu menulis. Banyak santri merasa terbantu dengan kitab karya Kiai Jayadi.
Kiai Jayadi kena imbas tragedi politik tahun 1965. Sebagai seorang tokoh pondok pesantren, nama Kiai Jayadi disebut-sebut jadi target pembunuhan. Tidak jelas pada waktu itu bagaimana dan siapa yang menyebarkan desas-desus tersebut.
Meski dapat diperdebatkan, menurut pengakuan seorang santri Kiai Jayadi, pelaku adalah orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Kita tahu bahwa berdasarkan propaganda sejarah Orde Baru, PKI dituduh mendalangi peristiwa berdarah di sejumlah kota.
Siapa pun penyebar desas desus, tidak diketahui dengan pasti. Keterangan santri Kiai Jayadi juga patut diselidiki. Tapi terlepas dari itu semua, Kiai Jayadi bersama Kiai Zarkasyih kemudian pergi meninggalkan pondok pesantren. Konon selepas kepergian Kiai Jayadi, pondok pesantren ini dibakar oleh orang-orang tak dikenal. Peristiwa ini pun sulit dikonfirmasi.
Menurut penuturan saksi sejarah, beruntung istri dan anak-anak Kiai Jayadi selamat dari kejadian naas. Kiai Jayadi dan Kiai Zarkasyih pergi sembari diliputi oleh rasa khawatir dan cemas. Mereka pergi dengan menyusuri jalan setapak mengikuti aliran sungai Cibuni, naik dari muara Cidolog kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Legok Tegalega.
Kiai Jayadi melanjutkan perjalanan hingga ke kampung Cibungur untuk bersembunyi di rumah Haji Majid. Setelah beberapa lama menetap di sana, ia mendapat tanah wakaf di Sagaranten (sekarang merupakan nama kecamatan di Kabupaten Sukabumi).
Mendirikan Pesantren Sinar Jaya
Pada tahun 1956, ia mendirikan pesantren Sinar Jaya di kompleks tanah wakaf tersebut. Proses pendirian ini berlangsung tidak semudah yang dibayangkan. Ia kerap menerima perlakuan tidak menyenangkan dari sekelompok orang.
Ada yang menganggap bahwa pondok pesantren tidak dibutuhkan. Paling parah, Kiai Jayadi pernah dilempari kotoran manusia ketika berjalan pulang mengisi pengajian. Tantangan semacam itu bukan hambatan besar baginya. Ia memegang teguh prinsip bahwa kekerasan dan penolakan harus ditangani secara sabar dan damai. Sikap Kiai Jayadi menghindari konfrontasi agresif, membuatnya justru semakin diterima oleh masyarakat kebanyakan.
Banyak orang mulai bersimpati dan mendukung keberadaan pondok pesantren. Sebagian besar orang mulai sadar bahwa kehadiran lembaga pendidikan sangat penting bagi kemajuan kampung. Selain mendirikan pondok pesantren, ia juga kemudian menjadi guru PGA (Pendidikan Guru Agama, setingkat sekolah menengah). Sekarang sekolah PGA tersebut berubah menjadi MTsN 1 Sukabumi. Kiai Jayadi meninggal pada 1999, kala berusia 95 tahun.
Kini, ia selalu dikenang sebagai seorang tokoh pesantren Sagaranten, Sukabumi. Berkat ilmu dan sikap mengedepankan welas asih, ia berhasil menunjukkan arti penting Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bagi semua orang. Islam yang merahmati perbedaan dan memberkahi dinamika kehidupan.
Editor: Yahya FR